Jumat, 12 Maret 2010

haa kapan mandirine?

Sumber : http://inilah.com/news/read/galeri-opini/2010/03/12/395781/kok-cuma-bisa-jadi-kontraktor/
Galeri Opini
12/03/2010 - 05:48

Kegagalan Pembangunan (1)
Kok, Cuma Bisa Jadi Kontraktor?
Nyoman Brahmandita
INILAH.COM, Jakarta - Malang nian nasib perekonomian negara ini. Berbagai konsep dan kebijakan pembangunan yang dijalankan tak kunjung mampu mewujudkan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi yang permanen. Alhasil, rakyat Indonesia harus hidup dalam kedaulatan ekonomi yang semakin rentan.
Soal kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL), pasokan gas untuk industri, impor BBM, impor gas, serbuan barang-barang impor, dan sederet masalah lainnya, merupakan bukti kegagalan kebijakan ekonomi. Alih-alih menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang disegani di dunia, perekonomian Indonesia justru semakin tergantung impor.
Impian menjadi salah satu macan Asia pun makin jauh dari kenyataan. Perekonomian nasional malah kian terseok-seok dan jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga.
Soal kenaikan TDL, pasokan gas, impor gas, dan impor BBM, misalnya, menunjukkan kegagalan kebijakan ekonomi mewujudkan ketahanan energi nasional. Indonesia yang memiliki sumber-sumber minyak dan gas bumi, yang notabene adalah sumber energi primer, ternyata malah harus mengimpor dari negara lain.
Kebijakan selama ini tidak mampu mewujudkan BUMN atau swasta nasional, yang benar-benar mampu mengebor, mengolah, dan memasarkan sendiri minyak dan gas bumi. Akibatnya, anak negeri ini harus merelakan harta karun ibu pertiwinya dibor, dipompa, diolah, dan dipasarkan oleh perusahaan-perusahaan asing.
Proses eksplorasi, eksploitasi, refinery, dan distribusi minyak dan gas bumi memang membutuhkan biaya sangat besar. Dengan asumsi harga-harga pertengahan 2009 lalu, untuk mengebor 1.273 sumur minyak di seluruh Indonesia dibutuhkan biaya sekitar Rp33 triliun. Itu baru biaya pengeborannya, belum menghitung biaya eksplorasi dan pengolahan maupun distribusinya.
Bukan cuma modal besar yang dibutuhkan, tetapi juga teknologi juga sangat rumit. Sedemikian rumitnya, sehingga tidak satu pun perusahaan nasional yang sanggup melakukannya.
Salah menerapkan tehnologi, hasilnya justru runyam seperti kasus pengeboran sumur minyak di Sidoarjo, Jatim. Bukannya minyak yang berhasil dipompa, justru lumpur yang menyembur tak terkendali dan menenggelamkan sebagian wilayah Sidoarjo.
Begitu besarnya modal dan rumitnya tehnologi sampai-sampai tak satupun perusahaan nasional kecuali Pertamina yang pernah melakukannya sendirian. Alhasil, Indonesia selalu mengandalkan kekuatan asing untuk memompa kekayaan alam dari kandungan ibu pertiwi.
Hal serupa juga terjadi pada pembangkit listrik tenaga panas bumi. Kebutuhan modal yang sangat besar, serta teknologi yang sangat rumit, menyebabkan Indonesia harus merelakan pemanfaatan panas bumi dilakukan langsung perusahaan-perusahaan asing. Akibatnya, mereka menekan pemerintah agar menerima harga jual listrik yang mereka tentukan.
Bayangkan, harga patokan tertinggi listrik panas bumi yang ditetapkan pemerintah sebesar US$9,7 sen per kWh. Padahal studi Bappenas justru menemukan, harga patokan yang wajar hanya sekitar US$5 sen per kWh.
Ketergantungan pada perusahaan asing itulah, yang kini menyebabkan Indonesia terjebak di atas harta karunnya sendiri. Indonesia harus merelakan minyak dan gas bumi dijual ke luar negeri, karena hal itu telah menjadi persyaratan yang diminta asing.
Rakyat harus menanggung biaya listrik panas bumi yang lebih mahal. Karena bila tidak demikian, maka tidak akan ada investor asing yang mau memproduksi listrik panas bumi di Indonesia.
Rakyat harus rela menghadapi kelangkaan BBM dan gas karena sebagian minyak dan gas bumi justru diekspor memenuhi keinginan para juragan kapitalis asing. Para kapitalis asing itu tumbuh menjadi raksasa berkat keuntungan berlimpah ruah yang dipompa dari perut ibu pertiwi.
Anehnya, sejak pengeboran minyak pertama kali dilakukan di Wonocolo, Jawa Timur pada 1879, sampai hari ini, belum juga muncul satu pun perusahaan nasional sekaliber Caltex, ConocoPhillips, Unocal Corp, Petro China, Chevron, BP, Shell, dan lain-lain.
Pertamina yang dibangga-banggakan sebagai perusahaan minyak andalan, justru masih terseok-seok. BUMN ini lebih disibukkan urusan-urusan manajemen internal. Perusahaan minyak swasta nasional saat ini, paling banter cuma mampu menjadi partner lokal atau kontraktor yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan asing kaliber dunia itu.
Seharusnya melalui kebijakan fiskal dan non-fiskal, kebijakan moneter, maupun kebijakan politiknya, pemerintah dapat dan mampu mendorong lahirnya perusahaan-perusahaan minyak nasional yang tangguh. Toh hal itu tidak pernah terjadi, bahkan di jaman rezim Orde Baru yang otoriter sekalipun.
Kegagalan itu, telah memposisikan kedaulatan ekonomi di titik nadir. Betapa tidak, untuk menikmati kekayaan alam yang merupakan anugerah langsung dari Sang Maha Pencipta, rakyat Indonesia masih harus mengalah kepada kekuatan ekonomi asing. [mdr]
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar