Minggu, 31 Oktober 2010

haa iki Keikhlasan Merka Membantu

Mereka Menantang Maut
Minggu, 31 Oktober 2010 | 04:36 WIB
 
 
Meskipun ngeri menyaksikan kedahsyatan erupsi Merapi, para sukarelawan bertaruh nyawa menyelamatkan sesama. Anggota taruna siaga bencana, Slamet Ngatiran (30), bahkan benar-benar tewas dalam tugas di lereng Merapi. Ia meninggalkan istrinya, Mujinem (28), yang sedang hamil tiga bulan.
Anggota taruna siaga bencana (Tagana) dari Parangtritis, Bantul, Edu, tak kalah setia dengan menjadi sukarelawan selama tiga hari di Dusun Ngandong, Girikerto, Turi, Sleman. Ia terdorong membantu korban bencana alam sebagai balasan utang budi ketika para sukarelawan berbondong-bondong datang pada saat Bantul diguncang gempa hebat tahun 2006.
Selama tiga hari di barak pengungsian Edu tidur menggelandang. Sesekali tidur di bangunan sekolah, tetapi ia lebih sering tidur di tepi jalan raya. Membeludaknya pengungsi pasca-letusan Merapi membuat tak ada lagi sisa ruang bagi sukarelawan untuk terlelap di barak pengungsian.
Ketika Gunung Merapi kembali meletus pada Sabtu (30/10) malam, warga panik berlarian menuju lokasi terendah. Sebaliknya, relawan seperti Edu justru bergegas bolak-balik membawa mobil Colt mendaki lereng Merapi untuk sebanyak mungkin membawa warga ke lokasi aman.
Sukarelawan dari radio komunitas Turgo Asri, Guswantoro, bahkan juga bertaruh nyawa. Ketika polisi dan tentara telah menutup seluruh wilayah sejauh 7 kilometer, ia justru mendaki menuju Posko Tritis. Selama dua jam di Posko Tritis, Guswantoro dan beberapa rekannya menghidupkan genset di repeater utama agar komunikasi lewat HT tetap berjalan meski listrik mati.

Pengungsian
Sejak hari pertama erupsi Merapi, Heri Suprapto, Lurah Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, sibuk mengurusi warga desanya di pengungsian. Ia hampir tak punya waktu mengurusi rumahnya sendiri. Heri juga terus memantau kabar Merapi dari alat-alat telekomunikasi sehingga secepatnya bisa memberikan kabar kepada penduduk jika terjadi perubahan kondisi.
Di barak pengungsian Desa Umbulharjo, Sekretaris Desa Umbulharjo Endri (37) pun nyaris tak punya waktu menengok keluarganya. Setiap hari Endri sibuk mengurusi pengungsi yang hingga Kamis pekan ini berjumlah sekitar 2.000 orang.
Tak hanya urusan memberi makan ribuan orang yang harus diurusi Endri, lelaki berkacamata itu juga terlihat sibuk mengatur lalu lintas di pemakaman massal 20 korban Merapi dari Desa Umbulharjo. Semua ikhlas ia lakukan. ”Ini tanggung jawab saya sebagai sesama manusia,” ucapnya.
Terdapat pula jenis sukarelawan pengungsi. Mereka adalah pengungsi yang akhirnya menjadi sukarelawan untuk menolong tetangga-tetangganya sendiri. Salah satu sukarelawan pengungsi adalah Fajar Hidayat (17), pelajar kelas III SMK Muhammadiyah Prambanan, Sleman, dan Seno (18), pelajar kelas III SMK Pakem, Sleman. Keduanya pengungsi yang bergabung di Posko Forum Peduli Lingkungan Pencinta Alam Lereng Merapi (Palem). ”Pagi sekolah, sore kami bantu-bantu di posko, daripada diam saja,” katanya.
Ibu-ibu di Desa Glagaharjo, Cangkringan, juga menjadi sukarelawan di dapur umum. Tak terendus keberadaannya karena tertutup hiruk-pikuk mobil pemberi bantuan yang masuk-keluar lapangan depan barak. Mereka duduk berjam-jam mengupas wortel, bawang merah, aneka sayur, sambil bercerita satu sama lain.
Yatunah (35), warga Glagahmalang, Glagaharjo, sampai pukul 11.00 masih mengupas wortel. Mungkin sudah 10 kilogram wortel yang dia kupas, setelah mengupas bawang merah. Aktivitas itu dilakukan tiga kali sehari. Bisa dibilang, dari pagi hingga sore, kesibukannya mengupas dan mengupas. ”Yang memasak TNI. Kami hanya menyiapkan bahan,” ujarnya.
Tetangga-tetangga dusun yang lainnya juga menekuni aktivitas sendiri-sendiri. Parinem, misalnya, seharian mengelap piring. Parinem hanya tertawa ketika ditanya sudah berapa jam ia mengelap piring. ”Sepertinya kok enggak habis-habis,” katanya.
Spontanitas warga juga tampak di Balai Desa Wukirsari, Cangkringan, yang Sabtu pagi lalu menjadi barak tujuan pengungsi dari Balai Desa Umbulharjo. Begitu Merapi meletus sekitar pukul 00.30, ibu-ibu (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Dusun Sabrang Wetan—dusun selatan balai desa—sudah saling mengontak pukul 04.00.
Pembagian tugas, seperti sudah mereka perbincangkan dalam pertemuan-pertemuan PKK sebelumnya, berjalan. Satu rumah ditugasi memasak lima porsi nasi bungkus. Ada sekitar 100 warga yang memasak. Pukul 11.00-an sekitar 500 bungkus nasi sayur sudah diantar ke Balai Desa Wukirsari. Pas jam menjelang makan siang.
Jadi sukarelawan tidak hanya soal membantu para korba bencana tanpa bayaran, tetapi terkadang juga berarti menantang maut, bahkan rela mengorbankan nyawa sendiri demi menyelamatkan orang lain.(GSA/PRA/IRE/WKM)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/31/04362931/mereka.menantang.maut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar