Kamis, 27 Januari 2011

haa iki All Out = Kerja Keras + Komitmen Bersama

Peluang Terbaik Si Bunga Emas
Kamis, 27 Januari 2011 | 04:33 WIB

Oleh Anton Sanjoyo

Dominasi China di dunia olahraga sudah tak terbantahkan sejak mereka menjadi yang terbaik di Olimpiade 2008 Beijing. China, yang menggusur hegemoni Amerika Serikat dan Rusia serta negara-negara Eropa Barat, memang punya kerangka pembangunan yang menempatkan olahraga sebagai satu dari tiga pilar utamanya. Ambisi politik Partai Komunis China untuk terus menancapkan kekuasaannya lewat pencitraan dan keberhasilan olahraga memang juga menjadi faktor penting. Namun di atas semua itu, China sungguh all-out membangun prestasi olahraganya.
Selain all-out, kunci sukses China justru pada kebijakannya yang mengesampingkan ideologi komunisnya dalam cara memandang cabang olahraga. Seperti halnya bidang ekonomi saat mereka menerima kapitalisme Barat pada tahun 1980-an dengan memasukkan modal asing, demikian pula dalam cabang olahraga. Tenis, misalnya—semula dianggap sebagai olahraga kaum borjuis dan identik dengan kapitalisme Barat—dibuka peluangnya untuk tumbuh secara masif. Sejak akhir tahun 1990-an, China mulai membangun olahraga tenis. Sampai sekarang 30.000 lapangan tenis dengan 14 juta pemain tersebar di seluruh negeri, dan mereka mulai berbicara banyak di arena elite profesional.
Tinta emas China di dunia tenis elite pertama kali ditorehkan pasangan putri Li Ting dan Sun Tian Tian yang merebut medali emas di Olimpiade Athena 2004. Dua tahun kemudian, China menambah catatan sejarahnya di Grand Slam Australia Terbuka dan Wimbledon saat pasangan Zheng Jie dan Yan Zi menjadi juara. Pada tahun 2006 pula, Li Na menjadi tunggal putri pertama China yang menembus babak perempat final grand slam di All England Club, arenanya Wimbledon. Li Na juga menjadi petenis China pertama yang menembus peringkat 20 besar dunia.
Jejak Li Na kemudian diikuti oleh Zheng Jie yang mulai lebih fokus di nomor tunggal. Ia menjadi petenis China pertama yang menembus semifinal grand slam di Wimbledon 2008. Setahun kemudian, Zheng menembus posisi 15 besar dunia. Tahun lalu, Li Na dan Zheng Jie mencatat sejarah baru di Melbourne setelah bersama-sama masuk semifinal. Media massa kemudian menyebut dua pahlawan China tersebut sebagai para ”bunga emas”.
Tahun ini di Melbourne Park, Li Na mengulang prestasi tahun lalu dengan menembus empat besar. Pada semifinal hari ini di Rod Laver Arena, Li Na akan mencoba menorehkan sejarah yang lebih gemilang dengan menghadapi unggulan pertama dan peringkat satu dunia, Caroline Wozniacki. Bagi Wozniacki, kemenangan dan gelar di Melbourne juga akan merupakan sejarah sekaligus pembuktian diri bahwa dia memang pantas menyandang gelar si nomor satu. Bagi Li Na, sejarah yang akan dia ukir jauh lebih punya alasan karena terhubung dengan negara dan bangsa.
Pada usia 28 tahun, barangkali inilah kesempatan terbaik bagi Li Na untuk menatahkan prestasi China di tingkat elite dunia tenis. Di nomor ganda China punya pasangan Zheng Jie dan Yan Zi yang sukses menjadi juara. Demikian pula di olimpiade, China sudah menorehkan tinta emas. Maka, pada bahu Li Na harapan itu tertumpu untuk prestasi di nomor tunggal.
Melihat perjalanannya, peluang Li Na terbentang luas. Sebelum terjun di Australia Terbuka, perempuan kelahiran Wuhan, 26 Februari 1982, ini menjuarai turnamen Sydney. Di final, Li Na bahkan menumbangkan Kim Clijsters, unggulan ketiga di Melbourne. Sejak babak penyisihan, Li Na tak pernah kehilangan satu set pun, bahkan tak pernah melalui tie break dalam perjalanan ke semifinal. Determinasi Li Na semakin matang berkat tumpuan kakinya yang sangat kokoh dan gerakan lenturnya dari garis belakang. Li Na menjadi satu dari sedikit sekali petenis yang mampu melepaskan pukulan relatif datar dan menukik secara konsisten. Li Na pun makin menunjukkan kematangannya dalam situasi tertekan saat menumbangkan Andrea Petkovic di perempat final.
Di antara para ”bunga emas” lain seperti Zheng Jie atau Peng Shuai, Li Na memang paling konsisten penampilannya di ajang major. Bangun tubuh yang kokoh dengan tinggi badan 172 sentimeter membuat dia paling tahan dalam persaingan tenis saat ini, yang didominasi petenis bergaya speed and power. Meski tak muda lagi, Li Na mampu mengimbangi ketangguhan fisik petenis-petenis berusia jauh lebih muda lewat gaya permainan yang sangat efisien.
Boleh dibilang, Li Na memang terlambat berkembang. Memulai karier profesional pada 1999, Li Na sempat pensiun dari dunia tenis pada 2004 karena merasa prestasinya mandek. Dia kemudian melanjutkan pendidikan di universitas. Namun hanya tahan selama dua tahun jauh dari lapangan tenis, Li Na kemudian memutuskan kembali ke dunia tenis dengan sokongan penuh sang suami, Jiang Shan, yang juga mantan petenis top China. Semula Li Na dilatih Thomas Hogstedt, tetapi Jiang kemudian menjadi pelatihnya.
Kebijakan politik yang makin terbuka dari Federasi Tenis China soal sponsorship dan prize money yang lebih memihak kepada atlet diakui Li Na sebagai salah satu pendorong kuat kembalinya dia ke dunia tenis. ”Namun lebih dari itu, saya hanya ingin membuktikan bahwa China bisa lebih banyak berbicara di tenis elite dunia,” ujar Li Na, yang pernah bercita-cita menjadi pemain bulu tangkis.
Sebagai unggulan kesembilan, Li Na memang menjadi petenis yang paling jauh peringkat unggulannya di babak empat besar. Tiga kontestan lain, Wozniacki, Clijsters, dan Vera Zvonareva, adalah petenis peringkat tiga besar. Meski begitu, tak ada alasan bagi Li Na untuk berjalan dengan kepala tertunduk menghadapi Wozniacki. Selain gelar di Sydney, Li Na juga punya bekal dua kemenangan atas petenis asal Denmark itu dalam dua pertemuan mereka tahun lalu. Meski statistik terakhir lebih memihak, Wozniacki pasti bukan lawan yang empuk bagi Li Na. Konsistensi dan ketangguhannya membuat petenis berdarah Polandia itu berhak atas gelar petenis putri nomor satu.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/27/04335363/peluang.terbaik.si.bunga.emas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar