Senin, 17 Januari 2011

haa iki Belajar Hal Baru Dari Merapi

Belajar Hal Baru dari Merapi
Senin, 17 Januari 2011 | 04:00 WIB
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Kondisi puncak Gunung Merapi tanggal 30 Oktober 2010. Pascaerupsi beberapa kali rekahan kubah lava terlihat lebih terbuka dan terus mengeluarkan material vulkanik yang disertai asap solfatara pekat dan awan panas.

Cornelius Helmy

Letusan Gunung Merapi 2010 tidak hanya besar, tetapi juga memunculkan banyak fakta baru. Belajar dari aktivitas terbesar dalam sejarah studi teknologi Merapi di Indonesia ini, muncul tuntutan rekayasa ilmiah baru. Tujuannya, agar aktivitas gunung teraktif ini bisa terpantau rinci.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono, Rabu (12/1) di Bandung, Jawa Barat, mengatakan, beberapa fenomena baru itu bisa dilihat pada saat sebelum, ketika, dan sesudah letusan.
Beberapa kejadian sebelum letusan, yaitu proses pembentukan kubah lava dan api diam, kini tidak mutlak lagi sebagai patokan penentuan status gunung. Kubah lava adalah hasil bentukan magma yang memenuhi lubang kawah. Adanya kubah lava sering kali digunakan penentuan status Siaga Merapi. Sementara api diam menandai magma telah mencapai lubang kawah dan dipakai sebagai patokan status Awas Merapi.
Selain itu, warga dan peneliti dibuat kaget dengan dentuman keras pada 30 Oktober 2010. Sebelumnya, letusan Merapi tak pernah diiringi dentuman. Dentuman menandakan tekanan gas sangat kuat dari dalam tubuh Merapi mendobrak kubah lava yang terbentuk pada akhir letusan 2006.
Kasus lain ditemui saat erupsi. Erupsi Merapi 2010 dimulai pada 26 Oktober berupa awan panas dan terjadi letusan langsung (direct blast), yaitu tekanan gas vulkanik tinggi yang menjebol kubah lava tahun 2006 yang diikuti semburan awan panas ke arah barat daya.
Jejak letusan langsung bisa dilihat lewat pohon yang tumbang tercabut akarnya dan pohon terbakar awan panas. Padahal, proses erupsi gunung tipe Merapi biasanya diawali guguran kubah lava dan awan panas guguran.

Awan panas
Yang paling fenomenal adalah luncuran awan panas, yang terpanjang dalam sejarah Merapi. Awan panas terpanjang terjadi 5 November 2010 yang merayap hingga 15 kilometer dari puncak. Letusan tahun 2006, jarak terjauh luncuran awan panas hanya 6 km dari puncak.
Muntahan material letusan diperkirakan mencapai 150 juta meter kubik memicu banjir lahar di semua sungai dan anak sungai yang berhulu di Merapi. Banjir lahar ini yang terbesar sepanjang sejarah Merapi. Banjir ini mengancam infrastruktur dan masyarakat sekitar sungai.
Begitu banyaknya material yang dimuntahkan, maka dua sungai yang dulu bukan merupakan jalur aliran lahar kini terkena imbas, seperti Sungai Putih dan Kuning. Antara tahun 1970 dan 1980, konsentrasi terbesar lahar ada di Kali Krasak.

Klasik
Berbagai hal baru itu memberi banyak pelajaran, terutama soal pentingnya penguatan sistem peralatan yang tepat dan metode pengolahan data yang akurat.
Surono mengatakan, sebelum letusan 2010, pengawasan dilakukan secara klasik, yaitu memantau aktivitas magma dangkal sehingga sistem peralatan pemantauan dikonsentrasikan di sekitar puncak Merapi. Akibatnya, peralatan hanya merespons saat magma berada di sekitar puncak sehingga migrasi magma dari kaki hingga puncak Merapi tak teramati.
Ada empat alat pengukur seismik di puncak, alat pemantau kimia gas, dan sembilan reflektor yang akan ditembak dengan sinar laser guna mempelajari kembang kempisnya Merapi.
”Meski banyak tawaran alat pemantau tambahan dari Perancis dan Amerika Serikat, kami masih pertimbangkan dari sisi kegunaan dan biaya perawatan,” katanya. Alat yang terbaru adalah empat perangkat global positioning system (GPS) dari Jepang yang dipasang permanen di kaki, perut, dan puncak Merapi.
Selain itu, empat pemantau seismik di puncak akan dibantu dengan empat alat tambahan di tubuh dan kaki Merapi.
Selain alat, kata Surono, Merapi akan dipantau mini-DOAS (miniature-Deferential Optical Absorption Spectrometer) dan satelit Operating Missions as Nodes on the Internet (OMNI) untuk mengukur emisi sulfur oksida (SO). Lewat OMNI bisa dilihat Merapi pada letusan 2 November mengeluarkan 80 kiloton SO. Sehari kemudian menjadi 150 kiloton dan saat letusan 5 Oktober menjadi 250 kiloton.

Ujian berat
Ahli Vulkanologi dari Institut Teknologi Bandung, Asnawir Nasution, menjelaskan, potensi banjir lahar akibat banyaknya material vulkanik yang dilontarkan Merapi pada letusan 2010 menjadi ancaman berbahaya bagi semua daerah di sekitar Merapi. Namun, ada baiknya bila perhatian besar diletakkan di daerah barat Merapi, seperti Magelang atau Muntilan.
Pada letusan sebelumnya, daerah barat jarang kecipratan material vulkanik dalam jumlah banyak. Namun, dengan material 150 juta meter kubik, menyebabkan sungai dan anak sungai di bagian barat Merapi tidak luput dari ancaman banjir lahar.
”Pembuatan bangunan penahan tanggul yang benar atau relokasi sementara warga sekitar bantaran sungai bisa menjadi solusi berkesinambungan dengan peta bencana yang baru,” kata Asnawir.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/01/17/04002733/belajar.hal.baru.dari.merapi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar