Senin, 31 Januari 2011

haa iki Pembangunan Hubungan Rakyat Dengan Pemda

Pemkot Yogyakarta Menggapai Masyarakat


Mohammad Final Daeng

Gimana sih tuh pegawai-pegawai kelurahan. Kemarin berkas saya sudah diterima, tapi karena lurahnya lagi sibuk jalan-jalan, jadi berkas saya belum bisa ditandatangani...Lurah kenapa jarang ada di tempat?
 
Begitulah bunyi penggalan pesan singkat (SMS) seorang warga Yogyakarta kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta melalui Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK). Warga yang tak mencantumkan namanya itu kesal dengan pelayanan kelurahan yang dinilainya tidak profesional.
Satu hari kemudian, warga itu mendapat balasan dari Bagian Tata Pemerintahan Kota Yogyakarta yang berterima kasih atas masukannya, dan berjanji menjadikannya bahan evaluasi dan pembinaan terhadap lurah dimaksud.
Keesokan harinya, si warga kembali mendapat SMS dari Kecamatan Kraton, kecamatan yang membawahi Kelurahan Panembahan. Isinya: terima kasih atas informasinya, dan kami telah menghubungi lurah yang bersangkutan, dan memang hari tersebut kebetulan hari krida (olah raga), jadi sebagian karyawan, termasuk Lurah Panembahan, ikut kegiatan tersebut. Pada hari tersebut lurah juga menghadiri rapat di Kompleks Balai Kota. Selanjutnya, kami mohon maaf atas kejadian tersebut, semoga ke depan lebih baik lagi, terima kasih.
Ada lagi contoh lain: Pak saya sudah lapor dua hari yang lalu bahwa lampu penerangan jalan di Jalan Wora-Wari, Baciro dan Pengok Kidul mati. Tapi nomor (dinas) Kimpraswil (Permukiman dan Prasarana Wilayah) tidak dapat dihubungi. Saya harus lapor ke mana pak? Terima kasih.
Gayung pun bersambut dari dinas terkait: Terima kasih atas masukannya. Akan kami cek ke lokasi. Untuk laporan bisa melalui telepon Din. Kimpraswil 515867 atau bisa melalui SMS UPIK ini.

Interaksi
Hal di atas merupakan sebagian contoh interaksi warga Kota Yogyakarta dan pemerintahnya. Program UPIK, yang sudah berjalan sejak 2004 itu, merupakan salah satu sarana yang digunakan pemerintah dengan basis teknologi komunikasi yang jamak digunakan warga saat ini, yakni telepon seluler.
Siapa pun, kapan pun, dan di mana pun warga bisa menyampaikan aspirasinya melalui layanan itu. Warga Yogyakarta, maupun luar Yogya, bisa mengajukan pertanyaan, kritik, saran, maupun keluhan seputar pembangunan dan layanan publik yang diselenggarakan pemkot.
”Apa pun yang disampaikan, pemkot melalui instansi terkait akan langsung merespons dalam setidaknya 2 x 24 jam,” kata Kepala Bagian Humas Pemkot Yogyakarta, Herman Edy Sulistio, Jumat (21/1). Dalam sehari, UPIK menerima rata-rata 8-10 SMS warga.
Tapi, apa sebenarnya inti interaksi? Boleh jadi semangat keterbukaan dan jujur dalam bekerja demi kesejahteraan masyarakat. Bukan demi kantong sendiri.
Bukan hanya lewat UPIK pemerintah berdialog. Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, juga membuka diri kepada warganya lewat siaran radio yang diudarakan di empat stasiun radio lokal bertajuk ”Wali Kota Menyapa”.
Sebanyak dua minggu sekali dengan durasi 30 menit setiap kali acara, wali kota dan wakil wali kota bergantian langsung melayani keluhan, pertanyaan, maupun masukan warga.
”Pak Wali, itu di daerah Pojok Beteng Wetan lampu penerangan jalannya sudah sejak lama, kok mati semua. Di daerah Giwangan juga gelap, pak. Tolong diperhatikan,” kata seorang penelepon bernama Handono pada seksi interaktif ”Wali Kota Menyapa”, Kamis (20/1) malam.
”Ya, coba saya cek. Saya telepon (dinas terkait) langsung sekarang,” tanggap Herry yang malam itu menerima total tujuh penelepon dengan berbagai keluhan sarana-prasarana kota sekaligus masukan soal beberapa rencana pembangunan.
Kedua program itu merupakan bagian kecil dari komitmen pemerintahan Herry, yang sudah terpilih dua kali sejak 2001 dan akan berakhir pada tahun ini, untuk mewujudkan prinsip tranparansi dan akuntabilitas birokrasi.

Transparansi-akuntabilitas
Pemkot Yogyakarta membuka akses seluas-luasnya bagi partisipasi publik dalam pemerintahan sehari-hari.
Pada suatu kesempatan kepada Kompas, Herry menyatakan, birokrasi yang transparan pasti akan menciptakan akuntabilitas. Bukan hanya transparansi dan akuntabilitas yang dibidik, melainkan juga penerapan nyata mekanisme checks and balances yang ada dalam teori-teori demokrasi.
Selain melalui perangkat yang telah ada, yakni DPRD maupun inspektorat, pemerintah juga diawasi langsung kinerjanya oleh seluruh warga yang bisa segera ”berteriak” jika menemui hal-hal yang tak beres.
Selain itu, salah satu tujuan otonomi daerah untuk memangkas birokrasi dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat pun tercapai. Warga tidak harus ”ribet” jika ingin menyampaikan aspirasi, laporan, atau unek-uneknya. Di sisi lain, pemerintah dengan cepat bisa mengetahui apa kekurangannya dan kebijakan yang harus segera diambil.
Pembukaan akses kepada publik itu juga bukan sekadar ”pepesan kosong”. Pemkot sebisa mungkin langsung menindaklanjutinya.
Hal itu setidaknya dibuktikan Adam (65), warga Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, yang menjadi penelepon setia acara ”Wali Kota Menyapa” selama lima tahun terakhir.
”Selama saya menelepon menyampaikan keluhan-keluhan, sekitar 90 persen ditindaklanjuti. Hanya beberapa yang belum ditindaklanjuti karena masalahnya di luar kewenangan pemkot,” ujar Adam.
Salah satu yang diingat Adam, ia pernah mengadukan jalan kampung di wilayahnya yang berlubang-lubang dan membahayakan warga. ”Acara itu jam sembilan malam. Besok paginya setelah saya menelepon, langsung datang petugas bawa alat-alat untuk mengaspal jalan,” kata Adam.
Pernah pula, ia melaporkan untuk seorang siswa miskin di kampungnya yang terancam tidak bisa melanjutkan sekolah karena ketiadaan biaya. ”Tak lama setelah itu, Dinas Pendidikan memanggil anak itu dan dibantu sehingga bisa bersekolah lagi. Wah, senang sekali saya waktu itu.”
Begitulah sebagian dari roh otonomi daerah diejawantahkan di ibu kota DI Yogyakarta ini.
Harus diakui, belum banyak daerah di Indonesia yang melakukannya. Tak heran jika Kota Yogyakarta kerap mengantongi penghargaan dalam bidang tata pemerintahan. Di antaranya, peringkat pertama survei Indeks Persepsi Korupsi yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) tahun 2009 (meski melorot menjadi peringkat ke-4 pada 2010), Penilaian Inisiatif Anti-Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2010, serta Bung Hatta Anti Corruption Award 2010. ”Pemerintah yang sukses adalah pemerintah yang bisa menggerakkan partisipasi masyarakat sebesar-besarnya. Kerelaan masyarakat dalam mendukung program atau memberi masukan di semua level sangat penting. Kalau itu tercapai, saya yakin pembangunan akan bergerak dengan cepat,” kata Herry.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/31/0406547/pemkot.yogyakarta.menggapai.masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar