Minggu, 13 Februari 2011

haa iki Intoleran pada Intoleransi

Intoleran pada Intoleransi

Radhar Panca Dahana

Begitu bercoraknya keragaman budaya bangsa-bangsa di dunia. Namun, ada satu ciri—dari sekurangnya dua—yang memperlihatkan kekhasan atau kecenderungan yang serupa dari sebagian besar bangsa-bangsa itu.
Kekhasan itu terkait kecenderungan dari mereka untuk mempraktikkan dan menghidupi apa yang kita kenal, mungkin tidak secara umum, dengan (per-)adab(-an) daratan atau kontinental.
Dengan memerhatikan secara saksama, kritis, serta terbuka pada bentuk peradaban kontinental ini—dan juga counterpart atau pasangan dialektisnya, (per-) adab(-an) kelautan atau maritim—kita akan segera memahami berbagai konflik antaretnik, penghakiman adat pada kultur suku bangsa lain, hingga kekerasan agama (seperti yang terjadi pada kaum Ahmadiyah) sesungguhnya bukanlah kita. Bukanlah tradisi yang dipelihara dan membudaya di hampir semua suku bangsa di negeri (Nusantara) ini.
Dalam adab daratan, dasar keberadaan sebuah komunitas, etnik, atau bangsa dilandasi oleh penguasaan daratan atau wilayah di mana kelompok masyarakat itu mengolah hidup, diri, dan lingkungannya. Itulah modal dasar mereka untuk survive atau mempertahankan keberlangsungan (sub-)spesiesnya.
Dalam asas keberadaan bangsa-bangsa ini, luas wilayah menjadi persoalan utama untuk memberi garansi bagi upaya fitrahi manusia untuk bertahan dan melanggengkan hidupnya. Ketergantungan pada (sumber daya) alam sangat desisif. Karena itulah, persaingan untuk memperebutkan lahan atau wilayah daratan sudah menjadi karakter purba dari peradaban ini.
Dari situlah kemudian berkembang konflik perebutan kuasa (wilayah) menjadi tradisi dan dilembagakan lewat hikayat, mitologi, hingga kisah-kisah epik. Dalam tradisi inilah ambisi dan nafsu manusia untuk menguasai dalam makna mendominasi pihak lain (sampai kemudian tidak hanya secara geografis, tetapi juga politis, ekonomis, hingga kultural) tumbuh subur.
Di alam modern kita mengenalnya dalam bentuk kolonialisme dan imperialisme. Dalam alam posmodern ia menjadi globalisme dan universalisme. Walau demikian, di wilayah kontinental, insting dan cara purba mereka untuk saling berebut wilayah tetap saja ada.

Kontinental vs maritim
Karakter dan kecenderungan adab seperti itu membawa implikasi pada budaya dan produk- produk yang dikembangkannya. Dalam soal religiusitas, misalnya, sistem kepercayaan mereka yang berdasar pada paganisme tidak membiarkan pihak (etnik atau bangsa) lain beribadah mengembangkan bahkan memelihara tuhannya sendiri-sendiri.
Bahkan, ”tuhan” di antara mereka pun—kaum pagan itu—dipertempurkan untuk memperoleh kemenangan, dalam arti ”tuhan” yang satu dominan atau menguasai ”tuhan” yang lain. Hingga kemudian tegaklah ”tuhan” yang paling kuasa, bahkan kuasa tunggal, dengan ”T” kapital. Tuhan yang kadang begitu otoriternya terhadap ”tuhan” atau umat yang lain.
Tentu saja bukan kerjaan ”tuhan” itu sendiri untuk berkelahi dan menciptakan dominasi, melainkan semata pekerjaan manusia dengan ambisi kuasa dengan permainan politiknya. Perlu dipahami, pada mulanya sistem kepercayaan pada ”tuhan” ini berimplikasi eksoteris atau duniawinya, termasuk keyakinan terhadap daratan atau tanah atau wilayah yang dianggap sebagai hak ilahiahnya.
Intoleransi semacam ini menciptakan konsekuensi logis hingga pada tingkat personal, pada proses individuasi atau modus eksistensialisasi. Eksistensi atau keber-”ada”-an satu pribadi ditentukan dengan silogisme yang menegasi pihak lain. Aku adalah bukan kau. Atau, ”kau adalah nerakaku” menurut eksistensialisme sartreian.
Semua proses pembudayaan itu secara diametral berbeda dengan adab laut, pesisir, atau maritim. Dalam adab terakhir ini, modus eksistensialnya justru berada pada pengakuan akan keber-”ada”-an atau eksistensi lain. Bahkan, lebih dalam lagi, satu diri akan tegak karena tegaknya diri yang lain: Aku ada karena kamu ada, begitu pun sebaliknya.
Maknanya, kita secara natural dan nurtural akan meniadakan atau mengosongkan sebagian dari diri kita untuk dikomplementasi, diisi, bahkan diperfeksi oleh ”orang lain” (the other). Dengan proses semacam inilah kemudian tradisi dan kultur dikembangkan, diwariskan. Inilah kita, bangsa ini, lebih dari 400 etnik di kepulauan ini, pewaris dan pemilik sah adab maritim ini. Bukan sejak dua milenia lalu, saat bangsa Arya—yang kontinental itu—merambah tanah kita, menjajah kita, melainkan sejak belasan milenia sebelum itu.
Maka, jika kita lebih cermat memahami data historis, arkeologis, hingga paleontologis yang ada secara netral—dalam arti belum dalam tafsir tendensius para indonesianis—kita akan mafhum: kita adalah bangsa dengan adab kelautan yang advanced, desisif di tingkat regional, bahkan global.

Intoleransi itu
Dengan adab pesisir yang terbuka, egaliter, dan toleran itulah bangsa ini sebenarnya mengembangkan kebudayaan. Dengan modus itu pula etnik, suku bangsa—juga diri kita—dibentuk. Multikulturalisme dalam makna sesungguhnya adalah keniscayaan kita. Bhinneka Tunggal Ika rumusan cerdas dari fitrah kita.
Realitas obyektif itulah kekuatan kita sebenarnya, yang tetap tegak berhadapan dengan taifun kebudayaan kontinental yang berusaha keras menyapu rumah tempat sejarah dan adat kita berdiam. Namun, kita pun menjadi saksi bagaimana taifun itu menyebabkan luka-luka politik, ekonomis, ideologis, hingga spiritualistis. Kultur intoleran adab daratan ini menciptakan ekses di berbagai dimensi, termasuk intoleransi hingga kekerasan dalam agama.
Persoalan yang cukup kronis pada kita adalah ketika kita tidak mampu—bahkan tidak mau— menerima realitas diri atau diri eksistensial kita yang sebenarnya, yang maritim. Bukan hanya resistensi dari segolongan kita yang merasa ”ada” dan dibesarkan karena kultur daratan (kerajaan atau kekuasaan konsentris), melainkan juga karena pikiran ”renaisans” telah begitu menguasai cara kita mengapresiasi, menjalani, menghayati, hingga mentransendensi hidup dan diri kita sendiri.
Kita enggan pada diri sendiri yang tersingkap dari balik selimut kolonial dan merasa nyaman dengan acuan, ukuran, dan cermin refleksi yang disodorkan para pemikir kontinental. Menganggap refleksi, b(w)ayang atau sosok ilusif itu adalah kita. Maka, lumrahlah bila kita menerima konstatasi, yang hampir merupakan humiliasi, bahkan penghinaan, dari indonesianis top itu, Benedict R' OG Anderson, bahwa kita hanyalah sebuah massa—juga masa—yang ”terbayangkan”.
Saya kira ini mesti diakhiri. Lalu memulai, bukan dengan sesuatu yang baru, melainkan sesuatu yang sejak dulu ada, yakni diri kita yang sesungguhnya. Dengan begitu, kekerasan kultural, intoleransi itu tidak perlu terjadi. Sekurangnya kita memafhumi bahwa kita—sebagai manusia ataupun bangsa—bukanlah dia atau mereka yang bernafsu menaklukkan, mendominasi, apalagi melenyapkan (menidakkan) orang lain.
Kembalilah kita pada diri sendiri. Pada kebudayaan, pada Indonesia yang sebenarnya.

Radhar Panca Dahana Budayawan
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/12/05073228/intoleran.pada.intoleransi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar