Jumat, 28 Januari 2011

haa iki Kabar Kinahrejo

FOKUS

Kinahrejo yang Kembali Guyub

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warga menanam pohon di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (27/1). Selain menggantungkan hidup dari jasa pariwisata dadakan, sebagian penduduk Kinahrejo juga bergotong royong menanam pohon di lokasi yang pernah dilanda lahar panas Gunung Merapi.
”Minggu depan main ke sini lagi, ada acara musik,” ujar Sarbandi, warga Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (23/1). Bersama dua rekannya, ayah dua anak itu sedang mengerjakan panggung sederhana.
Panggung itu berdiri di atas bukit, berlatar Gunung Merapi, yang pagi itu tersaput kabut tipis. Dari atas bukit terlihat jelas lereng-lereng Merapi yang mulai hijau oleh rumput kalanjana. Warna hijaunya kontras dengan gundukan pasir abu-abu yang menutup hampir seluruh wilayah Kinahrejo.
Dengan bantuan dana dari seorang warga Yogyakarta yang pernah menyediakan rumahnya untuk pengungsian sementara, Sarbandi dan rekan-rekannya juga membangun tempat makan di lokasi itu. Mereka menggunakan bahan baku yang bisa dimanfaatkan dari sekitar dusun. Dasar panggung menggunakan batako yang pasirnya cukup dikeruk dari lahan tempat panggung didirikan. Bangku penonton dibuat dari sisa-sisa bambu petung yang selamat dari terjangan awan panas.
Kinahrejo, tiga bulan pascaerupsi Merapi, adalah dusun yang guyub. Hampir setiap hari orang datang mengunjungi wilayah yang terkena dampak letusan paling parah itu. Pada akhir pekan, pengunjung yang datang bisa ratusan orang. Sebagian besar ingin melihat kampung Mbah Maridjan.
Hampir setiap hari pula Mukiji, warga Dusun Kinahrejo, siap dengan sepeda motor miliknya. Dengan sabar ia menunggu pengunjung yang mau memanfaatkan jasa ojek sepeda motor untuk naik dari batas terakhir kendaraan pribadi boleh masuk sebelum naik ke rumah Mbah Maridjan yang berjarak sekitar 1 kilometer. Di batas itu, warga membangun posko pengelolaan.
”Jasa ojek Rp 20.000 per penumpang, sudah termasuk jasa saya sebagai pemandu,” ungkap Mukiji. Dari jasa itu, sebesar Rp 15.000 masuk ke kantongnya dan Rp 5.000 diambil untuk kas yang dikelola bersama oleh warga.
Pengunjung yang menggunakan jasanya dibawa ke bekas rumah Mbah Maridjan yang sekarang sudah rata tertutup abu vulkanik.
Sebelum bencana, Mukiji adalah penggaduh sapi perah. Ia memelihara sapi milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Dulu, tiga sapi yang diurusnya menghasilkan 25 liter susu segar per hari. Susu itu dijual ke koperasi dengan harga Rp 3.000 per liter. Kini, penghasilan seperti itu baru diperolehnya saat pengunjung ramai pada akhir pekan. ”Tapi saya senang, yang penting ada pemasukan,” katanya.
Kehilangan harta benda tak membuat warga kehilangan akal. Mereka memanfaatkan lahan bekas rumah untuk disewakan. Sarbandi, misalnya, kini sudah siap menyewakan lahannya kepada sesama pengungsi yang membuka warung. ”Nanti sistemnya juga bagi hasil, dikelola bersama oleh warga dusun,” kata Sarbandi.
Kegairahan tak hanya menjangkiti warga asli Merapi. Orang yang memiliki keterikatan sosial dengan Merapi juga tak segan membantu. Agus Riyanto, warga Perumahan Gunung Sempu, Kabupaten Bantul, salah satunya. Agus, yang menghabiskan masa remaja di Kinahrejo, membangun kembali masjid di sebelah rumah Mbah Maridjan. Minggu pagi itu ia baru saja naik ke punggung Merapi untuk melihat kondisi Umbul Delimasari dan Umbul Wadon.
”Mata air di sekitar Merapi harus dihidupkan karena itu yang sangat penting bagi warga untuk kembali membangun dusun mereka,” kata Agus.
Dalam lokakarya ”Struktur Sosial Masyarakat Pasca-Letusan Merapi di Yogyakarta”, akhir 2010, terungkap, masyarakat Merapi akan berusaha mempertahankan kampung mereka. Tidak sekadar sebagai sumber penghidupan, tetapi juga sebagai dasar konstruksi dan identitas sosiokultural.
Oleh karena itu, program pemukiman kembali, transmigrasi, dan hunian sementara akan mudah mendapat resistensi dari warga. Resistensi terjadi karena kekhawatiran akan retaknya kohesi sosial yang berbasis pada ikatan dusun dan kekerabatan. Program rehabilitasi sedapat mungkin diarahkan untuk memfasilitasi warga menghidupkan kembali kampung halaman mereka.
Hal ini perlu menjadi pertimbangan pemerintah ketika merencanakan program rehabilitasi dan rekonstruksi dengan slogan ”Membangun yang Lebih Baik dari Sebelumnya”. Sebab, program rehabilitasi dan rekonstruksi tak sekadar memindahkan dan membangun. Pemulihan ekonomi, misalnya, perlu memerhatikan prinsip keberlanjutan dan berkelompok.
PM Laksono, antropolog dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan, bencana melahirkan kebaruan dalam kehidupan masyarakat. Kecepatan kebaruan bisa terjadi jika ada motivasi dan kreativitas. Warga Merapi telah membuktikan hal itu.
(DOT)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/28/04575278/kinahrejo.yang.kembali.guyub

Tidak ada komentar:

Posting Komentar