Rabu, 22 September 2010

haa iki Tangguhnya Pelaut KRI Dewaruci

KRI DEWARUCI
Badai yang Membuat Pelaut Kuat
Rabu, 22 September 2010 | 04:04 WIB
KOMPAS/C WAHYU HARYO PS
Awak KRI Dewaruci memperbaiki keretakan pada tiang layar utama akibat dihantam badai dahsyat di Laut Utara Eropa. Perbaikan dilakukan tanpa kenal lelah sepanjang hari, hingga dini hari, di Pelabuhan Brest, Perancis.
 
Oleh C Wahyu Haryo PS
Badai dahsyat semalam di Laut Utara Eropa, yang kami alami dalam perjalanan dari Amsterdam, Belanda, ke Bremerhaven, Jerman, 23 Agustus, memang memorakporandakan KRI Dewaruci.
Angin bertiup dengan kecepatan hingga 50 knot (93 kilometer per jam). Gelombang laut mencapai ketinggian 7 meter. Kapal sempat mengalami kebocoran. Air menggenang di dek bawah hingga setinggi lutut orang dewasa.
Di luar perkiraan, badai itu ternyata bukanlah yang terdahsyat yang harus kami lalui. Petualangan tak kalah seru justru kami alami saat mengarungi perairan yang sama dalam perjalanan dari Bremerhaven menuju Cagliari, Italia. Kapal kembali diterpa badai dengan intensitas yang lebih kurang sama, tetapi kali ini berlangsung selama dua hari dua malam, yakni Minggu-Senin, 29-30 Agustus.
Keberangkatan KRI Dewaruci dari Bremerhaven, Minggu siang, tertunda dua jam. Meski demikian, penundaan itu tak menyurutkan antusiasme ribuan sahabat di Jerman yang berdiri memadati dermaga untuk melepas kepergian KRI Dewaruci. Duta Besar Indonesia untuk Jerman Eddy Pratomo beserta staf, mahasiswa, dan puluhan warga Indonesia di Bremerhaven ada di antara ribuan orang itu.
Dengan gagah berani, pelaut yang mengawaki KRI Dewaruci pun membalas lambaian tangan para sahabat dengan salam penghormatan kebanggaan parade roll. Mereka berdiri berjajar di atas tiang layar, yang tingginya mencapai 30 meter, sambil berjoget. Mereka turun setelah sahabat Dewaruci tidak lagi tampak dari pandangan.
Nyali pelaut kita yang berdiri di atas tiang tinggi dan bergoyang seiring dengan alunan gelombang air laut memang pantas diacungi jempol. ”Siapa pun pasti takut saat pertama kali naik ke tiang kapal ini. Tetapi, sekali mencapai atas dan berdiri merasakan besarnya keagungan Tuhan lewat pemandangan laut yang demikian luas dari atas tiang, rasa takut itu pasti hilang,” kata Letnan Satu (Pelaut) Chusnul Hidayat, awak KRI Dewaruci. Apa yang dikatakannya ada benarnya. Saya membuktikannya saat mengabadikan gambar KRI Dewaruci dari atas tiang.
Nyali untuk naik ke tiang kapal itu belum seberapa. Menjelang malam, ketika KRI Dewaruci bergerak memasuki Laut Utara, angin kencang dan gelombang tinggi kembali menghadang. Pengalaman diterjang badai di tempat yang sama ternyata tidak menyurutkan tekad pelaut itu untuk melanjutkan pelayaran. Tak ada gurat kecemasan di wajah mereka.
Hal itu berbeda dengan saya yang saat itu makin gundah karena lama-kelamaan alunan ombak makin hebat mengguncang lambung kapal. Guncangan terasa kian hebat, hingga badan saya sulit berkompromi dengan keadaan itu. Rasa mual dan pusing makin terasa.
Dari jendela kabin terlihat jelas gelombang laut tak henti- hentinya menghantam lambung kapal. Alunan ombak serasa menelan kapal karena permukaan gelombang air laut sampai berada jauh di atas jendela kapal. Padahal dalam kondisi normal, tinggi jendela itu sekitar 4 meter dari permukaan air laut.
Kursi dan barang di kamar berjatuhan dan berserakan di lantai. Kapten (Pelaut) Andre Dotulung yang menjadi rekan sekamar saya sampai terjatuh dari tempat tidurnya dan tertimpa lampu senter yang semula diletakkan di atas lemari.
Dua hari dua malam badai menerjang dan kapal terus merangsek maju. Selama dua hari itu pula saya hanya bisa berbaring di tempat tidur dengan kondisi badan serasa lemah. Baru pada hari ketiga badai mereda. Saya mulai bisa bangkit dan berjalan berkeliling ke ruangan kapal.
Di dapur terlihat prajurit yang bertugas memasak sedang berupaya membereskan peralatan yang berserakan akibat diguncang badai. Aktivitas pelaut yang tengah membereskan barang-barang yang berserakan juga terlihat di ruang pantry, ruang makan, dan koridor kapal. Bendera bergambar tengkorak, simbol pejuang yang berani menantang maut, juga diganti karena terkoyak akibat derasnya angin.
Saya terkejut mendengar informasi dari Kapten (Pelaut) Waluyo, yang ditemui di anjungan, kapal terpaksa mampir di Pelabuhan Brest, Perancis, untuk melakukan perbaikan. Badai yang menghantam selama dua hari berturut-turut itu ternyata mengakibatkan kerusakan serius pada tiang layar dan tiang boom.
Satu dari tiga tiang layar, yakni tiang yang berada paling muka dan dikenal sebagai tiang bima, retak dan hampir patah. Padahal, tiang berbentuk tabung mengerucut setinggi 33,25 meter itu terbuat dari besi setebal 1,2 sentimeter, dengan diameter sekitar 50 sentimeter. Keretakan berada pada ketinggian sekitar 10 meter dari atas geladak.
Tiang bima menyangga lima peruan (tiang yang terpasang secara horizontal di tiang layar) yang terbuat dari besi dan kayu, dengan panjang 9-18 meter. Di atas tiang yang retak itu tertambat empat peruan. Berat tiang retak itu secara keseluruhan diperkirakan mencapai lebih dari 1,7 ton.
”Sangat berbahaya jika tiang sampai patah saat kapal tengah berlayar,” kata Komandan KRI Dewaruci Letnan Kolonel (Pelaut) Suharto.
Keputusan bersandar di Brest tepat. Tak bisa dibayangkan jika pelayaran diteruskan dan tiba- tiba tiang besi setinggi lebih dari 15 meter dengan berat lebih dari 1,7 ton itu patah dan menghunjam ke geladak kapal. Bisa-bisa kapal hancur dan karam.
Kalaupun patahan tiang itu langsung jatuh ke laut, keseimbangan kapal tetap terganggu dan bisa terbalik. Hal itu karena ada puluhan tali pancang yang mengikat dan menghubungkan tiang layar dengan badan kapal.
Perbaikan kapal di Brest bukannya tanpa hambatan. Perbaikan bisa saja dilakukan di Perancis, tetapi dibutuhkan waktu berminggu-minggu, dengan biaya yang besar. Untuk menyewa crane saja, dibutuhkan ongkos sewa 800 dollar AS (sekitar Rp 7 juta) per hari.
Awak kapal pun bahu-membahu memperbaiki KRI Dewaruci sehingga pada 4 September bisa berlayar kembali.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/09/22/0404185/badai.yang.membuat.pelaut.kuat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar