Minggu, 27 Februari 2011

haa iki ”Saya tidak menutup mata kalau korupsi memang terjadi di lingkungan PNS. Perlawanan terhadap korupsi saya mulai dari diri sendiri, staf saya, lalu ke bagian lain,”

Minggu, 27 Februari 2011

"Ayo Jujur Setiap Hari"

FOTO-FOTO: KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warga melintas di depan mural tentang lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap para pekerja publik di Jalan Sultan Agung, Jakarta Pusat, Kamis (24/2).

OLEH NUR HIDAYATI DAN YULIA SAPTHIANI

Di tengah perilaku koruptif yang mengepung kita, masih ada orang-orang yang memilih bersikap antikorupsi. Dimulai dari hal-hal sederhana yang dilakukan diri sendiri, prinsip antikorupsi lalu disebar ke lingkungan sekitar.
Ketika menemukan uang tak bertuan di lingkungan sekolah, Corrie Susanto (14) segera memungut dan memasukkannya ke kotak temuan yang diletakkan di kantin kejujuran. Siswa kelas IX SMP Negeri 75 Kebon Jeruk, Jakarta, itu mengaku telah terbiasa jujur, bahkan ketika peluang untuk tidak jujur itu terbuka lebar.
Sebagai wujud perlawanan terhadap korupsi, sekolah menanamkan kejujuran pada siswa, antara lain dengan membuka kantin kejujuran. ”Rasanya enggak enak banget kalau sampai berbuat tidak jujur,” ujar Corrie.
Kantin kejujuran di SMP Negeri 75 hanya berupa bangku sepanjang sekitar 5 meter. Tiap pagi, aneka makanan seperti lontong sayur, risol, hingga alat tulis dijajar di bangku, tanpa penjaga. Siswa bebas mencomot makanan dan membayar dengan meletakkan uang di kotak kasir. Di sisi lain dari bangku itu juga diletakkan kotak temuan. Menurut Kepala SMP Negeri 75 Akhmad Sumardi, sejak hadir tahun 2006, kantin kejujuran tak pernah bangkrut.
Satu kali sepekan, setiap Rabu pagi, siswa juga dibekali dengan pendidikan motivasi. Kejujuran, lanjut staf humas SMP Negeri 75, Sagino, menjadi salah satu topik yang terus-menerus ditanamkan kepada siswa.
Kantin kejujuran juga ada di SMA Negeri 78 Kemanggisan. Menurut Wakil Kepala Sekolah Bidang Komunikasi dan Kerja Sama Nursyamsudin, kantin ini efektif mengubah perilaku siswa. ”Kejujuran sempat terdegradasi, tapi kini mulai pulih,” katanya.
Perlawanan terhadap korupsi juga dilakukan orangtua siswa dari lima sekolah di Jakarta, yang Selasa (22/2) lalu mendeklarasikan Aliansi Orangtua Peduli Pendidikan Indonesia (APPI) di Gedung Perintis Kemerdekaan. Mereka bertekad mewujudkan pendidikan zero korupsi, zero diskriminasi, dan zero intimidasi.
Di tingkat perguruan tinggi, Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada pernah membuat program kuliah kerja nyata (KKN) antikorupsi bekerja sama dengan Universitas Atma Jaya dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dalam pelaksanaannya, mahasiswa bertugas mengawasi pengadilan yang berada di 15 kabupaten/kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Hasilnya, seperti dikatakan Direktur Pukat Zainal Arifin Mochtar, ditemukan banyak pelanggaran, seperti sidang yang dilaksanakan di ruang hakim. Menurut Zainal, program tersebut mendekatkan mahasiswa dengan realitas sesungguhnya, dengan dunia yang akan mereka geluti usai kuliah. Sayang, karena keterbatasan dana, KKN antikorupsi hanya berlangsung di satu angkatan. ”Sebenarnya Komisi Yudisial mau mengambil program ini, tetapi belum dilaksanakan,” kata Zainal.

Antikorupsi PNS
Gerakan antikorupsi juga dilakukan sekelompok pegawai negeri sipil (PNS) melalui Aliansi PNS Antikorupsi di Facebook. Adalah M Ali (38), seorang PNS, yang menjadi penggagas gerakan di dunia maya tersebut.
Gundah dengan perilaku koruptif yang lekat dengan PNS, Ali mengajak rekan seprofesi untuk hidup bersih. Hampir setiap hari di dinding Facebook terdapat ajakan untuk menjauhi korupsi. Jumat (25/2), misalnya, tertulis ”Ayo jujur setiap hari”.
Awalnya, Ali hanya mengundang sesama PNS untuk bergabung. Namun, di antara lebih dari 1.500 anggota yang sudah bergabung, ada juga yang tidak berprofesi sebagai PNS.
”Saya tidak menutup mata kalau korupsi memang terjadi di lingkungan PNS. Perlawanan terhadap korupsi saya mulai dari diri sendiri, staf saya, lalu ke bagian lain,” kata Ali.
Korupsi di lingkungan kerjanya, yang memberi pelayanan kepada masyarakat, menurut Ali, terjadi karena kurangnya informasi yang disampaikan kepada masyarakat. ”Misalnya, banyak masyarakat tidak tahu tahapan membuat KTP atau surat lain karena memang tidak disosialisasikan. Hal inilah yang membuka peluang terjadinya negosiasi,” tutur Ali.
Untuk menutup pintu negosiasi ini, sistem pun dibenahi. Semua informasi disosialisasikan kepada publik, di antaranya dengan membagikan brosur, termasuk pada stafnya.
Apa yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya yang menerapkan sistem berbasis internet juga bisa menjadi contoh sikap antikorupsi di tingkat pemerintah. Salah satunya adalah electronic procurement service (E-Proc) yang bertujuan mempermudah sekaligus menjamin transparansi lelang tender pengadaan barang dan jasa.
Sebelum E-Proc juga ada E-Bud- geting untuk membantu dinas dan tim anggaran dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berbasis kinerja. Ada pula E-Controlling, sistem aplikasi lanjutan E-Budgeting.
Pengajar di Badan Diklat Provinsi DKI Jakarta, Darmono Bajuri, berpendapat, korupsi yang melekat pada PNS bisa hilang jika mereka memulai dengan hal sederhana. ”Jelaskanlah kepada orang rumah penghasilan setiap bulan bersumber dari mana. Begitu pula saat kita membawa sesuatu ke rumah,” kata Darmono, yang mengajar etika organisasi pemerintah, etika moral, dan kepemimpinan aparatur.
Tanggung jawab moral
Tanggung jawab moral, seperti dicontohkan Darmono, memang menjadi salah satu faktor seseorang memilih bersikap antikorupsi.
Miranti (34), bukan nama sebenarnya, mengubah apa yang dilakukan orangtuanya selama puluhan tahun dalam mengelola grosir buku pelajaran di sebuah kota di Jawa Tengah.
Sebelum dikelola Miranti, grosir tersebut tak hanya menjual buku legal, tetapi juga bajakan. Namun, sejak empat tahun lalu, Miranti memutuskan menghentikan penjualan buku bajakan.
Meski ditentang karyawan dan keluarga, Miranti teguh dengan prinsipnya. Dia pun mengurai cerita.
Beberapa tahun sebelum mengambil alih toko, Miranti mengikuti orangtuanya mengunjungi penerbit yang memproduksi versi asli dari buku bajakan.
”Dari situ, aku tahu kalau sebagian penghasilan penerbit disisihkan buat kegiatan sosial seperti anak yatim piatu. Nah, kalau aku jual bajakan, aku mencuri apa yang jadi hak orang lain, bahkan bisa juga hak anak-anak yatim,” ujar Miranti.
Meski sempat dianggap bos ”gila”, kini Miranti justru berhasil mengembangkan tokonya dengan omzet mencapai miliaran rupiah per tahun. Dengan modal kejujuran, tanpa penjualan barang bajakan. Maka, ”Ayo jujur setiap hari...!” (ETA/WKM)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/27/05012545/ayo.jujur.setiap.hari
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar