Rabu, 01 September 2010

haa iki Rasa Malu Yang Telah Tergadai

"Subhanallah", Rakyat Masih Miskin
Rabu, 1 September 2010 | 03:24 WIB
 
Mariani (35), ibu empat anak, sejak dua bulan terakhir terpaksa mengamen di jalan sekitar pintu gerbang belakang kompleks Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Daerah, Senayan, Jakarta. Alat mengamennya sederhana, kecrekan dari bekas tutup botol minuman. Ia ditemani dua anaknya yang masih berumur tiga tahun dan empat tahun.
Suami Mariani masih terbaring sakit sejak kecelakaan, tertabrak truk, saat berjualan pakaian. Usahanya berjualan nasi uduk bangkrut karena hasilnya habis untuk menutupi biaya pengobatan suaminya. Derita Mariani bertambah saat dia dan keluarganya terusir dari rumahnya di Tanjung Priok karena tak sanggup membayar uang kontrakan. Kini mereka tinggal tak menentu.
Mariani, yang mengantongi kartu tanda anggota Partai Demokrat, sengaja mengamen di sekitar Gedung MPR/DPR. Ia ingin bertemu dengan salah satu fungsionaris partai yang pernah menjanjikan bantuan keuangan sejak usahanya bangkrut.
”Namun, orang susah seperti saya enggak ada yang mau dekat. Semuanya menjauh. Tadi saja saya diusir satpam,” katanya sedikit terisak. Mariani bertutur, Selasa (31/8) petang itu dia hanya berbuka puasa dengan air putih dan dua bungkus kacang. ”Nanti kalau dapat uang lagi, baru beli nasi di warteg. Uang saya tinggal Rp 2.000, enggak cukup buat beli semangkuk bakso untuk makan dua anak saya,” katanya.
Dua anaknya yang lain ditinggal untuk menemani bapaknya yang entah kapan bisa sembuh seperti sedia kala.
Orang miskin seperti Mariani jelas tak tahu, tidak jauh dari tempatnya mengamen, DPR bakal membangun gedung mewah baru senilai Rp 1,6 triliun. Jangankan menyebut kata triliun, uang ribuan pun tak ada dalam pikiran Mariani. ”Subhanallah, orang seperti kami, kan, masih miskin,” ujarnya.
Rencana DPR membangun gedung mewah baru memang tak masuk akal bagi rakyat kecil. Pedagang rokok dan minuman ringan di pintu gerbang belakang DPR, Hendi, merasa gemas bukan kepalang. Bukan hanya karena setiap hari dia disajikan pemandangan kontras dengan nasibnya sebagai rakyat kecil, mobil mewah anggota DPR lalu lalang di depan tempatnya berjualan, melainkan juga tak ada dalam logikanya, DPR harus membangun gedung baru. ”Masak gedung seperti itu (sembari menunjuk Gedung Nusantara I) tak cukup. Kami ini membangun rumah saja sulit,” katanya.
Sejatinya yang memiliki niat membangun gedung mewah itu adalah wakil rakyat. Namun, logika keterwakilan rakyat tidak masuk dalam benak setiap anggota DPR. Coba saja tanyakan ke penghuni rumah kumuh di pinggiran Kali Ciliwung, Jakarta.
Syawal Sugeng (46), yang sejak lahir tinggal di Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta, tepat di pinggir Kali Ciliwung, tak jauh dari Pintu Air Manggarai, langsung emosi saat diceritakan niat DPR membangun gedung baru lengkap dengan fasilitas kolam renang dan tempat pijat alias spa.
”Sejak lahir sampai punya lima anak seperti sekarang, keluarga saya enggak pernah tenang, jangan-jangan rumah kami ini mau digusur. Kok, DPR enteng, ya, mau bangun gedung mewah yang ada kolam renang dan tempat pijatnya?” kata Syawal, yang sehari-hari menjadi pemulung dengan penghasilan paling banyak Rp 40.000 sehari.
Lorong sepanjang 20 meter di RT 13 RW 04 Kelurahan Manggarai ditinggali sekitar 40 keluarga, termasuk Syawal. Satu rumah bisa ditinggali tiga hingga lima keluarga. Satu keluarga terpaksa berdesakan di ruangan berukuran 6 meter persegi atau 1/20 kalau dibandingkan dengan ukuran ruangan anggota DPR di gedung baru yang masing-masing direncanakan mendapat ruangan seukuran 120 meter persegi. Jangankan kolam renang, untuk mandi saja warga harus berebut tiga kamar MCK di ujung lorong. Beruntung mereka mendapat bantuan sumur bor sewaktu mahasiswa Universitas Indonesia berkuliah kerja nyata di sana beberapa tahun lalu.
Di ujung lorong, Ucung (40), tukang sapu jalanan, sore itu tak bekerja. Ia harus mengasuh anaknya yang paling kecil, sementara istrinya berjualan gorengan tak jauh dari Pasar Raya Manggarai. Ucung yang lahir dan besar di pinggir Kali Ciliwung tak memahami niat wakil rakyat membangun gedung baru, sementara jutaan orang yang bernasib sama seperti dirinya kesulitan memiliki rumah yang layak. Tidur berdesakan bersama istri dan empat anaknya serta kebanjiran jika musim hujan adalah nasib yang harus diterima selama puluhan tahun.
Andai saja uang Rp 1,6 triliun itu dibagikan untuk membuat rumah yang layak bagi orang miskin seperti Ucung atau Syawal, tentu rakyat merasa terwakili nasibnya di Gedung DPR. ”Mungkin rakyat ini harus menduduki lagi Gedung DPR, seperti waktu jatuhin Soeharto, biar mereka sadar, bermewah-mewahan saat rakyat masih miskin,” kata Ucung. (Khaerudin)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/09/01/03243245/subhanallah.rakyat.masih.miskin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar