Senin, 24 Januari 2011

haa iki Hambar Gula Karena Anomali Cuaca

ANOMALI CUACA
Hambar Sudah Rasa Gula Cirebon
Senin, 24 Januari 2011 | 04:42 WIB

Oleh Timbuktu Harthana

Gula dari kebun tebu di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kini tidak lagi ”manis”. Rasanya hambar karena bercampur peluh kesedihan para petaninya yang terjebak anomali cuaca serta karut-marut manajemen dan infrastruktur perkebunan.
Musim giling tebu tahun 2010 memang bukan tambang emas bagi para petani tebu di Cirebon. Untung yang mereka harapkan, tetapi kerugian yang didapat. Membengkaknya biaya produksi, terutama ongkos tebang-angkut, membuat petani tebu dengan lahan kurang dari 5 hektar harus mengelus dada. Dipanen rugi, apalagi tak dipanen, menjadi dobel ruginya.
Akibatnya, segala upaya dilakukan petani untuk menebang dan mengangkut tebu dari kebun mereka ke pabrik penggilingan tebu. Seperti dilakoni dua kelompok buruh tani tebu, akhir Desember 2010, yang melawan derasnya Sungai Cijangkelok. Di sungai yang melintasi Desa Tanjunganom, Kecamatan Pasaleman, itu mereka milir tebu, menghanyutkan tebu yang telah dipanen ke sungai, agar dapat diangkut ke pabrik gula.
Prosesnya, seperti biasa, diawali dengan penebangan batang tebu. Tebu diikat dalam satu ikatan seberat 30-40 kilogram, lalu dibawa ke tepi sungai. Selanjutnya ratusan ikat tebu dihanyutkan, dikawal tiga hingga empat buruh tani. Biasanya ada 250-300 ikat yang dihanyutkan.
Wajar saja ratusan ikat tebu yang dihanyutkan itu dikawal. Sebab, dari 250 ikat, biasanya sekitar 20 persen di antaranya hilang di perjalanan. Ada yang tersangkut di bantaran sungai, tenggelam, dan hanyut hingga ke hilir sungai. Belum apa-apa petani harus kehilangan tebu.
Selanjutnya ratusan ikat tebu itu dihadang sejumlah buruh tani yang berjaga-jaga di satu lokasi yang paling dekat dengan jalan aspal. Keco (50) dan belasan buruh lain, misalnya, berjibaku mengumpulkan ikatan tebu yang hanyut bersama derasnya arus sungai karena hujan malam sebelumnya. Setelah terkumpul, tebu mereka panggul keluar dari sungai menuju truk yang diparkir 50 meter dari bibir sungai.
Bolak-balik Keco dan teman-temannya memunguti dan mengangkut ikatan tebu. Raut kelelahan tergambar di wajah mereka yang sudah bekerja nonstop selama enam jam sejak pukul 08.00. ”Kami harus buru-buru, soalnya masih ada kelompok lain yang juga mau mengambil tebu yang sudah dihanyutkan,” ujar Keco di tepi Sungai Cijangkelok.

Jalan terakhir
Karman, petani tebu di Kecamatan Pasaleman, menyebutkan, milir tebu dianggap cara paling efektif untuk mengakali kegiatan tebang-angkut tebu yang tersendat di kondisi jalan perkebunan yang buruk. Buruknya infrastruktur itu kian terasa kala hujan deras terus-menerus mengguyur perkebunan. Jalan menjadi kubangan lumpur sehingga tak bisa dilewati truk tebu. Bahkan, traktor pun sulit melintas.
Milir tebu adalah jalan terakhir untuk mengurangi potensi kerugian musim tanam para petani. Jika dipanen, ongkos tebang yang ditanggung membengkak sampai tiga kali lipat. Biasanya, pada saat cuaca normal, ongkos tebang-angkut hanya berkisar Rp 6.000 per kuintal, tetapi saat musim hujan seperti saat ini mencapai Rp 25.000 per kuintal. Namun, jika tak dipanen, kerugian malah tambah besar, sampai Rp 20 juta per hektar, sesuai biaya produksi tebu satu musim.
Jalan kebun yang buruk juga dikeluhkan oleh pengelola tiga pabrik gula (PG) di Cirebon, yaitu PG Tersana Baru, PG Karangsuwung, dan PG Sindang Laut. Sederet upaya dilakukan pengelola PG untuk membantu petani mengangkut tebu dari kebun ke PG. Sebab, PG punya kepentingan. Jika pasokan tebu kurang, produksi gula akan tersendat. Padahal, mesin giling tebu tak boleh berhenti giling selama proses penggilingan.
Untuk memudahkan pengangkutan, PG Karangsuwung dan PG Sindang Laut akhirnya menyewa beberapa traktor untuk mengangkut tebu. Bahkan, kedua PG ini membuat perahu kecil dari drum bekas yang digunakan untuk mengangkut tebu dari daerah yang tak bisa dimasuki truk tebu. Perahu-perahu itu ditarik dengan traktor dari tengah ke pinggiran kebun.
Koordinator lapangan PG Karangsuwung, Eko Yudono, mengatakan, pihaknya sampai membuat 32 kapal drum untuk memudahkan pengangkutan tebu dari kebun.
Tak hanya itu, PG Karangsuwung juga menggunakan teknik flying fox yang bermodal Rp 12 juta untuk memudahkan pengangkutan tebu dari kebun yang tak bisa dimasuki traktor dan truk tebu. Namun, upaya ini tidak berhasil karena tiang pancang tak mampu menahan beban terlalu berat.

Masalah utama
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan, dan Kehutanan Cirebon Ade Hasan mengakui, kondisi jalan yang jelek menjadi masalah utama petani tebu di daerahnya. Sayangnya, baik pemerintah daerah maupun pusat tak peduli dengan kondisi ini. Sangat sedikit dana yang dialokasikan pemerintah untuk pembangunan jalan kebun. Padahal, proses on-farm (peningkatan produksi tebu di kebun) hingga off-farm (peningkatan kapasitas giling pabrik) dari tebu menjadi gula di Cirebon masih bergantung pada musim.
Terhambatnya pengangkutan tebu dari kebun mengakibatkan pasokan bahan baku gula ke pabrik tersendat. Jumlah tebu yang digiling kurang dari kapasitas pabrik. Akibatnya, waktu giling molor sampai tiga bulan. Akhirnya, agar PG tidak kekurangan pasokan, petani yang telah terikat kontrak dengan PG berupaya memasok tebu dengan cara apa pun.
Jika bobroknya infrastruktur perkebunan ini dibiarkan, ada kemungkinan petani akan beralih komoditas. Sebab, tren ke arah sana terlihat dari penyusutan luas tanam tebu di Cirebon dari 8.763 hektar (2007) menjadi 7.551 hektar (2010). Demikian pula rendemen gula turun dari 7,4 persen menjadi 6 persen.
Biarpun kebun tebu mereka tak selalu menawarkan rasa manis pada setiap panen, petani di Cirebon masih menaruh harapan besar kepada kebun milik mereka. Mereka bermimpi tidak hanya pedagang gula yang terus-menerus mendulang manisnya batang-batang tebu.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/24/04425044/hambar.sudah.rasa.gula.cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar