Rabu, 20 Oktober 2010

haa iki PENCITRAAN Yang Adiktif

Satu Tahun Tragedi Pencitraan
Rabu, 20 Oktober 2010 | 03:50 WIB
EFFENDI GAZALI

Setiap kali bertemu Tama Langkun, saya selalu bertanya-tanya, ”Apa yang ada di dalam hati Tama, dan apa pula yang ada di dalam hati Pak Beye (Susilo Bambang Yudhoyono)?”
Aktivis Indonesia Corruption Watch ini diserang orang tak dikenal (8 Juli dini hari) di tengah perjalanan pulang. Tama terluka serius kena bacokan dan dilarikan ke rumah sakit. Melalui Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana, Pak Beye mengirimkan surat dukungan kepada Tama untuk mendapatkan keadilan atas kasusnya.
Tak tanggung-tanggung, Pak Beye bahkan kemudian mengunjungi Tama di rumah sakit. Ia pun memberikan keterangan pers setelah pertemuan yang mengharukan dengan Tama. Berita ini masih tercatat segar pada situs resmi presiden tertanggal 10 Juli.
Ahad, 17 Oktober, saya bertemu Tama yang balik ”mengunjungi” Pak Beye di depan istananya. Kami ikut memberikan dukungan kepada teman-teman Kontras dan korban pelanggaran HAM yang membuat ”Aksi Pasar Lupa”. Demikian banyak yang dilupakan pemerintah. Peristiwa 27 Juli, tragedi Trisakti, Semanggi (untuk menyebut beberapa di antaranya), sampai kasus Tama, lalu penyerangan terhadap umat beragama lain, dan sebagainya. Keluarga korban menampilkan menu dan transaksi pasar politik serta bisnis seperti apa yang melatarbelakangi kelupaan itu.
Di sisi lain, tokoh politik pasti banyak yang lupa bahwa sampai Kamis (14/10), Sumarsih (ibunda Wawan, korban peristiwa Semanggi) bersama rekan-rekan sudah 180 kali berdemo di depan Istana serta mengirim 150 surat kepada Pak Beye. Sama seperti Tama, Bu Sumarsih pun telah bertemu Pak Beye (bukan sebagai jawaban terhadap demo mereka, tetapi karena diajak oleh Kontras saat diterima Presiden).
Pasti banyak pembaca yang bertanya, apa yang ada di dalam hati Pak Beye ketika menjanjikan dukungan kepada Sumarsih dan Tama? Jika peristiwa itu hanya dimaksudkan berhenti pada seremonial dan liputan media, pencitraan akan efektif menjadi senjata makan tuan.

Substansi berbalik
Supaya pencitraan tidak ”berbalik menyerang tuannya”, substansi pencitraan biasanya dibatasi dan diluncurkan berhati- hati. Atau, jika ingin sesuatu yang panjang, dibutuhkan keterlibatan total seperti Presiden Sebastian Pinera pada kasus kecelakaan tambang San Jose, Cile.
Contoh lain soal substansi yang juga banyak dibahas di halaman Opini ini menyangkut pembatalan kunjungannya ke Belanda. Pak Beye menyatakan, yang tidak bisa ia terima adalah ketika Presiden RI berkunjung ke Den Haag atas undangan Ratu dan juga Perdana Menteri Belanda, digelar sebuah pengadilan yang antara lain untuk memutus tuntutan ditangkapnya Presiden RI. Bagi Indonesia, bagi Presiden, kalau sampai digelar pengadilan saat ia berkunjung ke sana, itu menyangkut harga diri dan kehormatan kita sebagai bangsa (kutipan situs presiden, 5/10).
Beberapa teman pemerhati komunikasi politik di Belanda mengirim analisis bahwa pesan seperti itu berbahaya bagi Presiden sendiri. Timbul kesan, Pemerintah Indonesia selama ini memang biasa mengatur-atur kapan sebuah sidang pengadilan akan digelar. Dan dengan itu, mereka tersirat mengharapkan Pemerintah Belanda melakukan hal yang sama. Kita tahu bahwa sesuai dengan prinsipnya pengadilan di sana memegang teguh independensi.
Barangkali pembaca akan bertanya lagi, apakah tidak disadari logika berbahaya seperti itu? Atau, sebegitu besarkah kekeliruan intelijen membaca peta pengaruh Republik Maluku Selatan (RMS) yang sesungguhnya mengecil di Belanda?

Hening cipta Wasior
Batal ke Belanda, Pak Beye ikut menonton pertandingan PSSI melawan Uruguay di Stadion Senayan (8/10). Padahal, 4 Oktober pagi terjadi banjir bandang di Wasior, Papua Barat. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton bergegas mengirimkan surat ikut berdukacita kepada Presiden pada 6 Oktober. Sampai saat itu, Pak Beye belum memberikan pernyataan langsung terkait bencana Wasior.
Tentu Menlu Hillary Clinton memiliki cara tersendiri menyatakan empati. Presiden Cile Pinera punya sikap khas pula menghadapi bencana rakyatnya. Untuk Pak Beye, saya berandai-andai jika di antara penasihatnya ada yang berpikir dengan sudut pandang para korban. Ini sekadar perbandingan mengantisipasi sekiranya terjadi persoalan yang lebih kurang serupa.
Saya bayangkan, malam itu saat turun ke lapangan hijau seusai menyalami pemain PSSI dan Uruguay, Presiden spontan meminta pengeras suara kepada panitia. Lalu, barangkali Pak Beye mau menyatakan, ”Saya datang untuk memberikan dukungan kepada PSSI. Namun, sebelum pertandingan dimulai, mari kita semua yang ada di stadion ini maupun di seluruh Indonesia mengheningkan cipta dan berdoa untuk saudara-saudara kita yang dilanda bencana di Wasior.” Setelah tiga puluh detik, Pak Beye bisa menambahkan, ”Saya sedang mempersiapkan keberangkatan ke Wasior. Tetapi, sementara itu, untuk saudara-saudari kita di sana, terimalah salam dan doa dari kami semua yang ada di lapangan ini maupun di seluruh Indonesia.”
Rasanya kita semua berhak mengharapkan penasihat Pak Beye akan mendiskusikan hal tersebut kepada Presiden. Memakai pita hitam di lengan dan hening cipta sudah sangat lazim serta praktik standar di lapangan hijau, bahkan terkadang hanya untuk mengenang bencana relatif kecil atau bintang sepak bola yang meninggal!
Ini hanya penggalan akhir kisah pencitraan satu tahun. Di bagian terdahulu ada kisah tentang Anggito Abimanyu. Ia sudah diumumkan menjadi wakil menteri keuangan oleh pemerintah yang ternyata tidak tahu persis kecukupan administratif dirinya. Ketika enam bulan kemudian ada pengangkatan di posisi tersebut, dia pun lagi-lagi terlewatkan.
Semoga ironi atau tragedi pencitraan tidak terus berlanjut ke tahun kedua. Salah-salah, rakyat makin rindu pada sosok semacam SBP: Sebastian bin Pinera, yang pencitraannya dekat dan tulus kepada rakyat.

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik Universitas Indonesia

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/20/03504764/satu.tahun.tragedi.pencitraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar