Sabtu, 13 Maret 2010

haa iki tentang kepemimpinan yang ideal

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/12/13210499/kepemimpinan.yang.ideal

Kepemimpinan yang Ideal
Jumat, 12 Maret 2010 | 13:21 WIB
Oleh Nurul Lathiffah
Ketika pilkada semakin dekat jaraknya, maka secara kolektif, afeksi kita diarahkan untuk mencari kriteria pemimpin ideal. Kriteria itu pada gilirannya akan membentuk semacam skema atau-sebut saja-kualifikasi tertentu sehingga finalnya kita bisa menetapkan satu pilihan.
Secara subyektif perseptual, kita memiliki ekspektasi bahwa pemimpin yang kita pilih memiliki kepribadian yang matang, penuh tanggung jawab, dan memiliki pola kepemimpinan yang diterima pihak mayoritas.
Persoalan tipe pemimpin ideal kadang bukan murni permasalahan sosial saja, melainkan pencitraan media massa dan penerimaan "calon pemimpin" dalam wilayah budaya menjanjikan sebuah garansi yang kuat bahwa seseorang itu tepat dijadikan sosok pemimpin. Kriteria pemimpin pun memiliki dinamika tersendiri, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan konteks kekinian. Jika pada awal pertumbuhannya negara kita memercayai bahwa karisma adalah faktor yang utama dan pertama, kita jadi paham mengapa Soekarno memiliki masa kepemimpinan yang panjang dengan tingkat penerimaan yang cukup ramah.
Perubahan zaman dan dinamika budaya akhirnya mengalahkan konteks telah membuat masyarakat mengalami semacam titik jenuh. Memang pada akhirnya kepemimpinan yang menyandarkan pada kekuatan karismatik akhirnya beralih pada gaya kepemimpinan yang lebih demokratis dan egaliter. Tentu karismatik yang mencitrakan kewibawaan-dalam kondisi apa pun-tetaplah diperlukan.
Lantas, apa yang diharapkan masyarakat atas pemimpin di masa kini? Mengapa ada sejumlah pemimpin yang tetap mampu mempertahankan legitimasi kedudukannya sebagai leader meski seharusnya secara hukum ia sudah turun dari wilayah kepemimpinan publik? Berkaca pada Bupati Bantul Idham Samawi, meski undang-undang telah membatasi masa kepemimpinannya, warga Bantul masih memiliki ekspektasi bahwa Idham akan tetap menjadi bupati. Peristiwa ini minimal merepresentasikan loyalitas kepada pimpinan karena pemimpin itu dinilai memiliki integritas dan pola kepemimpinan yang mampu memenuhi dahaga masyarakat akan sosok pemimpin ideal yang kompromis dan mengakomodasi kepentingan warga secara fair.
Sesungguhnya ada hal yang menarik dan sangat khas ada pada pribadi Idham Samawi yang barangkali tidak dapat kita temukan pada sosok lain. Idham menggunakan pendekatan-yang dalam istilah psikologi konseling disebut sebagai pendekatan-empatis. Banyak warga yang mengeluhkan permasalahan secara langsung kepada pimpinan tanpa ada sekat dan beban-beban emosional. Kantor bupati yang memiliki kesan eksklusif menjadi sebuah sarana yang menentramkan dan solutif. Dalam hal ini, pola kepemimpinan yang dipakai adalah kontributif dan bersifat melayani. Dengan demikian, Idham telah menempati posisi "agung" dalam skema warganya. Berdasarkan hukum yang sedikit, kepemimpinan yang khas dan sangat jarang ditemui ini menjadi semacam "euforia" dan kebahagiaan bagi warganya.
Akhirnya, dalam wilayah sosial yang semakin tak menentu dan keadaan masyarakat yang frustrasi, kepemimpinan empatis dan transformasional adalah harapan semua pihak. Tipe kepemimpinan ini menjanjikan ketenteraman dan jarak psikologis yang dekat dan penuh wibawa. NURUL LATHIFFAH Mahasiswi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar