Rabu, 01 September 2010

haa iki Tentang Ramadhan Kalangan Ekonomi Lemah

"Kemeriahan" atau "Pendangkalan"?
Rabu, 1 September 2010 | 04:25 WIB
Oleh Gregorius Magnus Finesso dan Aris Prasetyo
Sajian makan malam keluarga Imran Nu’man (31), karyawan bengkel las di Tambora, Jakarta Barat, dalam 10 hari terakhir ini berbeda. Menu biasanya hanya semangkuk mi instan tanpa telur, plus beberapa potong tempe goreng. Kini, saban berbuka puasa, mereka menyantap nasi padang dengan lauk rendang. 
Ya begini setiap bulan puasa. Yang enggak ada, jadi diada-adain. Mulai dari menu buka puasa sampai sahur harus lengkap,” kata pria asal Purworejo, Jawa Tengah, itu sambil menawarkan untuk berbuka bersama, Minggu (22/8) petang.
Peningkatan pengeluaran itu, kata Yuhyi Lazuardi (27), istri Imran, lumrah terjadi tiap Ramadhan. ”Wajar kalau ingin berbuat lebih, toh ini hanya setahun sekali. Alangkah sempurnanya hati jika bisa menyuguhkan menu buka dan sahur yang lengkap untuk yang berpuasa kan?” begitu alasannya.
Sebagai karyawan dengan upah bulanan Rp 2 juta, pembengkakan pengeluaran keluarga itu cukup memberatkan, apalagi istrinya tidak bekerja. Belum lagi setiap bulan mesti disisihkan Rp 400.000 untuk sewa rumah petak bersekat papan yang jadi tempat berteduh.
Paling tidak, Yuhyi mengaku mengeluarkan uang setidaknya Rp 25.000 atau Rp 50.000 sehari untuk berbuka dan sahur. Padahal, anggaran makan pada bulan-bulan biasa hanya Rp 30.000 per hari. Jika ditotal, kebutuhan makan keluarga Imran saat puasa mencapai Rp 1,5 juta. Hal itu belum termasuk pengeluaran belanja kue dan sirup sekitar Rp 300.000.
Saat bersamaan, Yuhyi juga telah menghabiskan Rp 220.000 guna membeli karcis kereta kelas bisnis untuk mudik ke Purworejo bersama suami dan Gadis Nilawati (4), anak semata wayangnya. Dari mana keluarga ini mendapat tambahan uang untuk kebutuhan ekstra itu?
”Sebagian dari uang tabungan bulanan, sebagian lagi utang ke pemilik kos. Bayarnya dipikir setelah pulang kampung nanti,” tuturnya sambil menyuapi anak tunggalnya.
Filosofi ”memaksakan” diri, yang dilakukan Imran, rupanya tak hanya ritual tahunan saat puasa bagi keluarga berekonomi lemah. Rita Zahara (24), warga Ciputat, Jakarta Selatan, misalnya, mengaku menganggarkan Rp 10 juta untuk belanja keluarga saat Ramadhan. Barang yang dibeli adalah baju, sarung, mukena, sajadah, dan kue serta minuman.
”Keluarga kami punya tradisi merayakan Lebaran dengan sesuatu yang serba baru,” ujarnya. Rita bahkan berbelanja pakaian jauh hari sebelum Ramadhan untuk menghindari keramaian.
”Perayaan”
Hasrat ”perayaan” Ramadhan semacam ini ditangkap dengan jitu oleh kalangan industri, televisi, dan pusat perbelanjaan. Para model iklan di televisi, misalnya, tiba-tiba tampak khusyuk dengan berkopiah bagi laki-laki atau berjilbab bagi perempuan. Mal-mal getol mempersolek diri dengan mengusung beduk atau ketupat.
Sekilas, semua itu tampak memeriahkan syiar puasa. Padahal, di balik itu, sejatinya terselip juga niat untuk memompa hasrat belanja masyarakat selama puasa. Agaknya godaan itu memang telanjur memikat hati sebagian orang.
Lihat saja, menjelang berbuka, mal dipenuhi orang yang berbelanja. Arus jual-beli memang melonjak tinggi selama Ramadhan. Leila Tania, Head of Public Relations The Village Mall, mencontohkan, pada kondisi normal, perputaran uang di Plaza Semanggi, Jakarta, rata- rata Rp 1,8 miliar per hari. Saat Ramadhan, jumlahnya membengkak 20 persen, menjadi Rp 2,3 miliar per hari
Lonjakan permintaan juga terekam dari prediksi produsen. Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat menargetkan omzet penjualan tekstil dan produk tekstil selama puasa dan Lebaran mencapai Rp 4,5 triliun atau 10 persen di atas kondisi normal yang sekitar Rp 4,1 triliun. Peningkatan penjualan juga berlangsung pada barang elektronik.
Lembaga survei Nielsen memprediksi, total belanja masyarakat di enam kota besar, yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makassar, selama dua bulan (puasa dan Lebaran) setidaknya Rp 20,2 triliun atau Rp 10,1 triliun sebulan! Sementara bulan biasa hanya Rp 7 triliun. Makanan dan minuman yang paling laku terutama biskuit, sirup, minyak goreng, susu kental manis, mentega, vitamin, minuman ringan, buah, dan daging.
”Belanja Ramadhan tahun ini diperkirakan naik lagi,” ujar Direktur Eksekutif Servis Riset Ritel Nielsen Indonesia Teguh Yunanto.
Pendangkalan
Beberapa tahun belakangan, gairah dan godaan berbelanja memang kian mengental selama puasa, terutama di kalangan masyarakat urban. Ritual itu akhirnya masuk juga dalam arus komodifikasi: pemanfaatan segala sesuatu demi menyokong transaksi ekonomi alias jual-beli. Kenapa semua ini dapat terjadi?
”Ini adalah dampak kapitalisme industri yang berhasil mengemas Ramadhan dan Idul Fitri sebagai komoditas ’jualan’. Akibatnya, masyarakat dari seluruh lapisan ekonomi secara tak sadar memaknai bulan puasa dengan segala sesuatu yang istimewa,” kata peneliti dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, Alimun Hanif.
Bagi pengamat sosial Yudi Latief, komodifikasi semacam itu mencemaskan. Soalnya, semangat konsumtif dapat mendangkalkan nilai asketis puasa yang mengajak manusia menempa batin seraya menjaga jarak dari hal-hal keduniawian. Muatan moral puasa seharusnya mampu menjadi kritik terhadap nilai-nilai kapitalis dan materialisme yang kian menggerogoti kesadaran spiritual masyarakat.
”Komodifikasi yang terjadi sekarang ini sekaligus menjadi ironi di tengah keterpurukan ekonomi Indonesia,” katanya.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/09/01/04255356/kemeriahan.atau.pendangkalan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar