Kamis, 11 Maret 2010

haa iki isih tentang politik meneh

Sumber : http://www.detiknews.com/read/2010/03/11/090652/1315893/103/santet-kesombongan-sby-dan-politik-kadal?991102605
Kamis, 11/03/2010 09:06 WIB
Kolom Djoko Suud
Santet, Kesombongan SBY, dan Politik Kadal
Djoko Suud Sukahar - detikNews


Jakarta - Boediono dan Sri Mulyani 'dipersalahkan'. Legislatif menyepakati itu. Fraksi dominan 'memvonis'nya. Itu karena koalisi rapuh kalah suara. Benarkah itu akibat 'kesombongan SBY dan Partai Demokrat (PD)'? Ataukah gara-gara 'politik kadal' yang 'mengadali' rakyat negeri ini?

Dalam perkara Bank Century, 'kelompok SBY' dipaksa menyerah. Koalisi yang dibangun tidak seia-sekata. Suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) tidak cukup membantu. Ditambah lobi politik yang tidak efektif, berakibat PD dipaksa menyatakan bail-out Bank Century menyimpang.

Politik tetaplah politik. Dalam politik tidak mengenal kebenaran yang benar dan kesalahan yang salah. Semuanya perlu 'diperjuangkan' agar yang benar menjadi benar, dan kesalahan bisa 'disiasati' supaya 'dibenarkan.'

Itu pentingnya lobi. Di tingkat lobi berbagai kepentingan dirundingkan. Dari barter perkara sampai filosofi jer basuki mawa bea. Itu esensi penegasan Lord Acton, bahwa kekuasaan itu cenderung korup. Sebagai political cost.

Dalam soal ini 'kelompok SBY' memang lemah. Kelemahan itu diperlemah dengan Boediono yang dipilih sebagai pendamping. SBY terlalu percaya diri sejak awal. Baginya dengan 'legitimasi rakyat' politik itu bisa 'dibersihkan'. Dia menisbikan realitas zaman. Juga sketsa Machiavelli soal raja digulingkan rakyatnya gara-gara sang raja terus-menerus 'mengajak beribadah.'

Akibat itu, maka SBY dan partai pendukungnya soliter. Kalaulah PAN dan PKB memihaknya, itu memang selayaknya. Deraan konflik internal partai ini, posisioning dan 'kekerabatan' adalah 'harga layak' untuk 'takluk dan patuh' terhadap SBY.

Namun bagi partai lain, 'kepatuhan' tak penting. Jatah menteri untuk Partai Golkar, PKS, dan PPP dianggap 'kurang' sebanding. Sebab di balik jatah itu masih ada yang mengganjal. Soliterianisme. Sikap menyendiri (mandiri) ini dimaknai sebagai kesombongan. Partai Demokrat dan SBY sombong !

Taste itu yang membuat sebagian besar partai bersikap ambivalen. Mereka  memilih berseberangan. Kemenangan di pansus menunjukkan itu. Dan ini sebagai alat untuk dibukanya kembali 'negosiasi'. Menguak celah 'politik dagang sapi' sebagai solusi.

Memang, salah dan benar kasus Bank Century masih 'debatable'. Masa lalu yang menjadi obyek perkara sangat sulit dilihat secara jernih di jaman yang berbeda. Namun secara politis, Machiavelli memberi pelajaran, jika terbuka peluang menang, ambil kesempatan untuk mewujutkan impian.

Itu dimanfaatkan betul oleh 'lawan-lawan SBY'. Kendati rakyat mayoritas masih memihaknya, tetapi 'perwakilan rakyat' taklah sama dengan rakyat. Akhirnya kelemahan 'lobi politik' itu 'menjatuhkan' citra SBY dan PD.

Politik memang ruang abu-abu. Berjuang untuk kemakmuran, kesejahteraan, dan aspirasi rakyat adalah idealisasi naif. Politik itu tong kosong berbunyi nyaring. Hampir seluruh definisi soal ini tak satu pun menyebut moralitas sebagi 'soko guru' pengambil-alihan kekuasaan. "Kalau kita bicara politik, kita bukan sedang omong soal moral. Kita sedang mengambil kekuasaan," kata Machiavelli.

Malah dalam kancah spiritualitas pun, Milarepa sepakat dengan Machiavelli. Bagi sufi Buddha ini, soal kuasa dan balas dendam hanya bisa dilampiaskan dengan dua cara. Pertama jika punya banyak pengikut serang lawanmu. Kedua kalau sendiri, perdalam sihir untuk 'menyantet' para negator itu.

Jika doktrin politik sekelam itu, bagaimana dengan rakyat sebagai 'pemberi amanah' dan 'penjual amanah'? Secara politis nasib rakyat tidak bergantung pada 'wakil rakyat'. Perbaikan nasib rakyat tidak bisa diharap dari sekadar niat baik sang wakil. Apalagi di musim politik transaksional yang melanda negeri ini.

Yang wajib dilakukan berbagai pihak saat ini adalah melahirkan aturan dan hukum yang ketat. Ini agar wakil rakyat dipaksa berjuang untuk kepentingan rakyat. Tanpa itu nasib rakyat akan terus seperti sekarang. Sang wakil selalu 'ngadali' rakyat. Rakyat dipakai stempel para 'pendekar mabuk' kekuasaan.

*) Djoko Suud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.


(asy/asy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar