Senin, 30 Agustus 2010

haa iki Kontingensi Untuk Perubahan

Kontingensi untuk Perubahan
Senin, 30 Agustus 2010 | 03:11 WIB
Oleh Boni Hargens
Jusuf Kalla, bekas wakil presiden, dalam diskusi di Bentara Budaya Jakarta yang diselenggarakan harian Kompas dan Lingkar Muda Indonesia (19/8), menggugat pertumbuhan ekonomi 5,8 persen dalam pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (16/8) dalam rangka peringatan Kemerdekaan Ke-65 RI.
Bagi Kalla, angka itu tak perlu dicetak tebal karena negara lain di Asia meraih di atas. Thailand 7,5 persen, Filipina 8 persen, bahkan Singapura di kisaran 13-14 persen. Memang jika dibanding tahun lalu (4,5 persen), angka pertumbuhan ekonomi kita meningkat. Namun, jangkauan itu tak ada artinya di level kawasan.
Dengan angka pertumbuhan itu, Kalla hendak mengkritik mutu kepemimpinan dan kemandirian bangsa di tengah persaingan mondial dalam diskusi bertema ”Indonesia Incorporated: Kepemimpinan Politik Menggerakkan Kemandirian Bangsa”.
Yang menarik, diskusi ini mengawinkan postulat kepemimpinan dan kemandirian dalam satu larik. Pesannya jelas, bahwa kemandirian mengandaikan adanya strong leadership, kepemimpinan yang tidak mellow. Dengan kata lain, kepemimpinan yang kuat adalah conditio per quam bagi kemandirian bangsa.
Tak sedikit kalangan menuding pidato kenegaraan kali ini nihil makna. Kekerasan sipil yang merusak ruang publik tak disebut. Begitu juga ledakan tabung elpiji yang meresahkan masyarakat. Bahkan, petani sama sekali tak disebut dalam teks pidato yang begitu berwibawa itu. Sebaliknya, pertumbuhan makroekonomi dititikberatkan. Seolah- olah popularitas adalah tujuan. Makanya, ada wakil rakyat yang menyetarakan pidato SBY dengan naskah kampanye.
Pola politik ini yang mungkin pantas disebut ”Konsistensi Presiden” dalam tulisan Julian Aldrin Pasha (Kompas, 25/8). Karena itu, yang ngawur bukanlah pengamat, seperti dituduhkan, melainkan orang-orang dekat (dan?) Presiden yang kurang jernih dan jujur melihat realitas. Mereka asyik berapologia seperti dibilang Ikrar Nusa Bhakti (Kompas, 28/8). Padahal, problem kita adalah lemahnya kepemimpinan politik dan rapuhnya kemandirian bangsa. Kenapa? Bagaimana mengatasinya? Inilah yang penting dipikirkan.
Politik karambol
Sudah klasik, politik dilihat sebagai permainan kepentingan. Tetapi, anehnya, permainan kepentingan dalam politik kita cenderung tak mengenal aturan main. Secara deterministik, sulit diprediksi, sukar diukur, dan inkonsisten.
Medan politik pun tak berbeda dengan papan karambol. Satu bola disentil, bola lain turut bergeser. Empat lubang pada tiap sudut memberi kemungkinan sekaligus ketidakmungkinan bagi angka yang terkumpul. Semua bergantung pada pergerakan bola dan tentunya pada ketangkasan pemain. Politik demokrasi tak bisa dilandaskan pada gerakan random seperti itu. Gerak politik ideal adalah gerak yang terukur dan arahnya predictable.
Bola liar jabatan tiga periode untuk presiden yang belakangan bergulir seakan memastikan adanya gerakan politik karambol yang polanya acak dan sasarannya sumir. Bagi ilmuwan politik, fenomena ini mungkin saja memperkuat hipotesis tentang runtuhnya teori klasik konsolidasi demokrasi di negara post- otoritarian atau merangsang lahirnya teori baru.
Namun, bagi rakyat, wajah politik liar macam ini mendasari kejenuhan publik terhadap demokrasi. Inilah karakter politik yang miskin kepemimpinan.
Alasannya bisa karena krisis ideologi, miskin kualitas, ataupun pragmatisme yang menempatkan uang dan jabatan sebagai pencapaian teleologis. Padahal, dalam demokrasi, pencapaian material dan parsial hanyalah konsekuensi, bukan orientasi.
Dalam situasi begini, berbicara perubahan kepemimpinan terkesan sekadar wacana. Terkadang juga dihina sebagai kesibukan palsu ”para pemikir kurang kerjaan”. Padahal, selalu ada kontingensi untuk berubah.
Pertama, pemerintah perlu berbenah diri. Berbenah dalam hal motivasi, cara pandang, dan orientasi agar (1) bisa bekerja se- penuhnya untuk rakyat, (2) memilah mana prioritas di tengah kompleksnya masalah, (3) lebih berani dalam mengambil keputusan dalam situasi sulit yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara, (4) termasuk tegas dalam menegakkan ideologi Pancasila supaya keindonesiaan yang plural tak dibajak oleh elemen sipil tertentu yang menganut filsafat kekerasan.
Berikutnya, perlu pendidikan politik bagi masyarakat supaya ada kesadaran tentang hak dan kewajiban politik. Di ruang inilah partai politik, media massa, institusi pendidikan, dan keluarga perlu memainkan perannya.
Dengan kesadaran yang matang, rakyat di satu sisi bisa mengawasi pemerintah. Di lain sisi, ia mampu menuntut haknya dan tahu kewajibannya. Ia pun bisa menjadi agen bagi lahirnya kepemimpinan yang kuat, bukan politikus karambol dan picisan.
Boni Hargens Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesi
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/08/30/0311280/kontingensi..untuk.perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar