Rabu, 22 September 2010

haa iki Kemiskinan & Kelaparan Di Negeri Ini

Kemiskinan Turun, Kelaparan Naik
Rabu, 22 September 2010 | 03:46 WIB
 
OLEH IVAN A HADAR
Pada 8 September 2000, lewat MDGs, PBB mencetuskan sebuah janji ambisius untuk mengurangi kemiskinan global menjadi separuh dibandingkan dengan kondisi pada 1990.
Kini, sepuluh tahun kemudian, tujuan tersebut bagi sebagian besar negara anggota PBB diperkirakan akan tercapai. Meski di balik keberhasilan tersebut tercatat masih sangat banyak warga dunia yang kehidupannya belum membaik, bahkan tak jarang semakin buruk.
Perkembangan yang paradoks ini sepatutnya menjadi isu utama yang perlu dicermati oleh puluhan kepala negara serta ratusan pejabat tinggi dari seluruh anggota PBB yang bertemu di New York hari-hari ini. Upaya pengurangan kemiskinan yang cukup berhasil layak disyukuri, terutama kemiskinan ekstrem yang turun drastis dari 42 persen (1990) menjadi 25 persen (2005).
Dalam statistik tersebut, yang dianggap miskin adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari 1,25 dollar AS per hari. Secara nominal, terjadi penurunan jumlah orang miskin di dunia dari 1,8 miliar jiwa (1990) menjadi sekitar 1,2 miliar (2005). Masih sangat banyak, apalagi ketika melihat perbandingan berikut. Mereka yang dianggap miskin di Eropa berpenghasilan di bawah 30-35 dollar AS per hari.

Kontradiksi
”Keberhasilan” pengurangan kemiskinan global juga terutama berkat perkembangan positif di Asia, khususnya China di mana selama dua dekade terakhir ratusan juta penduduknya mengalami peningkatan sosial ekonomi. Sebenarnya, ketika MDGs dideklarasikan sambil mengamati perkembangan China, ada yang menyebut target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) ”kurang ambisius”.
Porsi besar China bagi pengurangan kemiskinan global menutupi kondisi di bagian dunia lain yang masih suram. Gambaran pemberantasan kemiskinan akan bergeser ketika mencermati kawasan dunia satu per satu. Di selatan Sahara, misalnya, jumlah orang miskin juga berkurang dari 60 persen (1990) menjadi 45 persen (2005). Namun, jumlah tersebut masih jauh dari target.
Gambar positif pengurangan kemiskinan semakin memburuk ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa kelaparan di dunia semakin luas. Saat ini, sekitar satu miliar penduduk dunia menderita kekurangan makanan—sebuah peningkatan sekitar 2 persen dibandingkan dengan kondisi tahun 1990. Artinya, target penurunan tingkat kelaparan menjadi separuh diprediksi tidak akan tercapai.
Peningkatan kelaparan disebabkan oleh melonjaknya harga pangan dan produk agraria secara drastis tiga tahun terakhir. Salah satu penyebabnya adalah peningkatan permintaan berkat semakin makmurnya beberapa negara di Asia. Selain itu, juga adanya momen spekulatif ketika investor finansial berlomba-lomba memasuki pasar produk pertanian dan memicu meroketnya harga.
Beberapa target MDGs juga belum menunjukkan perkembangan yang membesarkan hati. Angka kematian ibu, penyebaran HIV/AIDS dan malaria, pelestarian hutan, serta akses terhadap air bersih dan sanitasi masih jauh dari harapan. Janji negara-negara kaya untuk memberikan 0,7 persen PDB-nya hanya ditepati oleh beberapa negara Eropa.

Kritik terhadap MDGs
Bagi Samir Amin, berbagai kontradiksi tadi bukan sesuatu yang aneh. Baginya, MDGs bukan inisiatif negara miskin, melainkan lebih untuk kepentingan negara maju yang didukung oleh Bank Dunia, IMF, dan OECD. Karena itu, dalam tulisannya, The Millennium Development Goals: A Critique from the South (2010), Samir menuduh MDGs sebagai ”mantel” ideologi bagi kepentingan neoliberalisme.
Target-target MDGs, menurutnya, terlalu samar (vague) dan mudah dipelintir menjadi sejalan dengan kepentingan neoliberal. Tujuan ke-2 MDGs terkait pencapaian pendidikan dasar untuk anak laki-laki ataupun perempuan, misalnya, oleh UNESCO telah diupayakan pencapaiannya pada tahun 1960-an. Dalam waktu 10 tahun, telah banyak yang dicapai. Namun terhenti karena penyunatan dana publik dan privatisasi pendidikan.
MDG, lanjut Samin, juga ”menghindari pertanyaan kritis terkait kebijakan liberalisasi saat ini”. Sementara dalam tujuan ke-7 MDGs, yaitu memastikan kelestarian lingkungan hidup, sama sekali tidak disebut-sebut Protokol Kyoto yang (semasa Presiden Bush) memang ditolak untuk ditandatangani AS.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Samir mencemaskan bahwa proses pemiskinan dan ketidakadilan akan berlanjut, berlawanan dengan tujuan MDGs. Tentang ketersediaan obat-obatan yang murah di negara berkembang sebagai bentuk kerja sama dengan perusahaan farmasi dikhawatirkan masalah monopoli dan hak paten obat tak akan digugat.
Kita berharap kecemasan Samir Amin tidak menjadi kenyataan. Argumentasi Samir Amin hanya bisa dipatahkan lewat kebijakan yang bukan sekadar slogan ”manis”, melainkan juga mencelakakan. Kritik Samir patut dipertimbangkan.

IVAN A HADAR Direktur Eksekutif IDe; Anggota Pokja Forum Kawasan Timur Indonesia

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/09/22/03465714/kemiskinan.turun.kelaparan.naik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar