Senin, 17 Januari 2011

haa iki Segoro Amarto

PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Spirit Itu Bernama "Segoro Amarto"
Senin, 17 Januari 2011 | 03:27 WIB
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG
Pemandangan di salah satu sudut Kampung Bangunrejo RW 13, Kelurahan Kricak, Tegalrejo, Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta, Senin (10/1). RW 13 Tegalrejo ini salah satu dari 10 RW di Yogyakarta yang mulai menerapkan gerakan pengentasan rakyat miskin "Segoro Amarto".
 
Kardiyo (40) kini tak lagi pusing dengan pendapatan yang tak menentu—dari pekerjaannya yang dulu sebagai juru parkir di Pasar Kranggan, Yogyakarta, DI Yogyakarta. Uluran tangan seorang warga kampungnya di RW 13, Kelurahan Kricak, Tegalrejo, Kota Yogyakarta, membuat dia bisa tersenyum lebar.
Sudah tiga tahun terakhir ini Kardiyo diajak Haryanto—warga mampu di RW 13—mengurus ternak ayam dan ikan. Dalam sehari, Kardiyo bisa membawa pulang penghasilan bersih Rp 40.000 untuk kebutuhan dia dan tiga anggota keluarganya.
Jumlah itu belum menghitung penghasilan tambahan dari pekerjaan sambilan sebagai tukang batu dan pembuat batako jika ada pesanan. ”Dulu, waktu jadi juru parkir, penghasilan hanya Rp 25.000-Rp 30.000 seharian kerja. Sekarang, alhamdulillah, sudah lumayan,” kata Kardiyo saat ditemui di kampungnya, Senin (10/1) lalu.
Dari penghasilan yang dianggapnya lumayan itu, Kardiyo kini bisa memupuk mimpi dengan menabung untuk membuka usaha warung kecil-kecilan. Harapannya, dengan usaha warung yang dijalankan istrinya nanti, penghasilan keluarga bertambah dan kesejahteraan pun meningkat. ”Mudah-mudahan dengan cara itu nanti kami bisa menyekolahkan anak-anak setinggi- tingginya,” kata bapak dua anak tersebut.
Lain lagi kisah warga di bantaran Kali Code, Kota Yogyakarta, yang sedikit banyak karakter permukimannya mirip dengan Kali Ciliwung, Jakarta: padat dan dijubeli warga miskin. Tingginya harga beberapa kebutuhan pokok saat ini sering kali tak membuat mereka hanya bisa mengurut dada meski tak menyerah.
Di RT 01 Kampung Code Utara, misalnya, warga saling bergotong royong agar bisa bertahan di tengah semakin sulitnya kondisi perekonomian. Untuk meringankan beban perekonomian, mereka memberlakukan iuran wajib bulanan Rp 2.000 per kepala keluarga. ”Dana itu dimanfaatkan untuk membantu pengobatan warga yang dirawat di rumah sakit atau meninggal dunia,” kata Ketua RT 1 Darsan.
Menurut Ngatiyem, warga Kampung Code Utara, mereka juga tak jarang mendapat bantuan lauk dari tetangga sekitar. ”Maklum, penghasilannya sebagai pengumpul barang rongsok hanya mencapai Rp 30.000 per minggu,” ujarnya.

Gotong royong
Semangat gotong royong dan kepedulian sosial yang masih kental di Yogyakarta itu tampaknya merupakan kekuatan mereka untuk melawan kemiskinan. Spirit kepedulian sosial dan gotong royong lebih tegas lagi terlihat dalam gerakan nasi bungkus beberapa waktu lalu saat Yogyakarta tertimpa bencana erupsi Gunung Merapi.
Di pengujung 2010 itu, tanpa diperintah, berbagai elemen masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok, ibu-ibu tingkat PKK, anak-anak remaja, serta anak-anak sekolah, bahu-membahu menyediakan nasi bungkus cuma-cuma untuk pengungsi korban Merapi.
Sungguh, aksi nasi bungkus itu menjadi sebuah gerakan yang membelalakkan mata banyak orang. Begitu kagumnya dengan peristiwa tersebut, perupa Budi Ubrux dari Yogyakarta kemudian membuat patung raksasa nasi bungkus—panjang 3 meter, lebar 2,5 meter, dan tinggi 1,5 meter. Patung yang dipasang di titik nol keramaian Kota Yogyakarta itu dipersembahkan khusus bagi warga Yogyakarta sebagai bentuk apresiasi terhadap keguyuban mereka.

Diformalkan
Kekuatan sosial yang terefleksi dalam bentuk kearifan lokal yang luar biasa itulah yang kemudian ditangkap Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X untuk mengatasi masalah kemiskinan di wilayah tugasnya. Ide itu disampaikan kepada Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto yang langsung memformulasikannya dalam wujud gerakan yang diberi nama ”Segoro Amarto”.
Kota Yogyakarta menjadi wilayah uji coba pertama gerakan itu yang diluncurkan pada 22 Desember 2010 di 10 RW di tiga kelurahan di Yogyakarta. Data terakhir Pemerintah Kota Yogyakarta (2010), penduduk miskin mencapai 17 persen dari total populasi 480.553 jiwa.
Ide gerakan yang merupakan singkatan dari semangat gotong royong agawe majune Ngayogyokarto (semangat gotong royong untuk kemajuan Yogyakarta) ini menekankan pilar-pilar kekuatan sosial masyarakat. Selain kepedulian sosial dan gotong royong, dua prinsip lain yang juga ditekankan adalah kedisiplinan dan kemandirian.
Intinya, semangat kekuatan sosial ini coba dilembagakan dan ”ditularkan” ke wilayah-wilayah miskin lain di Yogyakarta agar penanggulangan kemiskinan bisa lebih cepat terealisasi.
Dalam gerakan ini, masyarakat dalam basis lingkup RW mengidentifikasi dan memecahkan masalah kemiskinan di wilayahnya dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki. Bukan hanya kemiskinan yang berakar dari masalah struktural, seperti kesempatan kerja dan minimnya pendidikan, tetapi juga dari akar budaya ataupun nilai (contoh: kemalasan).
Karena itu, setiap warga diwajibkan memberi andilnya dalam gerakan tersebut. ”Misalnya, warga yang memiliki usaha mempekerjakan tetangga miskin di lingkungan RW-nya. Kalau yang berprofesi guru atau pendidik, mendidik keterampilan bagi warga penganggur. Kalau yang menjadi ulama, memberikan petuah keagamaan untuk bangkit dari kemiskinan,” kata Herry Zudianto menjelaskan.
Haryanto, yang mempekerjakan Kardiyo, adalah salah satu contohnya. ”Di kampung kami, dari 300 keluarga di RW 13 (Kelurahan Kricak), 54 keluarga di antaranya atau 174 jiwa masih berkategori miskin. Kebanyakan berprofesi sebagai buruh kasar, tukang becak, bahkan ada yang penganggur,” papar Haryanto.
Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, lanjutnya, potensi kampung yang bisa dikelola menjadi lapangan kerja adalah potensi kebudayaan dan kesenian. ”Di sini ada sembilan grup kesenian tradisional, seperti wayang kulit, tek-tek, karawitan, jatilan, dan ketoprak,” ujar Haryanto.
Karena itu, katanya, warga kampung itu berencana menjadikan wilayah mereka sebagai desa wisata.
Rencana dan spirit positif bisa dibilang sudah di tangan. Tinggal menunggu buahnya.... (Mohamad Final Daeng/Mawar Kusuma Wulan)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/17/03272789/spirit.itu.bernama.segoro.amarto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar