Senin, 07 Februari 2011

haa iki Sirkus Politik

Senin, 07 Februari 2011

Sirkus Politik

INDRA TRANGGONO

Negeri ini kian terpuruk akibat beban-beban domestik (kepentingan personal dan kelompok) para penyelenggaranya (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Ironi getir pun muncul: penyelenggara negara justru menyandera negara.
Peran dan fungsi negara sebagai institusi publik tereduksi jadi mesin kepentingan pribadi dan kelompok elite. Di situ, para penyelenggara negara melakukan eksploitasi dan kapitalisasi atas pontensi-potensi negara (sosial, politik, ekonomi, dan budaya). Akibatnya, berbagai tindakan para penyelenggara yang mengatasnamakan kepentingan publik menjadi kehilangan rujukan konstitusional dan ideologis.
Dasar negara dan konstitusi merupakan roh sekaligus urat nadi publik. Di sana harapan publik untuk sejahtera, berperadaban, dan bermartabat dipertaruhkan. Ketika aktualisasi para penyelenggara negara tak secara substansial berada pada jalur dasar negara dan konstitusi, sejatinya telah terjadi perlucutan atas kedaulatan rakyat.
Kelompok elite telah mengambil alih kedaulatan itu demi menjadikan negara sebagai ”perusahaan” dan mesin uang mereka. Posisi rakyat sebagai stakeholders (baca: pemilik saham) negara berubah jadi sekadar konsumen yang anonim dan hanya punya hak untuk dieksploitasi.

Negara perusahaan
Ketika negara jadi ”perusahaan” dan rakyat dieksistensikan sebagai konsumen, sejatinya berbagai institusi negara tak lebih sekadar gerai (warung), tempat praktik transaksi, jual-beli, dihalalkan. Muncullah warung politik (lembaga perwakilan rakyat, parpol), warung hukum (lembaga peradilan), warung jasa publik (lembaga pemerintah). Untuk mendapatkan hak-hak mendasar (keadilan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, sandang pangan, dan lainnya) rakyat diwajibkan membeli dengan harga tinggi. Tanpa kemampuan itu, rakyat dipersilakan dengan hormat jadi kaum nomaden secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Dengan getir harus dikatakan, praktik-praktik para penyelenggara yang mengatasnamakan kemaslahatan sosial tak lebih sekadar sirkus politik, yakni sebuah tindakan politik akrobatik yang penuh spektakel dan bertujuan untuk memanipulasi realitas obyektif menjadi artifisial (semu). Realitas yang hadir adalah realitas seolah-olah. Misalnya, seolah-olah jumlah orang miskin menurun drastis, seolah-olah kepentingan rakyat selalu diperjuangkan, seolah-olah wakil rakyat selalu berkomitmen kepada rakyat, dan seolah-olah ada supremasi hukum.
Sirkus politik yang juga ditayangkan melalui berbagai media itu jadi tontonan pedih bagi rakyat. Para aktor politik asyik bermain dengan akting meyakinkan, tetapi hampa makna karena yang tersisa hanya retorika.
Setiap waktu para aktor politik itu bertukar rupa dan peran, bergantung kepentingannya. Suatu ketika mereka ”membela” kepentingan rakyat, pada saat lain berbalik membela penguasa. Sebelumnya mereka mendorong KPK untuk gigih melibas korupsi, tetapi kemudian berubah menjadi ”memusuhi” KPK demi solidaritas ”korps” terkait dengan penangkapan KPK atas belasan politikus yang diduga korupsi.
Dalam sirkus politik, perilaku para aktor politik penyelenggara negara sangat bergantung pada arah angin bertiup yang dikendalikan para ”juragan”. Menjadi loyal atau oposisi ditentukan kehendak juragan. ”Juragan” pula yang menentukan sikap kapan ”berpihak” kepada rakyat dan kapan absen. Para ”juragan” dan aktor politik punya prinsip: rakyat tidak perlu sungguh-sungguh dibela kepentingannya karena mereka tak lebih dari konsumen anonim. Rakyat bertanya lantang: di mana undang-undang, di mana dasar negara? Dengan tenang semua awak rombongan sirkus menjawab: ini bukan negara, tetapi pasar, Bung!
Ya, berbagai lembaga negara telah berubah jadi warung yang selalu menghardik rakyat karena tidak memiliki daya beli. Rakyat pun menyusuri jalan sunyi, merabai dinding buta untuk menjawab sendiri persoalan kehidupannya, di tengah ingar-bingar juragan, tengkulak, dan makelar.
Mungkin suatu saat mereka terinspirasi melakukan pembakaran diri sebagai protes, seperti yang dilakukan pedagang sayur di Tunisia yang akhirnya memicu revolusi. Mungkinkah?

INDRA TRANGGONO Pemerhati Budaya; Anggota Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/07/03483446/sirkus.politik
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar