Rabu, 10 Maret 2010

haa iki tentang petani karet

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/10/03351537/berbagi.lahan.dengan.petani.karet
JELAJAH MUSI 2010
Berbagi Lahan dengan Petani Karet
Rabu, 10 Maret 2010 | 03:35 WIB
Jannes Eudes Wawa dan Agus Mulyadi
Herman (57) tidak pernah membayangkan bakal memiliki perkebunan karet seluas 2 hektar. Selain tidak memiliki tanah, buruh tani ini pun tak punya modal untuk membeli perkebunan karet di daerah yang kini harganya sekitar Rp 70 juta per hektar.
Akan tetapi, lelaki asal Jawa Tengah yang sudah 20-an tahun merantau di Desa Petunang, Kecamatan Tuah Negeri, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan (Sumsel), itu setahun lagi akan memiliki perkebunan karet seluas 2 hektar (ha). Lahan itu diperoleh setelah Herman menanam, mengolah, dan merawat tanaman karet seluas 4 ha milik Haji Syahmat, tuan tanah setempat.
”Sesuai perjanjian dengan Haji Syahmat, kami akan diberi kebun karet 2 ha setelah karet yang kami tanam pada lahan miliknya seluas 4 ha berusia lima tahun. Kebun karet bersama tanah 2 ha tersebut akan menjadi milik kami selamanya,” kata Hadi Wibowo (23), putra tertua Herman.
Sistem bagi lahan seperti ini telah berlangsung sejak tahun 1990-an di Musi Rawas dan Sumsel. Bahkan, sistem ini dinilai menguntungkan kedua pihak. Para pemilik tanah bakal tidak lagi memiliki lahan kosong yang telantar sebab sudah ditanami karet. Sebaliknya, para penggarap pun dapat memiliki kebun karet setelah mengolah dan menanami lahan dengan tanaman karet hingga usia lima tahun.
”Kalau punya kebun karet sendiri, hidup kami pasti lebih baik. Penghasilan yang diperoleh setiap hari pun lebih besar dibandingkan dengan menjadi buruh tani atau penggarap,” papar Hadi.
Selama ini di Musi Rawas, misalnya, para pemilik perkebunan karet sangat jarang terlibat langsung dalam penyadapan getah. Mereka cenderung menggunakan jasa buruh dengan sistem pembagian hasil, yakni 60 persen untuk buruh tani dan 40 persen menjadi milik pemilik kebun. Pembagian itu dilakukan setiap hari seusai penyadapan getah karet.
”Kalau dalam sehari kami bisa menyadap getah 30 kilogram, berarti kami hanya mendapatkan 18 kilogram. Hasil ini cukup lumayan besar, tetapi tidak sebesar kalau karet itu milik sendiri. Makanya, kami sekarang lebih memilih mengerjakan kebun karet yang nantinya sebagian tanah menjadi milik sendiri,” tutur Hadi yang sudah 10 tahun menjadi buruh di perkebunan karet.
Dengan harga karet mentah hasil sadapan saat ini Rp 9.000 per kilogram, buruh penyadap alias penderes karet seperti Hadi mampu memperoleh pendapatan Rp 162.000 per hari.
Sejumlah kewajiban
Dalam mengolah lahan, para penggarap dibebani kewajiban membersihkan kebun dan menanam karet. Untuk bibit, biasanya pemilik tanah menginginkan lahannya ditanami karet jenis unggul sebab dinilai lebih berkualitas. Sebaliknya, para penggarap lebih memilih menggunakan karet alam di lahan yang bakal menjadi miliknya.
Karet jenis unggul diakui pada usia delapan tahun sudah bisa diambil getahnya, tetapi masa produksinya hanya maksimal 25 tahun. ”Kalau karet alam pada usia 10 tahun baru diproduksi, tetapi usia produksi jauh lebih lama mencapai 40-50 tahun. Bibitnya pun gampang didapat di kampung-kampung,” kata Nyonya Sriyana (47), petani karet di Tuah Negeri.
Pemilik tanah juga diwajibkan menyediakan pupuk dan obatan-obatan. Penggunaan pupuk dan obat-obatan pada lahan milik penggarap selama lima tahun masa pengolahan dan perawatan dihitung sebagai kredit. Pengembalian kredit tersebut dilakukan setelah karet yang diberikan pemilik tanah kepada penggarap berproduksi. ”Semua perjanjian ini berlaku atas dasar saling percaya dan jarang dilakukan secara tertulis. Sejauh ini di antara kami sangat menghormati dan menjalankan dengan sungguh-sungguh,” tutur Hubir (54), pemilik tanah di Desa Mandiaur, Kecamatan Muara Kelingi, Musi Rawas.
Hubir mengaku, ia pernah menggunakan sistem pembagian lahan dengan penggarap pada beberapa tahun silam. Saat itu banyak lahan miliknya hanya menjadi hutan tak produktif. Setelah menerapkan sistem tersebut, ia memiliki puluhan ha kebun karet yang setiap hari menghasilkan uang.
”Memang, saya kehilangan beberapa hektar tanah, tetapi sebagai gantinya saya juga telah memiliki kebun karet yang luas dan produktif. Jadi, sama-sama untung dengan penggarap,” ujar Hubir.
Data Dinas Perkebunan Sumsel menyebutkan, luas perkebunan karet di Sumsel saat ini mencapai 1,15 juta ha. Namun, hanya 861.333 ha di antaranya yang berproduksi. Areal perkebunan karet itu naik dibandingkan dengan tahun 2004 seluas 928.182 ha.
Karet memang komoditas yang paling diminati petani di pedesaan Sumsel serta daerah lain di Sumatera dan Kalimantan. Maklum, setelah berproduksi, setiap hari bisa menghasilkan uang.
Jika dipupuk dan dirawat teratur, kebun itu akan menghasilkan getah yang lebih banyak.
Itu sebabnya, banyak anak usia sekolah di pedesaan Musi Rawas, misalnya, seusai tamat SD atau SMP, cenderung memilih jadi penyadap karet daripada melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan, ada yang masih sekolah pun sudah berani kredit motor karena memiliki penghasilan dari menyadap karet. ”Anak-anak di sini sudah punya uang sendiri meski masih sekolah. Ini bagus karena bisa meringankan beban orangtua, tetapi juga menghambat mereka untuk melanjutkan sekolah. Makanya, di sini banyak anak muda di desa yang umumnya hanya tamat SD atau SMP,” kata Sriyana.
Lebih memprihatinkan lagi ada beberapa sarjana yang kembali ke desanya dan menjadi penyadap karet. ”Mereka selalu menolak melanjutkan pendidikan setelah lulus SMP atau SMA, dengan membandingkan beberapa sarjana yang kembali ke desa jadi penyadap karet karena sulit dapat pekerjaan,” ujar Sriyana.
Setelah memiliki kebun karet, petani karet di Sumsel memang harus berupaya lebih keras lagi meyakinkan anak-anak setempat agar bersedia melanjutkan ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi. Kalau tidak, tentu sulit bagi mereka mendapatkan penghasilan.
Bagi hasil untuk mendapatkan kebun atau menyadap karet semakin berkurang karena semakin banyak mulut yang harus disuapi. (Wisnu Aji Dewabrata)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar