Minggu, 19 September 2010

haa iki KOmentar Tentang Perilaku Jaksa

Berlatar Koruptif
Minggu, 19 September 2010 | 02:48 WIB
 
Jakarta, Kompas - Penolakan jaksa terhadap figur Jaksa Agung nonkarier menunjukkan jajaran jaksa merasa terancam. Kejaksaan merasa terancam karena berbagai praktik koruptif yang diduga terjadi dan cenderung ditutup-tutupi di jajaran kejaksaan dikhawatirkan dapat diketahui dan terkuak.
Penolakan itu juga menunjukkan reformasi kejaksaan selama ini berjalan di tempat. Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak perlu terpengaruh terhadap aksi penolakan itu. Presiden harus berani memilih Jaksa Agung yang mampu mereformasi institusi kejaksaan.
Hal itu dikatakan ahli hukum tata negara Saldi Isra dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Nurkholis Hidayat, Sabtu (18/9). ”Penolakan terhadap Jaksa Agung nonkarier bisa diartikan jajaran kejaksaan terancam terhadap nonkarier. Mungkin, selama ini, banyak hal yang ditutupi atau skandal yang tidak tuntas ditangani,” kata Saldi.
Seperti diberitakan, 8.479 jaksa yang tergabung Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) meminta Jaksa Agung baru berasal dari internal kejaksaan (Kompas, 18/9).

Aksi kebablasan
Menurut Saldi, penolakan jaksa terhadap figur Jaksa Agung dari luar mengherankan dan kebablasan. ”Jika perilaku politikus, hal itu bisa dimengerti. Namun, itu dilakukan penegak hukum, yang tahu pilihan itu merupakan hak prerogatif Presiden,” katanya.
Saldi menilai, penolakan terhadap calon Jaksa Agung dari luar kejaksaan dilakukan secara sistematis. Jaksa Agung Hendarman Supandji sebelumnya menyerahkan delapan nama calon dari jaksa karier kepada Presiden. Hendarman juga menginginkan calon jaksa agung dari karier.
”Setelah itu, jaksa melakukan aksi penolakan. Jadi, itu terlihat sistematis,” kata Saldi.
Menurut Saldi, jika Jaksa Agung berasal dari karier, sulit diharapkan kejaksaan dapat melakukan reformasi dan pembenahan institusi. Berbagai fenomena selama ini menunjukkan reformasi dan pembenahan kejaksaan belum berjalan dengan baik. ”“Misalnya, kasus Arthalyta Suryani dan jaksa Urip Tri Gunawan, kasus Anggodo Widjojo, dan kasus Gayus HP Tambunan,” kata Saldi.
Nurkholis menilai, kejaksaan adalah institusi yang buruk kemajuannya dalam reformasi institusi, selain kepolisian. Reformasi Mahkamah Agung jauh lebih baik. Bahkan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang selalu disorot masyarakat juga berjalan lebih baik.
Reformasi kejaksaan buruk, kata Nurkholis, karena korps kejaksaan dinilai kompak melindungi praktik koruptif. Audit Badan Pemeriksa Keuangan selalu melaporkan kejaksaan masih kurang bagus.
Secara terpisah, anggota Komisi III (bidang hukum) DPR, Bambang Soesatyo, menilai, citra kejaksaan, sebagai salah satu pilar penegakan keadilan, tergolong masih buruk. Banyak kebijakan kejaksaan yang melukai rasa keadilan masyarakat. Reformasi internal belum mampu meniadakan jaksa yang diduga terlibat mafia hukum. (fer/faj)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/09/19/02485531/berlatar.koruptif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar