Jumat, 14 Januari 2011

haa iki Nasib Para Buruh

TARIF LISTRIK
Industri Memilih Kurangi Buruh
Jumat, 14 Januari 2011 | 02:49 WIB
 
Jakarta, Kompas - Kalangan industri, khususnya industri tekstil dan produk tekstil, akan memilih mengurangi jumlah pekerja. Langkah efisiensi itu diambil jika kebijakan pemerintah tetap diterapkan, yaitu ketika PT Perusahaan Listrik Negara menghapus batas maksimal kenaikan tarif listrik (capping) industri sebesar 18 persen per 1 Januari 2011.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat Deddy Widjaja, Kamis (13/1) di Bandung, mengatakan, kalangan industri tekstil dan produk tekstil di Kabupaten Bandung harus melakukan efisiensi jika tarif listrik industri itu dinaikkan. Langkah efisiensi paling mudah ialah mengurangi jumlah karyawan, terutama buruh berstatus kontrak atau alih daya (outsourcing).
”Pemutusan hubungan kerja memang selalu dihindari. Namun, biasanya, jika keuangan perusahaan sudah memburuk, tidak ada pilihan selain merumahkan sebagian buruh untuk sementara,” ujarnya.
Deden Sawega, pemilik CV Sandang Makmur Lestari di Majalaya, mengatakan, jika pembayaran tagihan listrik meningkat hingga 30 persen, harus ada komponen biaya operasional lain yang ditekan. Selain tenaga kerja, industri tekstil biasanya mengurangi volume produksi.
Industri garmen, terutama yang berskala kecil seperti di Majalaya, biasa merumahkan sementara sebagian buruh jika ada pengurangan volume produksi. ”Kalau produksi sudah normal, biasanya akan dipanggil lagi. Jika tidak seperti ini, usaha bisa benar-benar kolaps,” tutur Deden.
Menurut Deddy, sesuai dengan kesepakatan, pelaku industri tidak menaikkan harga, khususnya produk ekspor. ”Dulu kesepakatannya pembatasan, tanpa embel-embel batas waktu. Sekarang, tanpa edaran, tanpa pemberitahuan, tiba-tiba pembatasan dihapuskan,” kata Deddy.

Penyesuaian harga
Kenaikan sepihak tarif listrik untuk industri ini membuat kalangan industri kesulitan menyesuaikan harga jual. Menurut Deddy, industri memerlukan waktu persiapan minimal tiga bulan untuk bisa memperhitungkan kenaikan biaya listrik terhadap harga jual produk. Apalagi, untuk produk ekspor, biasanya kesepakatan harga dilakukan jauh-jauh hari.
”Kalau begini, pengusaha yang harus menanggung kerugian karena harga belum naik. Padahal, bulan Januari ini biaya listrik sudah naik,” kata Deden.
Sekretaris Asosiasi Pertekstilan Jawa Barat Kevin Hartanto menyatakan kekecewaannya karena dalam waktu enam bulan tarif listrik naik dua kali. Kondisi ini semakin mengancam daya saing produk lokal. Industri nasional semakin tertekan, apalagi baru-baru ini pemerintah memberlakukan peraturan baru bea masuk bahan baku tekstil.
Langkah efisiensi karena kenaikan biaya listrik dengan pengurangan tenaga kerja juga dikemukakan Ketua Apindo Jawa Tengah Djoko Wahjudi di Semarang, Kamis (13/1). Jika tarif listrik naik, sementara harga bahan baku juga naik dan suku bunga masih tinggi, pengusaha kian tercekik. ”Saat ini saja keuntungan kami sudah menipis, hanya 2-3 persen. Keuntungan di bawah 5 persen berbahaya,” kata Djoko.
Kenaikan harga bahan baku, kata Djoko, masih dapat disiasati dengan memodifikasi bahan lain. Namun, kenaikan tarif listrik tidak dapat disiasati karena masih banyak perusahaan bergantung pada suplai listrik dari PT PLN.
Oleh karena itu, jika pengusaha dibebani tarif listrik yang tinggi, tidak ada yang dapat dilakukan kecuali mengurangi jumlah pekerja. Kenaikan harga produk tidak mungkin dilakukan karena akan kalah bersaing dengan produk luar negeri.
Menurut Djoko, perusahaan tekstil dan sepatu membutuhkan daya listrik paling besar sehingga biaya produksi pasti akan membengkak. Padahal, kedua bidang itu menjadi penopang dan memiliki tenaga kerja paling besar.
Vice President Public Relations PT Asia Pacific Fibers (APF) Tbk Kalay Selwan mengungkapkan hal senada. Biaya listrik yang harus dibayarkan bisa meningkat hingga 38 persen. Kenaikan itu akan sangat berpengaruh terhadap biaya produksi karena tarif listrik menyumbang 25 persen dari biaya produksi. Ini belum ditambah biaya lain yang juga naik, seperti bahan baku dan bahan-bahan kimia.
”Kami sudah bertemu dengan PT PLN dan mengungkapkan keberatan. Tinggal bagaimana keputusan pemerintah. Kami berharap kebijakan yang diambil tidak kontraproduktif,” ujar Kalay.
Jika kenaikan tarif dasar listrik diberlakukan, Kalay menyebutkan, sebanyak 2.400 karyawan yang bekerja di PT APF terancam diberhentikan karena aktivitas produksi juga akan dikurangi.
Keadilan
Staf Khusus Menteri Perindustrian Benny Soetrisno menegaskan, pokok persoalan kebijakan PT PLN adalah soal subsidi listrik. Dari informasi PLN, kalau capping 18 persen itu tidak dicabut, PLN butuh tambahan subsidi Rp 1,8 triliun. Padahal, sesuai undang-undang, subsidi listrik hanya maksimal Rp 40 triliun.
Menurut Benny, hal yang terpenting bagi industri adalah keadilan, jangan ada disparitas harga. Pasalnya, ada industri yang dikenai 18 persen, tetapi ada juga yang dikenai tarif multiguna dikurangi 18 persen. Karena itu, industri menghendaki capping 18 persen dipertahankan selama satu tahun. (OSA/UTI/GRE)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/14/02495863/industri.memilih.kurangi.buruh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar