Kamis, 18 Maret 2010

haa iki salah satu irno negeriku

Sumber : http://inilah.com/news/read/galeri-opini/2010/03/18/404662/balada-janda-dan-sandal-plastik/
Galeri Opini
18/03/2010 - 05:51
Kasus Pidana Janda Pahlawan
Balada Janda & Sandal Plastik
Nyoman Brahmandita

(istimewa)
INILAH.COM, Jakarta - Kalau ada janda kembang, meskipun cuma pakai sandal plastik pastilah menarik dipandang. Apalagi bila sandal yang mengalasi kaki jenjangnya berharga mahal dengan cap buaya nyengir, yang lagi ngetop itu. Tapi pemandangan itu menjadi terasa ironis, saat masih ada janda pahlawan yang terusir dari rumahnya dan lantas dikriminalkan.
Dalam tempo dua hari lalu, memang terjadi dua peristiwa yang ironis. Di salah satu mall mewah di ibu kota, ratusan bahkan mungkin ribuan orang dari kelas menengah atas harus rela antri sekadar untuk bisa membeli sandal plastik dengan diskon besar-besaran.
Pada saat yang sama, di sudut lain ibu kota ternyata ada dua orang janda pahlawan yang harus meratapi nasib nahas di hari tuanya. Dua janda pahlawan yang telah uzur itu harus menerima nasib dijadikan pelaku kriminalitas.
Lebih ironis lagi, mereka itu justru dikriminalkan oleh pemerintah yang notabene berkuasa di atas negeri yang dibela mati-matian oleh para almarhum suami mereka. Karena jasa mendiang suami-suami mereka, negeri ini bisa berdiri.
Tetapi, rupanya, jasa para pahlawan itu tidak cukup untuk bisa diberikan penghargaan dan fasilitas hidup selayaknya seorang warga negara yang telah berjasa merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Boro-boro bisa ikut antri membelikan sandal merek ngetop yang orisinal untuk cucu mereka. Untuk mempertahankan rumah yang telah dihuni puluhan tahun pun, mereka tak mampu.
Sebenarnya, dua janda pahlawan itu, yaitu Rusmini Ahmad Kuseini (78) dan Soetarti Soekarno (78) punya minat dan kemauan untuk membeli rumah dinas milik Perum Pegadaian. Prosedur resmi sudah mereka tempuh untuk bisa mendapatkan hak kepemilikan atas rumah dinas yang ditempati sejak para suami mereka masih berdinas aktif di BUMN itu.
Alih-alih mendapatkan hak kepemilikan secara resmi dari negara atas rumah dinas itu, mereka malah diusir. Belum cukup diusir, mereka juga diadukan secara pidana dan harus menjalani sidang di pengadilan, lantaran dituduh menyerobot lahan milik negara.
Sulit untuk bisa diterima dengan akal sehat. Bagaimana mungkin para janda pahlawan itu bisa melakukan penyerobotan bila sejak 1980-an mereka telah menghuni rumah dinas itu secara resmi.
Dari sisi rasa keadilan publik, juga sangat ironis bila para pejabat yang pernah dan sedang berkuasa bisa mendapatkan beragam fasilitas mewah dan berkelas dari negara. Sedangkan para pahlawan maupun janda pahlawan tidak mendapatkan fasilitas apapun.
Kasus hari tua Rusmini dan Soetarti yang terlantar ini bukanlah kasus tunggal. Telah sering diberitakan dan ditemui, para pahlawan atau veteran pejuang yang pada masa tuanya juga hidup dalam segala kekurangan.
Paling banter mereka hanya mendapat perhatian saat ada upacara dan acara seremonial belaka. Biasanya saat menjelang perayaan hari Kemerdekaan 17 Agustus, hari Pahlawan 10 November, dan pada hari-hari jadi berbagai kesatuan di lingkungan TNI.
Perhatian itu pun terkesan hanya basa-basi, formalitas, dan bersifat sesaat. Sekadar berbincang-bincang sejenak sembari menikmati hidangan ala kadarnya, kemudian bersalaman atau berfoto bersama. Saat hendak pulang, para veteran dan istrinya atau janda pahlawan itu dibekali bingkisan kecil yang didalamnya diselipkan amplop berisi uang secukupnya.
Setelah itu, selesai. Dan yang terjadi kemudian, para pahlawan itu kembali dilupakan. Mereka pun hanya bisa menunggu acara-acara serupa pada tahun berikutnya. Tentu bila Tuhan masih memberikan umur panjang pada mereka.
Para pajabat, tampak tidak cukup memiliki waktu dan tenaga untuk memikirkan solusi permanen yang adil dan manusiawi bagi para pahlawan dan keluarganya. Padahal, sekali lagi, mereka bisa menjadi penguasa di atas negeri merdeka berkat jasa para pahlawan dan pengorbanan keluarganya itu.
Yang terjadi, para pejabat justru sibuk mengurus sisi ekonomi dan politik yang sama sekali tidak menyentuh nasib sebagian warga negara yang berjasa besar atas kemerdekaan negeri ini. Impor dan obral sandal mahal itu tadi misalnya, bisa terjadi lantaran pemerintah lebih memikirkan urusan pertumbuhan ekonomi, ketimbang pemerataan dan keadilan pembangunan ekonomi.
Arus impor barang konsumsi dan nafsu konsumtif masyarakat, terutama kelas menengah atas digenjot habis-habisan. Kebijakan-kebijakan ekonomi dan pembangunan pun tampak didesain untuk mendukung gaya hidup hedonis yang konsumtif. Memang konsumerisme masyarakat terbukti mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tetapi pertumbuhan ekonomi itu tidak bisa dinikmati Rusmini dan Soetarti. Para janda pahlawan dan para pahlawan yang masih berumur panjang hingga saat ini, hanya menjadi penonton bahkan korban dari pembangunan negara yang mereka dirikan di atas tanah tumpah darahnya.
Tetapi biar bagaimanapun, para pahlawan dan janda pahlawan tidak akan pernah menyesali perjuangan dan pengorbanan mereka, kendati harus hidup dalam ketidakadilan. Itulah bedanya pahlawan dan warga negara biasa. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar