Rabu, 26 Januari 2011

haa iki People Power

Tunisia, Dunia Arab dan Demokrasi
Rabu, 26 Januari 2011 | 03:56 WIB

Oleh Hajriyanto Y Thohari

Gerakan perlawanan rakyat (people power) di Tunisia yang berhasil secara dramatis menjatuhkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali dan bahkan membuat dia melarikan diri ke Arab Saudi mempunyai resonansi dan reperkusi politik yang sangat besar terhadap Dunia Arab.
Sangat meyakinkan revolusi rakyat Tunisia itu akan membawa efek karambol terhadap negara-negara Arab yang sebagian besar masih otoriter atau antidemokrasi, untuk tidak menyatakannya sebagai despotik atau diktatorial.
Seperti kita ketahui bersama, Dunia Arab, bagian terpenting dari apa yang disebut sebagai Dunia Islam, kecuali mungkin Lebanon dan Irak, bukanlah negara-negara demokrasi. Itulah sebabnya mengapa kalangan sarjana Barat, yang dari sananya berpandangan stereotipikal, selalu memandang bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Kalau tidak diselamatkan oleh kasus demokratisasi yang gemilang di Indonesia dan Turki, pandangan stereotipikal negatif itu pastilah akan memperoleh justifikasi yang sangat ampuh.
Proses demokratisasi sebenarnya bukannya tidak berjalan di Dunia Arab. Namun, perjalanannya sedemikian lamban dan panjang. Beberapa negara Arab, baik yang berbentuk kerajaan maupun republik, memang mulai menyelenggarakan pemilihan umum secara terbatas dan memiliki parlemen. Kebebasan mulai dibuka secara perlahan. Akan tetapi, dari sudut pandang demokrasi yang universal masih sedemikian limitatifnya sehingga belum bisa dikatakan sebagai telah cukup demokratis.

Angin segar
Dalam konteks ini, revolusi rakyat Tunisia 2011 ini niscaya membawa angin segar bagi demokrasi Dunia Arab. Sangat meyakinkan pada mulanya gerakan penggulingan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali ini membawa pengaruh positif bagi gerakan-gerakan demokrasi di dunia Arab lainnya yang membentang dari Maroko di barat sampai Irak di timur. Sayang sekali revolusi Tunisia dikotori oleh tindak penjarahan yang menodai demokrasi. Tak heran jika noda tersebut kemudian dijadikan dalih oleh para pemimpin otoriter di negara-negara Arab untuk menunjukkan kepada rakyatnya ”apakah kalian mau demokrasi yang rusuh dan kaotis seperti terjadi di Tunisia itu?”.
Meskipun ada cacat, kita berharap revolusi Tunisia menjadi bahan pelajaran bagi para pemimpin negara-negara Arab. Pilihan bagi mereka bukanlah demokrasi atau tidak, melainkan proses demokratisasi seperti apa yang harus segera mulai dilakukan. Apakah harus menunggu meledaknya sebuah revolusi seperti yang terjadi di Tunisia atau memilih jalan sadar dan sistematis untuk memulai proses demokrasi secara sengaja. Apa pun pilihannya, hendaknya mereka mewaspadai ongkos sosial dan politik yang harus dibayar dan kelewat mahal manakala cara revolusi ditempuh.
Saya teringat tulisan Fareed Zakaria dalam bukunya, The Future of Freedom (2003), yang menceritakan sebuah anekdot demokrasi di Mesir. Suatu ketika seorang diplomat Amerika Serikat diterima bertemu Presiden Hosni Mubarak di istana Heliopolis yang megah. Kedua tokoh politik itu berbicara dengan akrab dan nyaman tentang kehangatan hubungan kedua negara, permasalahan regional, dan proses perdamaian Israel-Palestina.
Selanjutnya, diplomat Amerika Serikat perlahan-lahan mengangkat permasalahan hak asasi manusia (HAM) dan menyarankan agar Presiden Mubarak memberi kelonggaran-kelonggaran terhadap oposisi politik dalam rangka demokrasi dan kebebasan pers serta berhenti memenjarakan para intelektual dan aktivis demokrasi.
Presiden Mubarak menjadi tegang dan marah. Sembari menggebrak meja keras-keras, ia meradang, " Jika saya melakukan apa yang Anda minta itu, fundamentalisme Islam akan mengambil alih Mesir. Inikah yang Anda inginkan?” Diplomat Amerika Serikat itu kecut dan mengajak kembali ke pembicaraan semula yang penuh basa-basi itu.
Mesir memang sebuah fenomena yang aneh. Negara Arab terkemuka dengan segudang pemikir pembaru Arab dan Islam yang luar biasa ini memang sangat anakronistis. Perkembangan pemikiran Islam dan nasionalisme Arab sedemikian maju di negeri piramida dan Sphinx ini sehingga menjadi kiblat hampir semua pemikir Islam di Dunia Islam. Nama-nama pemikir Islam pembaru garda depan ada di Mesir, tetapi sama sekali tidak menyambung secara organis dengan kenyataan politik Mesir.

Standar ganda
Jika dihadapkan pada pilihan seperti yang dikhawatirkan Presiden Mubarak tersebut, sikap Amerika Serikat, bahkan Barat pada umumnya, memang berstandar ganda. Mereka mendorong demokrasi di Dunia Arab, tetapi tidak menolaknya jika yang muncul sebagai penguasa dari proses demokrasi di sana adalah kelompok yang mereka sebut sebagai fundamentalisme Islam. Inilah yang terjadi di Aljazair ketika Front of Islamic Salvation memenangi pemilu dan di Palestina ketika Hamas memenangi pemilu yang demokratis.
Walhasil, Amerika Serikat selalu menyatakan diri sebagai kampiun dan pejuang demokrasi, tetapi justru menjadi backing bagi rezim-rezim otoriter dan antidemokrasi pro-Barat jika yang muncul sebagai pemenang pemilu yang demokratis itu adalah partai-partai yang mereka pandang secara arbitrer sebagai partai-partai kaum fundamentalis sesuai dengan definisi Barat. Dilema yang berakar dari standar ganda Barat ini telah menjadi klasik dalam studi demokrasi di kawasan Arab, yang memang selalu panas karena faktor eksistensi Israel di tengah- tengah mereka.
Kasus Irak menarik sekaligus unik. Irak di bawah Presiden Saddam Hussein adalah rezim otoriter yang antidemokrasi dan HAM. Namun uniknya, tidak seperti rezim-rezim lain yang sejenis di negara-negara Arab, Rezim Saddam sangat anti-Amerika Serikat. Setelah Amerika Serikat melakukan invasi dan intervensi secara ganas serta kasar yang menjatuhkan Saddam, Irak hanya sebentar dipimpin rezim pro-Barat. Berdasarkan pemilu demokratis, penguasa, Perdana Menteri Nuri al-Maliki, sekarang secara perlahan tetapi pasti semakin mengambil jarak terhadap Amerika Serikat. Bahkan, Amerika Serikat mulai kecele karena Pemerintah Irak justru mendekat ke Iran yang notabene musuh besar Amerika Serikat.
Peta demokrasi di negara-negara Arab memang tidak sederhana. Kasus revolusi demokrasi Tunisia menjadi pelajaran yang luar biasa pahit bagi bangsa Arab sekaligus Barat yang berwatak invasif dan intervensif terhadap negara-negara Arab itu. Dan yang lebih penting lagi, proses demokrasi tidak bisa disikapi dengan standar ganda: ”demokrasi, yes; tetapi anti-Barat, no”.

Hajriyanto Y Thohari Sarjana Studi Asia Barat/Arab UGM dan Pascasarjana Antropologi UI
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/26/03565390/tunisia.dunia.arab.dan.demokrasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar