Minggu, 13 Februari 2011

haa iki Belajar dari Pak Nana

Belajar dari Pak Nana

Dorodjatun Kuntjoro-Jakti

Saya mengenal Pak Nana—Dubes RI Nana Sutresna Sastradidjaja (alm)—secara intensif pada akhir 1993 hingga akhir 2004.
Sebagian besar berkait dengan tugas saya di Badan Pelaksana Ketua Gerakan Nonblok (BPK GNB) di Deplu sampai medio 1996 dan tugas-tugas saya sebagai Dubes Luar Biasa Berkuasa Penuh untuk Washington DC pada periode Maret 1998-Juli 2001.
Sampai saat ini masih menjadi misteri yang teramat gelap dalam kehidupan saya, bagaimana seorang ”tokoh Malari 1974” berturut-turut dengan keppres diangkat oleh Presiden Soeharto (almarhum). Awalnya sebagai Senior Expert di BPK GNB untuk bidang ekososbud di bawah kepemimpinan Dubes Nana Sutresna (almarhum), lalu sebagai dubes di AS.
Sebagaimana orang Jawa bersikap, saya pun tak bertanya kepada Pak Nana mengapa saya dimasukkan ke BPK GNB dan atas usul siapa. Tidak juga ke Pak Ali Alatas, menlu waktu itu. Demikianlah, saya berkantor di belakang Gedung Pancasila yang katanya angker selama tiga tahun. (Kabarnya, di sayap lantai dasar itu sesekali tampak bayangan Nyai Dasimah, istri cantik tak resmi dari Tuan Besar empunya gedung megah itu, yang bunuh diri di Kali Ciliwung dekat Gedung BP7 karena patah hati dipecundangi Bang Mi’un).
Hari pertama rapat kerja di ruangan Pak Nana yang selantai dengan kantor Pak Alatas, saya mohon arahan prosedur kerja, selain tugas pokok dan fungsi, supaya jangan terjadi hal-hal yang tak enak dengan Presiden Soeharto sebagai Ketua GNB waktu itu. Kata Pak Nana, ”Oke, nanti saya tanya ke Presiden.”
Begitulah, seminggu kemudian Pak Nana menjelaskan tiga tugas utama BPK GNB menurut Presiden Soeharto. Satu, jangan lagi ada konfrontasi terhadap Utara. Jangan seperti posisi Kuba dan Aljazair waktu menjadi Ketua GNB.
Dua, strategi GNB di bawah kepemimpinan Indonesia adalah membangun kemitraan global untuk pembangunan antara Selatan dan Utara.
Tiga, sampaikan pesan setiap hari dengan segala cara.
Tugas pertama dipercayakan kepada Dubes Samsi, tugas ketiga kepada Dubes Tranggono, dan tugas kedua kepada saya.
Khusus mengenai saya, Pak Nana menambahkan, jangan menyimpang dari garis-garis strategis Kelompok 77 di PBB, ASEAN, juga OKI. ”Jangan mau diseret ke posisi ’Agenda for Peace’ dari pihak Utara. Namun, perjuangkan posisi ’Agenda for Development’ dari G-77 dan GNB dengan segala cara supaya masuk di dalam kegiatan-kegiatan diplomasi GNB di lingkungan PBB dan lembaga-lembaga multilateral,” kata Pak Nana.
Selanjutnya, saya diminta memfokuskan perhatian pada nasib anggota-anggota GNB termiskin yang masuk kelompok food-deficit low-income countries (FDLIC) dan kelompok severely-indebted low-income countries (SILIC).

Mulai bertugas
Begitulah, sambil bertugas sebagai Dekan FEUI untuk periode 1993-1997, saya ditugasi menyusun macam-macam memo dan makalah teknis.
Suatu hari kami dipanggil Pak Nana untuk mempersiapkan bahan yang akan dibawa Presiden Soeharto ke Pertemuan Tingkat Tinggi G-7 di Tokyo pada medio 1994. Saya ditugasi menyusun memo singkat tentang cara mengurangi beban utang yang teramat berat pada kelompok negara GNB termiskin dengan meminta keringanan yang besar baik dari G-7, IMF, Bank Dunia, bank-bank pembangunan regional seperti ADB, maupun bank-bank komersial.
Pak Nana mengingatkan agar perumusan tidak bertabrakan dengan IMF, Bank Dunia, dan bank-bank pembangunan regional, sesuai dengan tugas kedua BPK GNB tadi. Waktu itu saya baru tahu bahwa rencana kepergian Presiden Soeharto ke G-7 Summit di Tokyo bukan atas undangan G-77, melainkan atas prakarsa beliau sendiri. Saya membayangkan risiko berat yang ditanggung beliau dalam prakarsa ini, yaitu kalau usulan GNB ini ditolak G-7. Pusing juga saya memikirkan risiko memo tersebut terhadap posisi saya sebagai Dekan FEUI.
Pendek cerita, posisi GNB yang dibawakan Presiden Soeharto ke G-7 Tokyo kemudian disetujui G-7 tahun 1995 sebagai posisi resmi yang disebut sebagai ”Naples Term”.
Bertahun-tahun kemudian, saat saya menjadi Menko Perekonomian dan memimpin pe- rundingan Paris Club III di Paris pada tahun 2002, delegasi RI memakai versi lunak dari Naples Term untuk menjadwal ulang pembayaran bunga dan angsuran utang G-to-G dari Pemerintah Indonesia yang jatuh tempo tahun 2002.
Saya sedih betul waktu itu menyadari bahwa posisi Indonesia pada krisis multidimensi 1997-2001 sudah menyeret kita sejauh posisi SILIC. Peringkat kredit Indonesia waktu itu, menurut Standard & Poor, memang cuma CCC dengan predikat Selective Default (SD) dan dipenalti dengan spread yang dahsyat, sekitar 2.000 basis poin.
Lama juga saya ditugasi mencari modus baru kerja sama Selatan-Utara bagi pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang diperlukan Selatan. Modus dibuat dalam skim Kerja Sama Selatan-Selatan yang melibatkan salah satu negara Utara sebagai penyandang dana terbesar.
Waktu itu saya belajar betapa sulit membangun kerja sama Selatan-Selatan di tengah kenyataan perdagangan dan investasi global yang sebagian besar adalah tipe Utara-Utara atau Utara-Selatan, tetapi hanya melibatkan Selatan yang sudah mapan.
Namun, setiap saya putus asa, Pak Nana dengan senyumnya yang khas mendorong saya untuk terus mencari gagasan-gagasan baru di dalam dan di luar GNB. Padahal, saya melihat jelas bahwa Utara praktis tak sungguh-sungguh menangani masalah ketidak- adilan global itu, apalagi dalam bentuk transfer sumber daya.
Begitulah, selama periode 1993-1996 itu saya masuk semacam ”sekolah disiplin diplomasi global”, yakni BPK GNB, dengan Pak Nana sebagai seorang kakak dan ”Guru Besar GNB”. Pak Nana tetap yakin bahwa lebih baik diplomasi daripada konfrontasi. Juga lebih unggul mengandalkan the moral and ethics of world order daripada memakai kekuatan pemaksaan sebagai bagian dari balance of power global untuk membangun dunia yang lebih adil dan menghargai kesetaraan umat manusia.
Pak Nana tak ada bedanya dengan Pak Adam Malik dan Mas Koko (Dr Sudjatmoko) dalam keyakinan ini, yang saya alami sejak ikut Komisi Brandit dari Indonesia serta Dialog Utara-Selatan pada era 1970-an. Mereka semua memang generasi humanis yang idealis dari Angkatan ’45 dan mendambakan dibangunnya perdamaian dunia untuk menciptakan keadilan global.
Selamat jalan Pak Nana, banyak terima kasih atas persahabatan yang tulus dan pelajaran tentang kegigihan mempertahankan keyakinan tanpa menggunakan konfrontasi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa menempatkan Pak Nana di sisi-Nya sebagai insan pencinta perdamaian yang selalu mengikuti pe- tunjuk-petunjuk-Nya.

Dorodjatun Kuntjoro-Jakti Guru Besar Emeritus UI
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/12/05064745/belajar.dari.pak.nana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar