Minggu, 13 Februari 2011

haa iki Kebersamaan di Merapi

Minggu, 13 Februari 2011

Kebersamaan di Merapi

Th Pudjo Widijanto

Di antara reruntuhan bangunan dan pohon-pohon hangus yang bertumbangan, terdengar alunan tembang-tembang religi menggelorakan syair-syair puja pada kebesaran Ilahi.
Tembang-tembang itu disuarakan oleh anak-anak Pesantren Jejeran, Kecamatan Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta, dengan iringan tetabuhan berbagai rebana. Di antara santri yang tergabung dalam kelompok seni Hadroh ini, ikut bernyanyi pula Uskup Agung Semarang Mgr Pujosumarto Pr yang duduk bersimpuh bersama para santri. Dengan membaca catatan lagu, ia ikut melantunkan tembang-tembang yang bernapaskan islami, seperti ”Lit-ilir” dan ”Tamba Ati”.
Acara di Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Senin (7/2), itu menandai dimulainya penanaman penghijauan di lereng Merapi. Pentas seni Hadroh bukan sekadar pengisi acara, melainkan sekaligus simbol budaya kebersamaan. Gerakan penghijauan itu dilakukan serentak oleh 43 elemen lintas agama, suku, dan etnis yang tergabung dalam nama Konsorsium Penghijauan Area Lereng Merapi (PALM).
Di lokasi penanaman terlihat sekitar 1.000 sukarelawan, mulai dari jajaran Banser PWNU DIY, suster-suster, Fatayat Nahdlatul Ulama, Forum Persaudaraan Umat Beriman, Komunitas Sunda Wiwitan, Pondok Pesantren Al Qodir, Pondok Pesantren Nurul Umahat, organisasi Tionghoa dari Bali, berbagai paroki, hingga Mitra Tani.
KH Muhaimin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Umahat, bersama dengan umat agama lain memulai pembentukan gerakan penghijauan Merapi. Gerakan cepat itu berhasil menghimpun berbagai elemen masyarakat dari beberapa wilayah di Indonesia. ”Dari target sebanyak 112.500 bibit pohon yang akan ditanam, kini sudah 85.875 bibit yang sudah ditanam dan itu akan dipelihara dan dilakukan perawatan selama enam bulan,” katanya berbinar- binar.
Namun, bagi Muhaimin, yang utama bukan semata-mata kerja teknis, melainkan bagaimana membangun kebersamaan dalam tataran nilai. Gerakan penghijauan ini diharapkan menjadi bukti bahwa kerukunan itu nyata.
”Bentuk penghijauan itu merupakan hasil, sedangkan yang utama adalah ketulusan membangun persaudaraan. Karena kebersamaan itu sesungguhnya adalah hati dari bangsa Indonesia sendiri yang ber-Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.
Karena rindu kebersamaan itu pula, putri almarhum Abdurrahman Wahid, Alisa Wahid, yang ikut dalam gerakan penghijauan itu merasa melihat sesuatu yang paradoks. ”Di tempat ini, saya melihat betapa indahnya kerukunan dan kebersamaan itu. Namun, di lain tempat, saya melihat peristiwa tragis yang merenggut nyawa manusia,” katanya.
Dalam bahasa simbolik, Mgr Pujosumarto menyatakan, ”Jika hatimu tersulut api, maka kamu akan mampu melihat orang di sekitarmu sebagai bagian dari hidupmu.” (ABK)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/13/04264732/kebersamaan.di.merapi
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar