Senin, 28 Februari 2011

haa iki Pungutan liar di Merak, berdasar penuturan sejumlah sopir angkutan barang, sudah berlangsung cukup lama dan sulit dilawan

Senin, 28 Februari 2011

Sudah Macet, Jadi Obyek Perahan Pula

KOMPAS/AGNES RITA SULISTYAWATY
Sopir truk yang akan menyeberang ke Lampung di Pelabuhan Merak berdiri untuk melihat panjangnya antrean kendaraan, Minggu (27/2).

Antony Lee

Sejumlah laki-laki langsung mendekat ketika truk yang disopiri Widodo (40) melintasi kolong Jembatan Cikuasa Atas, Sabtu (26/2) pagi. ”Deden... Deden,” ujar Harto menyebut nama seseorang, menolak calo-calo yang menawarkan ”jasa” penyeberangan di Pelabuhan Merak.
Jembatan itu hanya beberapa ratus meter dari pintu masuk Pelabuhan Merak. Tidak lama kemudian, laki-laki yang namanya disebut oleh Harto muncul. Ia langsung naik ke truk. Usianya terbilang muda, awal 20 tahun, dengan tubuh kurus. Kepada pemuda itu, Harto menyodorkan uang Rp 410.000.
”Bawa apa lek (panggilan paman dalam bahasa Jawa), cabe ya?” kata Deden, mencoba meniru logat Jawa.
”Bukan, tapi lombok (cabai),” canda Harto. Ia beberapa kali menggunakan jasa Deden.
Harto yang ditemani kernet, Sukiyo (34), membawa muatan 4 ton cabai rawit hijau dari Temanggung, Jawa Tengah, menuju Metro, Lampung. Ia berangkat dari Temanggung, Jumat malam, dan ditarget tiba di Metro, Sabtu pukul 14.00.
”Enggak bisa bayar sendiri, soalnya bakal dikerjain sama calo. Bisa dipalakin juga. Aneh, pemerintah enggak bisa menghentikan,” tutur Harto.
Memasuki Pos II, Pelabuhan Merak, truk itu diberhentikan seseorang berseragam polisi. Deden langsung menghampirinya. Tak lama, ia naik lagi dan meminta Harto melaju ke pintu nomor tiga gerbang pembayaran biaya, mengekor di belakang sebuah bus. Di gerbang itu, ia kembali turun. Membayar di loket dan berbicara kepada petugas berseragam loreng.
Di gerbang itu, petugas mencatat nomor polisi truk, nama, usia, serta asal sopir. Deden kembali naik, sambil menyodorkan bukti pembayaran penyeberangan dengan nominal tercetak Rp 362.000. Baru beberapa meter dari gerbang pembayaran, truk itu kembali distop dua petugas berseragam satuan pengamanan yang mengendarai sepeda motor.
”Mana surat jalannya. Action, action,” ujar petugas itu sambil tertawa. Deden menyerahkan surat jalan yang menjelaskan barang yang diangkut cabai, serta menyelipkan uang Rp 10.000 di bawah amplop surat.
Truk kemudian diarahkan ke dermaga IV, tetapi sudah terlalu penuh, akhirnya antre di dermaga III. Deden lalu turun dari truk, meminta tambahan Rp 30.000, nominal uang yang disetorkannya kepada petugas. Ia lalu meninggalkan truk.
Sudah mengeluarkan uang lebih dari ketentuan tidak membuat Harto bisa langsung masuk ke kapal. Lebih kurang 3,5 jam, Harto dan Sukiyo harus menunggu sampai bisa menumpang Kapal BSP III menuju Pelabuhan Bakauheni, Lampung.
Baru hendak masuk ke kapal, Harto kembali harus menyodorkan Rp 1.000 untuk parkir. Masuk ke lantai dasar kapal, masih dimintai Rp 1.000 oleh petugas kapal. Di lantai dua kapal tempatnya parkir, ia kembali menyerahkan Rp 1.000 kepada orang yang mengarahkan posisi truknya.

Berlangsung lama
Pungutan liar di Merak, berdasar penuturan sejumlah sopir angkutan barang, sudah berlangsung cukup lama dan sulit dilawan. Mereka sudah antre, berhari-hari, jadi ”sapi perahan” pula. Padahal, setiap hari ada ribuan truk melintas. Akhir pekan lalu, ada 2.209 truk yang menyeberang dari Merak ke Bakauheni. Dengan jumlah itu, perputaran uang pungli bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta per hari.
Kondisi ini lebih parah setelah terjadi antrean panjang di Merak sebulan terakhir karena ada kebutuhan untuk menghindari macet. Hingga Minggu siang, misalnya, antrean truk dan tronton mencapai 12 kilometer dari pelabuhan hingga Tol Merak karena kekurangan kapal penyeberangan.
Budiman (28), pengangkut barang pecah belah dari Jakarta menuju Lampung, misalnya, sudah antre dari Kamis sore, dan baru dapat giliran naik kapal Sabtu sore. Ia juga mengaku turut membayarkan sejumlah uang, termasuk menggunakan jasa calo, seperti Harto, tetapi tak bisa juga dapat giliran cepat.
”Kemarin, masih ada yang bisa nembak langsung naik kapal bayar Rp 50.000-Rp 60.000 lewat jalan pintas, tetapi sekarang enggak berani lagi,” katanya.
Jalan pintas itu ialah keluar dari jalan Tol Cilegon Timur. Dengan mengeluarkan uang lebih, mereka mengakses jalur sembako, padahal mengangkut nonsembako. Dari pintu tol lalu belok ke arah Bojonegara, tembus ke Merak.
Hal ini menimbulkan kecemburuan pengemudi truk yang antre berhari-hari. Akibatnya, mereka sempat meluapkan emosi dengan melempari truk itu dengan batu.
”Memang kondisinya melelahkan, jadi gampang tersulut emosi. Istri saya saja yang menonton di televisi, menelepon saya sambil menangis karena kasihan,” tutur Budiman.
Pasalnya, sang istri melihat sopir-sopir tidur di pinggir jalan, atau di atas muatan berhari-hari. Padahal, hasil yang diperoleh tak seberapa. Misalnya, untuk rute Temanggung-Metro pergi-pulang, Harto hanya dapat Rp 3 juta untuk penyeberangan, tol, solar, dan makan. Kali ini, untuk sekali jalan ia sudah menghabiskan Rp 1,5 juta. Ia terpaksa harus mencari muatan dengan bayaran baik dari Lampung-Temanggung agar menutup setoran Rp 1,7 juta, serta upah mereka.
Pungutan disertai kemacetan semakin membebani mereka di tengah persaingan transportasi barang yang kian ketat. Jumlah armada yang bertambah membuat persaingan harga jadi tak sehat.
Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono, saat mengunjungi Pelabuhan Merak, Minggu, menegaskan, tidak boleh ada pungutan liar. Pemerintah akan mencoba menghilangkannya dengan mendorong pengelolaan yang lebih profesional untuk mengurangi antrean kendaraan.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/28/04244512/sudah.macet.jadi.obyek.perahan.pula.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar