Rabu, 15 September 2010

haa iki Resensi Film Sang Pencerah

Suluh
Ahmad Dahlan, dari Kauman untuk Indonesia
Rabu, 15 September 2010 | 03:20 WIB
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Pemutaran perdana film besutan Hanung Bramantyo, Sang Pencerah, di Jakarta Selatan, Sabtu (4/9). Film yang dibintangi Lukman Sardi ini menceritakan biografi pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
 
Suatu pagi di ruang kelas Kweekschool atau sekolah para bangsawan di Jetis, Yogyakarta, awal abad ke-20. Para siswa sedang riuh berceloteh. Lalu, masuklah seorang pemuda bertubuh agak kerempeng dengan jenggot tipis.
Seisi kelas terdiam heran. Betapa tidak, guru agama itu tampil necis: mengenakan beskap putih yang kerap dipakai kaum priayi, lengkap dengan selop hitam mengkilat. Itu beda dengan lazimnya guru agama saat itu.
Ahmad Dahlan, nama pemuda itu, mengucapkan salam. Namun, para murid diam. Suasana hening itu terus menggelayut sampai tiba-tiba seorang murid buang angin alias kentut. Seisi kelas, termasuk sang guru, sontak tertawa.
Momen ini dimanfaatkan guru itu untuk menerangkan peristiwa buang angin tadi sebagai proses alamiah tubuh manusia. Katanya, setiap orang seharusnya bersyukur karena bisa buang angin.
Lewat peristiwa kentut ini, Ahmad Dahlan mengajak para siswa untuk belajar mengucapkan kata syukur, Alhamdulillah. Ini langkah awalnya untuk mengajarkan pendidikan agama Islam kepada siswa dari kalangan bangsawan.
Itulah salah satu adegan film Sang Pencerah besutan sutradara Hanung Bramantyo. Karya ini diputar serentak di Indonesia sejak awal September lalu. Dibintangi aktor Lukman Sardi (sebagai Ahmad Dahlan) dan Slamet Rahardjo (sebagai Kiai Penghulu Kamaludiningrat, kiai penjaga tradisi di Kauman), film ini berusaha menghidupkan biografi Ahmad Dahlan sejak lahir di Kauman, Yogyakarta, sampai mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Mungkin kita bisa banyak mengomentari film ini dilihat dari aspek teknis perfilman, seperti soal sinematografi, naskah, keaktoran, atau penyutradaraan. Namun, karena dirilis di tengah suasana Ramadhan dan Lebaran, agaknya karya ini juga patut diamati dari sisi pesan keislamannya.
Film ini cukup mengungkapkan sosok pahlawan nasional itu dari sisi yang tidak banyak diketahui publik. Selain mendirikan organisasi Islam Muhammadiyah, lelaki tegas pendirian itu juga dimunculkan sebagai pembaru Islam di Indonesia. Dia memperkenalkan wajah Islam yang modern, terbuka, serta rasional.
Adegan di Kweekschool di awal tadi bisa menggambarkan, betapa dia berusaha mengembangkan pendidikan Islam secara rasional. Langkah itu, seperti ditampilkan dalam film, dilanjutkan dengan merintis pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah.
Madrasah itu dikelola dengan pendekatan modern. Para murid, misalnya, duduk di bangku sekolah serta menggunakan papan tulis, mirip sekolah Belanda. Itu berbeda dari kebiasaan pendidikan agama dengan santri duduk di lantai mengelilingi sang kiai.
Ahmad Dahlan menjalankan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah dengan memanfaatkan ruang tamu rumahnya. Dia dan para muridnya belanja bahan-bahan kebutuhan sekolah di Pasar Beringharjo. Dalam film, adegan ini terasa hidup dengan iringan tembang ”Lir-ilir”.
Perjuangan itu tak berjalan mulus. Sebagian kiai menganggap, madrasah itu melanggar pakem karena menggunakan barang Belanda yang disebut kafir. Ketegangan ini membangun konflik cerita yang dinamis.
Pesan film ini cukup relevan pada zaman sekarang. Dari satu madrasah kecil di daerah Kauman yang dipelopori Ahmad Dahlan, semangat itu berkembang di Nusantara. Lewat Muhammadiyah, perjuangan tersebut terus dinyalakan hingga sekarang. Situs resmi Muhammadiyah mencatat, lembaga pendidikan organisasi ini mencapai 7.800 unit, dari taman kanak-kanak hingga universitas.
Hanung Bramantyo ingin menjadikan film itu untuk mengajak kaum muda tampil dan mengambil tongkat estafet kepemimpinan bangsa. Soalnya, pemahaman kaum muda terhadap para pendahulu mereka kian luntur. ”Anak muda zaman sekarang mungkin lebih kenal Ahmad Dhani ketimbang Ahmad Dahlan,” katanya bercanda sambil menyebut nama musisi pop Indonesia itu. (Didit Putra Erlangga Rahardjo)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/09/15/0320154/ahmad.dahlan.dari.kauman.untuk.indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar