Sabtu, 15 Januari 2011

haa iki Menyesatkan (Kebohongan / Munafik)

Informasi Menyesatkan
Sabtu, 15 Januari 2011 | 02:52 WIB

Andi Suruji

Di pasar modal, ada aturan yang sangat keras terhadap pihak yang memberikan informasi atau keterangan menyesatkan, misleading information. Hukumannya, pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 15 miliar.
Informasi yang dikategorikan menyesatkan itu bisa berupa kebohongan, bisa juga informasi yang tidak jujur, tidak utuh diungkapkan. Pihak yang tidak cukup hati-hati menentukan kebenaran material dari pernyataan atau keterangannya saja bisa dianggap memberikan informasi menyesatkan.
Nah, jika dalam hukum pasar modal saja seorang presiden direktur, misalnya, dilarang keras memberikan pernyataan dan keterangan menyesatkan, bahkan ketika tidak cukup hati-hati dalam menentukan kebenaran material informasi yang diberikan bisa dihukum sangat berat, bagaimana halnya jika hal itu dilakukan oleh pemerintah?
Dalam konteks itulah polemik seputar kebohongan publik oleh pemerintah menjadi isu panas. Sungguh berat konsekuensi jika pemerintah dituduh berbohong. Bisa dimakzulkan.
Dalam menyampaikan kinerjanya, unsur pemerintah, seperti menteri, sering kali mengungkapkan capaian-capaian luar biasa dengan memakai indikator ekonomi dan sosial. Indikator yang digunakan untuk klaim kesuksesan semuanya benar.
Namun, sebagian orang menilai, klaim itu tidak sesuai dengan kenyataan. Ini mungkin seperti memaknai gelas berisi setengah air. Ada yang mengatakan gelas sudah berisi setengah, sementara pihak lain mengatakan gelas itu sudah hampir kosong. Padahal, volume air di dalam gelas itu sama.
Pemerintah mengatakan telah mencapai keberhasilan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Tingkat pengangguran menurun, angka kemiskinan dapat dikurangi, dan pendapatan per kapita penduduk meningkat. Itu benar berdasarkan data, angka, dan hitungan teoretis. Apakah senyatanya di masyarakat demikian, bisa ya bisa tidak, tergantung dari sudut mana melihatnya dan bagaimana memaknainya.

Contoh,
  > pemerintah sering kita dengar menggunakan pendapatan per kapita (income per capita)
     sebagai indikator  keberhasilan pembangunan ekonomi.
     Misalnya :  pendapatan per kapita penduduk Indonesia kini sekitar 3.000 dollar AS per tahun. 
                      Angka 3.000 dollar AS dikali Rp 9.000 per dollar AS berarti sama dengan Rp 27 juta.
     Apakah benar semua penduduk Indonesia sudah mampu mendapatkan penghasilan sebesar itu
    dalam setahun?
    Faktanya tidak.
    Orang berpenghasilan 2 dollar AS sehari saja (salah satu indikator kemiskinan) masih sekitar 100 juta jiwa.
    Jadi, dari langit mana 3.000 dollar AS itu? Itu rata-rata. :
    Angka itu diperoleh dari nilai produk domestik bruto (PDB) yang kini mencapai sekitar Rp 6.300 triliun
    dibagi dengan jumlah penduduk pada saat tengah tahun. Begitulah teorinya.
    Ada segelintir orang yang ”sangat kaya raya” yang mampu berkontribusi sangat besar dalam pembentukan
    PDB, sementara ada orang yang sangat besar populasinya cuma mampu berkontribusi dikiiiitttt bangeeetttt
    pada pembentukan PDB.

 > Kita juga sering mendengar dari kalangan pemerintah bahwa utang pemerintah semakin menurun.
    Misalnya, utang pemerintah pada 2004 mencapai 57 persen terhadap PDB. Angka itu dapat diturunkan
    pemerintah menjadi tinggal 27 persen pada 2010, misalnya. Hebat bukan?
    Ya, itu benar, karena penurunan tersebut terjadi karena diperhitungkan terhadap PDB, yang memang
    semakin membesar pula. Padahal, fakta lainnya, nilai nominal utang itu terus membengkak dari sekitar
    Rp 1.200 triliun pada 2004 menjadi Rp 1.500 triliun saat ini.

 > Ketika membicarakan soal inflasi, misalnya diskusi lain lagi, kita seolah hanya menggarisbawahi inflasi
    umum yang mencapai 6,5 persen. Atau inflasi inti saja yang mengeluarkan energi dan komoditas yang
    harganya fluktuatif. Padahal, inflasi atau laju kenaikan harga pangan, porsi terbesar untuk pengeluaran
    kelas bawah masyarakat yang populasinya sekitar setengah dari total penduduk Indonesia,
    mencapai 15 persen.
    Bahkan, kalau kita cermat menyelisik, memeriksa ke jantung kehidupan sehari-hari penduduk, mungkin
    kita bisa menemukan ada orang yang ”terbakar” inflasi sangat tinggi, jauh melampaui 15 persen. Bisa 20
    persen karena kelompok pengeluarannya terbatas pada barang dan jasa yang gila-gilaan lonjakan
    harganya. Daya beli mereka jeblok.

Sungguh menggelitik, ketika harga cabai melonjak sampai Rp 100.000 per kilogram, ada pejabat publik yang hendak mengeluarkan cabai dari perhitungan inflasi. Ya, jalan pintas mengatasi inflasi.

Begitulah misleading-misleading yang bakal banyak kita temukan jika kita tidak mau melihat sisi lain angka atau data statistik itu. Kalau sekadar angka dan data, pemerintah mungkin tidak bohong. Namun, nurani mungkin mengatakan lain.
Pada sisi perasaan itulah kira-kira tokoh-tokoh agama tempo hari berbicara karena melibatkan hati nurani mereka. Boleh jadi mata hatinya tak bisa tidur melihat kenyataan bahwa setelah 65 tahun negara kaya raya sumber daya alam ini merdeka dari penjajahan bangsa asing, ternyata bangsa ini belum merdeka dari kemiskinan.
Ketimpangan tingkat kesejahteraan kian lebar. Indikator makroekonomi mengagumkan, tetapi di ujung lain ada penduduk meninggal mengenaskan karena makan tiwul akibat ketiadaan uang untuk beli makanan. Hutan habis, laut terkuras.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/15/02520975/informasi.menyesatkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar