Jumat, 04 Februari 2011

haa iki Mentawai Yang Harus Dijaga

MENJAGA NUSANTARA

Jagalah Mentawai dengan Kesejahteraan

 INGKI RINALDI

Gempa besar dengan kekuatan 7,2 skala Richter mengguncang di kedalaman 10 kilometer pada titik 78 kilometer arah barat daya Pulau Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Senin, 25 Oktober 2010 malam.
Tak lama setelah gempa susulan pertama, gelombang tsunami datang menerjang sebagian wilayah di Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Hanya Pulau Siberut yang tak tersentuh tsunami.
Ratusan orang tewas. Berdasarkan data terakhir Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar, saat ini 2.072 keluarga yang terdata sebagai korban dan harus dibuatkan hunian sementara. Data tambahan itu seluruhnya berasal dari Pulau Pagai Selatan.
Oleh pemerintah, sebagian besar korban diungsikan ke sejumlah titik pengungsian yang jauh dari bibir pantai di ketiga pulau itu. Lokasi itu pun cukup jauh dari ladang keladi, pisang, kopra, dan cokelat, serta permukiman lama milik korban. Semuanya berdasarkan pertimbangan bakal datangnya bencana serupa dari patahan lempeng bumi di sekitar Pulau Siberut. Menurut Ketua Himpunan Ahli Geofisika Indonesia Komisariat Wilayah Sumatera Barat, Badrul Mustafa, energinya belum terlepas dalam siklus 200 tahun terakhir.
Jika energi di blok Siberut yang dikenal dengan Mentawai Megathrust terlepas, dampaknya dikhawatirkan dapat lebih dahsyat karena bisa memicu gempa hingga skala 8,9 skala Richter, dan kemungkinan menimbulkan gelombang tsunami. Direktur Program Laboratory for Earth Hazards Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawidjaja, saat berkunjung ke Padang, mengatakan, gelombang tsunami setinggi enam meter hingga jarak dua kilometer dari bibir pantai bisa terjadi jika Mentawai Megathrust bergejolak.
Saat ini dampak gempa dan tsunami pada 25 Oktober 2010 juga telah memengaruhi topografi di sejumlah pulau. Sebagian wilayah pesisir pantai di bagian barat Pulau Pagai Selatan dipenuhi susunan batu-batu karang raksasa. Menurut warga, batu-batu karang itu tidak ada sebelum tsunami terjadi.
Peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi-LIPI, Eko Yulianto, yang telah melakukan penelitian di sebagian Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan, mengatakan, berdasarkan pengukuran yang dilakukan terdapat kenaikan wilayah daratan pada wilayah antara Dusun Asahan di Desa Bulasat dan Dusun Purourougat di Desa Malakopak, Kecamatan Pagai Selatan. Kenaikan permukaan daratan mencapai 1,3 meter, dan ada pula kemungkinan susunan koral raksasa dari laut terempas ke sebagian dataran di pesisir barat Pulau Pagai Selatan.
Korban selamat mulai diungsikan ke sejumlah lokasi, sekitar satu bulan setelah tsunami menghajar. Sejumlah lembaga kemanusiaan yang tergabung dalam Posko Lumbung Derma yang gerakannya diinisiasi Yayasan Citra Mandiri Mentawai membuat keputusan membangun kembali secara mandiri Dusun Tumalei, Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara di Pulau Pagai Utara, dan Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan di Pulau Pagai Selatan yang sebelumnya luluh lantak.
Metode pembangunan partisipatif dengan pendekatan participatory rural appraisal (PRA) digunakan untuk menentukan lokasi baru yang dinilai aman. Warga kemudian menyerahkan lahan, dan bergotong royong membangun permukiman baru secara mandiri serta relatif lebih cepat pulih dari trauma.
Namun, pemerintah memilih pendekatan yang jauh berbeda. Korban bencana benar-benar dianggap sebagai korban yang tanpa daya. Karena itulah segalanya harus ditentukan dan dibantu, termasuk keputusan membangun hunian sementara.
Lokasi-lokasi pembangunan hunian sementara itu, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ditetapkan berada di Pulau Pagai Utara di Kilometer 4, Kilometer 7, Dusun Pasapuat, Dusun Mabulaubuge, dan Desa Taikako. Pulau Pagai Selatan di Kilometer 37, Dusun Purorougat, Kilometer 41-44, dan di Dusun Lakau di Kilometer 4. Sementara di Pulau Sipora, pembangunan hunian sementara terletak di Kilometer 4.
Sebanyak 516 unit hunian sementara bakal dibangun Palang Merah Indonesia, BNPB sejumlah 450 unit, dan Pemkab Kepulauan Mentawai yang dibantu Pemprov Sumbar dan BNPB sejumlah 666 unit, dengan tambahan 440 unit lainnya. Belum dipastikan di mana lokasi pembangunan hunian tetap bagi para korban tsunami itu nanti.
Titik-titik pengungsian itu sebagian besar adalah bekas pusat-pusat aktivitas perusahaan pemegang konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) PT Minas Pagai Lumber, yang beroperasi sejak akhir 1970-an. Tenda-tenda darurat didirikan sebelum hunian sementara dibangun.
Demikian pula dengan sekolah-sekolah dan tempat ibadah darurat. Kebutuhan hidup pengungsi juga dipasok.

Bermasalah
Namun, pembangunan hunian sementara di Pulau Pagai Selatan bermasalah karena kayu yang sempat tidak bisa digunakan terkait status lahan yang hutan produksi, sehingga butuh pengalihan fungsi lahan.
Sanitasi yang dibangun sejumlah lembaga kemanusiaan juga bermasalah karena tidak adanya saluran air. Sejumlah penyakit dengan mudah menyerang para pengungsi, seperti diare, infeksi saluran pernapasan akut, gizi buruk, dan campak.
Manajer Proyek Kesehatan Mitra Peduli Mentawai, Louisa A Langi, bahkan menemukan dua orang yang diduga terinfeksi TBC karena sebulan terakhir batuk darah tanpa henti. Kasus itu ditemukan di Dusun Utara, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan, pada akhir Januari lalu.
Permohonan Louisa untuk mendatangkan 25 dokter, 12 perawat, dan 79 paramedis yang telah bersedia, hingga kini juga belum direspons pemerintah.
Namun, yang lebih buruk adalah mulai hilangnya semangat hidup para korban di pengungsian. Antropolog Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Tarida Hernawati, mengatakan, relokasi korban bencana di sejumlah titik pengungsian seperti mengulangi kesalahan program Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing oleh Departemen Sosial pada 1970-an.
Hampir tidak ada yang dapat dilakukan para pengungsi di tempat pengungsian. Buruknya kondisi di pengungsian itu setidaknya masih tergambar dengan jelas hingga akhir Desember 2010. Namun, Wakil Bupati Mentawai Judas Sabalagget dan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, dalam beberapa kali wawancara, mengatakan, relokasi korban bencana di sejumlah titik memudahkan pelayanan oleh pemerintah.
Belasan bilik WC darurat didirikan dengan perangkat kloset di dalamnya. Namun, ketiadaan air pembasuh membuat bilik-bilik WC darurat itu menjadi persoalan serius yang bisa mengundang munculnya penyakit bagi para pengungsi.
Untuk kebutuhan mandi dan cuci, para pengungsi mengandalkan dua kolam besar yang terbentuk begitu saja dengan rimbunan pepohonan di sekelilingnya. Dua kolam dengan air kehijauan itu dibagi untuk laki-laki dan perempuan.
Pada 5 Januari 2011 pemerintah meluncurkan program pemulihan dini dengan anggaran dari BNPB sebesar Rp 13,9 miliar. Program itu harus diselesaikan Januari-Februari, yang akan dilanjutkan dengan program rehabilitasi dan rekonstruksi antara 2011 dan 2013 dengan total anggaran sebesar Rp 1,1 triliun.
Namun, sejumlah program yang akan direalisasikan mulai pekan depan itu tidak menyentuh langsung kebutuhan korban di pengungsian. Di antaranya pembangunan sejumlah kios atau warung di lokasi pengungsian, pengadaan freezer dan cool box untuk usaha penangkapan ikan, dan pembukaan lahan perkebunan di atas status lahan yang belum jelas.
Koordinator Divisi Pembaruan Hukum dan Peradilan LBH Padang, Roni Saputra, mengatakan, program pemulihan dini yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat korban bencana bisa dikategorikan sebagai pemubaziran anggaran.
Roni menyebutkan, pada saat ini sudah semestinya Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat melakukan langkah proaktif untuk mengawal penggunaan anggaran tersebut.

Daerah abu-abu
Kepala Subdirektorat Inventarisasi Kerusakan BNPB Medi Herlianto mengemukakan, program pemulihan dini berada pada daerah abu-abu antara masa tanggap darurat dan tahap rehabilitasi rekonstruksi. ”Jadi, ini seperti masa transisi,” katanya. Ia menambahkan, BNPB dan BPBD di daerah-daerah yang baru terbentuk masih dalam taraf belajar sambil bekerja.
Pada sisi lain, kapasitas pemerintah daerah untuk mengelola anggaran terbilang sangat rendah. Deputi Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai Frans Siahaan menyebutkan, dari Rp 424,22 miliar APBD 2008, sebanyak Rp 280,73 miliar di antaranya adalah sisa lebih penggunaan anggaran (silpa). Pada 2009, Rp 281,28 miliar silpa dari APBD sebesar Rp 608,42 miliar.
Selain itu, Frans mencatat, sejumlah perusahaan HPH yang ”mengeroyok” Kepulauan Mentawai sejak akhir 1960-an juga tidak berkontribusi nyata bagi masyarakat. Sepanjang 1969-2008, setidaknya ada tujuh perusahaan pemegang HPH dan enam perusahaan pemegang izin pemanfaatan kayu beroperasi di Pulau Siberut.
Sementara PT Minas Pagai Lumber yang beroperasi sejak 1972, pada 1995 diperpanjang kembali izinnya dengan luas areal konsesi 83.330 hektar atau lebih dari setengah luas Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan yang 1521,55 kilometer persegi.
Berdasarkan catatan Kompas, Kementerian Kehutanan terakhir kali mengeluarkan izin HPH di kawasan cagar biosfer Siberut Utara kepada PT Salaki Summa Sejahtera, dengan luas sekitar 49.000 hektar. Sekitar 4.000 hektar di antaranya adalah cagar biosfer.
Deputi Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai Frans R Siahaan mengatakan bahwa konsesi HPH itu akan diberikan untuk masa antara tahun 2008 dan 2052. Selama periode pengambilan kayu sejak 1969 tersebut, 200.000 hektar lahan dari luas Pulau Siberut 403.300 hektar habis diambil kayunya. Frans juga mencatat bahwa dari total luas Pulau Siberut, 190.500 hektar ditetapkan sebagai Taman Nasional Siberut, 74.450 hektar sebagai hutan konservasi, 42.050 hektar hutan produksi terbatas, dan 95.900 hektar hutan produksi tanpa ada garis batas yang jelas.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang sempat diwawancarai soal itu mengatakan, bagi hasil dari konsesi HPH sebetulnya tetap diberikan kepada Mentawai. Namun, ia menolak mengomentari relatif tidak adanya pembangunan nyata di Mentawai yang di antaranya tercermin dari besarnya silpa pada setiap tahun anggaran.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/04/04151260/jagalah.mentawai..dengan.kesejahteraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar