Jumat, 03 September 2010

haa iki Keragaman Mazhab

Keberagaman Mazhab dan Gulai Kepala Ikan
Kamis, 2 September 2010 | 03:01 WIB
 
NADIRSYAH HOSEN
Berpuasa di Australia dapat membuka cakrawala berpikir tentang hubungan sesama umat Islam yang lintas mazhab, etnik, dan kebangsaan. Sebagaimana jamaknya terjadi di Indonesia, sebelum puasa muncul perdebatan soal kapan puasa dimulai. Perbincangan ini mengerucut pada kesimpulan, awal dan akhir Ramadhan diserahkan kepada keputusan tiap-tiap imam masjid setempat.
Apa boleh buat, orang-orang Barat sudah sampai ke bulan, sementara umat Islam di negeri Barat sekalipun masih saja membahas soal rukyat dan hisab. Repotnya, tidak seperti di Tanah Air, jumlah masjid di Negeri Kanguru terbatas. Kadang satu kota kecil hanya punya satu masjid. Kalau ada dua-tiga masjid di kota besar, umat Islam tentu punya opsi memilih awal dan akhir Ramadhan.
Tiba pada pelaksanaan shalat tarawih, perkara klasik pilihan apakah 11 rakaat atau 23 rakaat terulang lagi. Penyelesaian model Indonesia ditawarkan: imam memimpin tarawih delapan rakaat, terus mundur. Lalu, diganti dengan imam lain yang meneruskan sampai 20 rakaat. Baru kemudian bersama-sama shalat witir tiga rakaat.
Selesai urusannya? Tidak juga. Kawan-kawan dari Pakistan yang bermazhab Hanafi berpendapat, tidak boleh ada dua imam dalam satu masjid. Menurut tradisi mazhab Hanafi, kalau imam di masjid jami’ sudah selesai shalat, jemaah yang ketinggalan (masbuk) akan shalat sendiri-sendiri. Mereka tidak boleh membentuk barisan jemaah shalat seperti biasa dilakukan kalangan mazhab Syafi’i.
Dalam urusan shalat Id, keragaman pendapat juga terjadi. Kalau imamnya bermazhab Hanafi, dia akan takbir tiga kali pada rakaat pertama dan kemudian membaca surat Al Quran. Pada rakaat kedua, dia akan membaca surat, baru kemudian takbir tiga kali sebelum rukuk.
Jemaah dari Indonesia yang biasa dengan tradisi mazhab Syafi’i terkaget-kaget. Bahkan, ada kejadian lucu ketika imam membaca takbir pada rakaat kedua, sejumlah kawan secara refleks langsung rukuk, dan terpaksa ”dicolek” oleh kawan sebelahnya untuk kembali berdiri lagi. Literatur fiqh bahkan menyebutkan, ada sepuluh pendapat berbeda soal ini. Toleransi akhirnya menjadi kata kunci, meskipun bikin bingung juga.
Keragaman juga terlihat pada saat berbuka puasa. Menu makanan ala Timur Tengah biasa tersaji setiap hari di masjid-masjid. Dalam satu kesempatan memberikan kuliah umum dua malam di Darwin, saya sempat menyindir kecenderungan pengurus masjid atau Islamic Councils untuk menyajikan makanan ala Timur Tengah. Saya bilang, ”Kenapa panitia tidak pernah memesan makanan Indonesia?”
Rupanya unsur bisnis dan etnik berperan juga di sini. Pengurus biasanya memesan makanan ke restoran dari etnik tertentu. Walhasil, pada malam kedua, restoran Indonesia dikontak dan tersajilah makanan ala Tanah Air.
Seorang syekh dari Lebanon terheran-heran ketika mendapati gulai kepala ikan. ”Ini apa? Bagaimana cara makannya?”
Rupanya seumur-umur syekh tersebut belum pernah makan gulai kepala ikan. Ternyata, toleransi atas keragaman makanan juga diperlukan, bukan semata-mata soal mazhab.

Nadirsyah HosenDosen Senior pada Fakultas Hukum Universitas Wollongong dan Rais Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Australia-Selandia Baru

Sumber :http://cetak.kompas.com/read/2010/09/02/03012685/keberagaman.mazhab.dan.gulai.kepala.ikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar