Selasa, 08 Februari 2011

haa iki Pelayan Warga

Selasa, 08 Februari 2011

Kepala Pelayan Warga

Mohamad Final Daeng

Dia bisa disebut sebagai satu dari tak banyak pemimpin yang relatif bekerja sungguh-sungguh membangun daerahnya. Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto juga berusaha menjauhkan diri dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pria kurus berkacamata tebal itu memimpin Yogyakarta dalam sembilan tahun terakhir. Selama itu pula, banyak terobosan dan kebijakan yang dihasilkannya untuk kemajuan Yogyakarta.
Soal integritas, sejauh ini tak ada yang menyangsikan saat Herry dianugerahi penghargaan Bung Hatta Anti-corruption Award pada Oktober 2010. Penghargaan itu hanya satu dari setidaknya 58 penghargaan tingkat nasional atas prestasinya selama memimpin Yogyakarta.
”Saya sering dibilang wali kota bodoh,” katanya suatu malam pada awal tahun 2011 di rumah pribadinya di Yogya. ”Bodoh” karena ia dikenal tak pernah memanfaatkan jabatan, kekuasaan, dan kesempatan untuk keuntungan pribadi. Godaan yang banyak terbukti sulit dielakkan sebagian orang dengan posisi seperti Herry.
Niatnya saat pertama mencalonkan diri menjadi wali kota pada tahun 2001 seolah sudah membatu. Ia menyebut telah mewakafkan dirinya untuk Yogyakarta. Seperti layaknya orang yang mewakafkan tanah untuk kepentingan umum, tak ada motivasi memetik keuntungan dari apa yang diwakafkan.
Soal duit, penggila sepak bola ini sudah lebih dari berkecukupan, jauh sebelum ia menjabat wali kota. Latar belakangnya sebagai pengusaha batik dan beberapa bisnis ritel dirasakannya mencukupi. Selama menjadi wali kota, pengelolaan semua bisnis itu diserahkan sepenuhnya kepada istrinya, Dyah Suminar.

Gelisah
Berawal dari kegelisahannya pada kondisi Kota Yogya yang gelap gulita pada malam hari, Herry memupuk obsesi menjadi pemimpin pada tahun 2001. Saat itu, penerangan jalan di Yogya relatif masih minim. Kondisi ini juga terjadi di jantung kota, seperti di Jalan Malioboro.
”Dulu sempat ada lelucon, kalau kita diculik sambil ditutup mata, ketika mata dibuka banyak gapura, berarti kita ada di Bali. Kalau penutup mata sudah dibuka tapi masih gelap, berarti kita di Yogya,” ceritanya sambil terkekeh.
Hanya butuh tiga tahun bagi Herry mewujudkan impian membuat Yogya terang benderang. Setelah itu, semangat ”menerangi” dia alihkan pada aspek lain, yaitu birokrasi yang dikeluhkan banyak warga.
Problem terbesar adalah kultur birokrasi pemerintah yang ”menyakralkan” kekuasaan dan jabatan. Problem itulah yang dinilai Herry menjadi sumber ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Desakralisasi birokrasi lalu dia lakukan dengan mengubah mentalitas birokrat dari penguasa menjadi pelayan masyarakat. Herry juga memosisikan dirinya sebagai kepala pelayan masyarakat.
”Kalau rakyat tidak percaya, bagaimana pembangunan bisa berjalan baik? Saya percaya partisipasi aktif masyarakat akan berdampak signifikan dan positif bagi pembangunan,” katanya. Ia menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Akses partisipasi masyarakat dibuka lebar untuk kritik, informasi, dan keluhan.
Berbagai layanan pendukung hal itu juga dibuka, dan di antaranya menjadi percontohan nasional, seperti Unit Pengolahan Informasi dan Keluhan, serta pengadaan barang dan jasa lewat Layanan Pengadaan secara Elektronik. Masyarakat bisa mengakses berbagai layanan dan informasi, termasuk keuangan daerah, melalui situs www.jogjakota.go.id.
Salah satu prestasi Herry adalah reformasi perizinan. Birokrasi perizinan yang semula tersebar di berbagai instansi teknis penerbit izin dikoordinasikan dalam Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA). Sejak tahun 2006, UPTSA ditingkatkan menjadi satu dinas sendiri.
Hasilnya, perizinan menjadi sederhana karena diproses pada satu ”tangan”. Kepastian pelayanan tercipta dan waktu pengurusan menjadi singkat. Misalnya, izin mendirikan bangunan yang pada ketentuan peraturan daerah tercantum maksimal 42 hari menjadi 25 hari.
Berbagai kemudahan juga diciptakan dengan formulir perizinan yang bisa diunduh dari internet, tarif tetap, dan pembayaran retribusi via transfer bank. Ini mencegah tarif ”siluman” dan penyimpangan.
Secara pribadi, setiap minggu, Herry membuka diri kepada publik untuk menyampaikan langsung berbagai keluhan dan masukan melalui program siaran radio bertajuk ”Wali Kota Menyapa”. Ia percaya kontrol publik yang kuat otomatis akan meminimalkan ruang penyimpangan.

Kejujuran
Kepercayaan dan kejujuran adalah dua nilai yang dianut Herry sejak kecil, warisan yang ditanamkan neneknya, Hisyam. ”Eyang saya selalu mengatakan, seseorang itu harus bisa dipercaya. Itu yang terus saya pegang,” katanya. Dengan modal itu pula, ia membangun bisnis yang berawal sebagai pegawai pembukuan Batik Danar Hadi, Solo, tahun 1982. Herry menyambi pekerjaan itu dengan ikut menjualkan batik saat pulang ke Yogya.
Awalnya, dia hanya dipercaya menjual beberapa helai batik. Tak sampai setahun, plafon pengambilan batik yang dipercayakan kepadanya menjadi tak terbatas. Ini karena setorannya selalu jauh sebelum tenggat.
Modal yang terkumpul itu lalu dipakainya membuka bisnis batik bermerek Margaria, yang berkembang hingga kini. ”Saya menyadari luar biasanya kekuatan kejujuran. Itu modal manusia paling besar. Orang jujur pasti memetik hasil manis,” katanya.
Sebagaimana tak ada gading yang tak retak, masih banyak kekurangan selama kepemimpinan Herry seperti diakuinya. ”Kalau dibilang apa yang belum tercapai? Ya, banyak yang masih belum tercapai.”
Salah satunya adalah penataan kawasan Malioboro yang hingga kini menyisakan persoalan, mulai dari keruwetan parkir, kemacetan, hingga kebersihan. Masalah klasik, seperti kemiskinan dan pengangguran, juga masih membayangi Yogya.
Namun, Herry percaya, ia di ”jalur yang benar” dengan fondasi sistem yang dibangunnya. Dia berharap wali kota penggantinya (pemilihan akan digelar akhir 2011) mau meneruskan pembangunan dari sistem itu.
Sosok Herry setidaknya memberi kesejukan dan harapan bahwa integritas belum mati. Ia juga merawat integritas itu dengan bersepeda dari rumah ke tempat kerja setiap Jumat.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/08/0248501/kepala.pelayan.warga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar