Minggu, 10 Oktober 2010

haa iki Kepedulian Terhadap Lingkungan (Iklim)

China dan Brasil Hambat Trik Barat
Minggu, 10 Oktober 2010 | 03:37 WIB
AP PHOTO
Sebuah cerobong asap dari pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batu bara pada suatu malam di Changchun, timur laut China, awal September lalu. Sebagai penghasil gas rumah hijau, China dianggap oleh kalangan luas internasional sebagai penghambat dalam KTT perubahan cuaca di Kopenhagen, Denmark, tahun lalu
 
Simon Saragih
Tak ada titik temu dalam pertemuan di Tianjin, mulai 4 Oktober, soal cara menurunkan suhu global. Negara maju lebih menuntut penurunan suhu global dengan pelestarian hutan oleh negara berkembang. Penyebab 20 persen pemanasan global ini menjadi fokus perhatian negara maju, yang tidak lagi begitu memedulikan Protokol Kyoto.
Protokol Kyoto adalah julukan bagi kesepakatan negara maju pada 1997 di Kyoto, Jepang. Isinya, meminta 40 negara maju mengurangi emisi gas buang, sebesar 5 persen dari level emisi 1990. Kewajiban pengurangan emisi itu diberi rentang waktu selama periode 2008-2012. Ini tidak tercapai atau belum tercapai.
Sebanyak 40 negara itu dimasukkan ke dalam kategori Annex 1. Pengurangan emisi itu (greenhouse gas/GHG) disebut mitigasi. Hal ini tidak menjadi fokus utama pertemuan 177 negara di Tianjin, China, yang berlangsung selama sepekan.
Padahal, dunia menyadari, pihak yang paling bertanggung jawab dengan tingginya GHG adalah negara maju, selama 150 tahun kegiatan industri. Negara maju lebih menekankan pengurangan pemanasan global lewat pelestarian hutan yang dinamakan mekanisme REDD plus (+), singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation.
Mekanisme REDD plus menawarkan kompensasi uang kepada Indonesia, Brasil, dan negara-negara Afrika di sepanjang aliran Sungai Kongo. Kompensasi diberikan jika semua negara yang ditawari bantuan itu mau melindungi hutan tropis vital.
Perusakan hutan tropis ini dianggap menyumbang 20 persen terhadap total GHG, lebih banyak dari kontribusi GHG yang dihasilkan sektor transportasi global. Namun, perusakan hutan tropis jauh lebih kecil dibandingkan dengan emisi GHG negara-negara maju, yang menyumbang lebih dari 74 persen terhadap total GHG.

Mendadak buyar
Hampir terjadi kesepakatan di Tianjin soal REDD. ”Kami sudah hampir bisa mencapai kesepakatan yang mendekati Kesepakatan Kopenhagen,” kata seorang perunding dari Eropa kepada kantor berita Agence France Presse (AFP). Perunding ini tidak mau jika namanya disebutkan. ”Namun pada akhirnya, konferensi begitu kacau.”
Kesepakatan Kopenhagen juga fokus pada REDD. Namun, Kesepakatan Kopenhagen masih harus dimatangkan dalam rangkaian pertemuan berikutnya, yang berpuncak pada pertemuan di Cancun, Meksiko, 29 November-10 Desember 2010.
Menjelang pertemuan Cancun, misi Kesepakatan Kopenhagen berguguran. Banyak negara berkembang merasa tertipu dan mundur dari komitmen.
Di Tianjin, kesepakatan soal REDD itu sudah sempat didalami. Misalnya, sudah dibahas secara rinci mekanisme pengawasan perlindungan hutan. Norwegia dan Perancis pun penat. ”Ada banyak kendala sebelum REDD tercapai,” kata Paul Winn dari Greenpeace. Winn mengatakan, sebanyak 13 juta hektar hutan—sama dengan luas Yunani—lenyap tiap tahun.
Muncul pertanyaan, dari mana uang kompensasi bagi negara berkembang untuk melaksanakan REDD. Muncul kecurigaan dari negara berkembang bahwa bantuan dari negara maju demi REDD itu adalah lewat pengalihan bantuan lain, yang sudah dialokasikan negara maju ke negara berkembang. Dengan kata lain, tidak ada uang baru atau pinjaman baru.
Pertanyaan lain, benarkah bantuan itu tidak akan dikorup negara-negara penerima bantuan? Benarkah negara-negara penerima bantuan akan melindungi hutannya? Ini adalah gugatan atau pertanyaan negara maju. ”Isu korupsi adalah ancaman besar,” kata Victoria Tauli-Carpuz, seorang anggota delegasi dari Filipina pada pertemuan Tianjin.
Negara berkembang punya versi lain, yang membuyarkan REDD plus. ”Kelestarian hutan bukan untuk diperjualbelikan,” kata Pablo Solon, ketua delegasi Bolivia.

Biang keladi
Brasil dan China dituduh menjadi biang keladi di balik kekacauan pertemuan Tianjin soal REDD plus itu. Kantor berita Reuters menuliskan, China yang didukung Brasil mencuatkan tanggung jawab negara maju.
Lepas dari itu, negara berkembang makin paham. REDD hanya akan memuluskan kegiatan industri negara maju dengan menyusun mekanisme bahwa mereka telah mengompensasi GHG mereka, lewat bantuan uang via REDD plus.
China memberikan jawaban. ”Kami khawatir bahwa sejumlah orang mencoba membunuh Protokol Kyoto,” kata Huang Huikang, yang mengetuai Special Representative for Climate Change Negotiations (Perwakilan Khusus untuk Perundingan-perundingan Perubahan Iklim).
Huang menambahkan, negara-negara maju harus menawarkan program mereka secara jelas soal pengurangan GHG. ”Kini isu kunci adalah tidak ada kemajuan substansial dari pihak negara maju untuk memenuhi proses mitigasi,” katanya merujuk pada pengurangan GHG.
Ada taktik, baik dari negara maju dan negara berkembang, tak ingin pembangunan ekonomi terganggu, dengan memberi komitmen lebih dulu soal pengurangan GHG.
Kesimpulan sementara, negara maju ingin meminta dan menekan negara berkembang untuk mengorbankan atau meredam laju pertumbuhan ekonomi, sembari berkedok lewat bantuan via REDD plus, untuk melanjutkan pertumbuhan tanpa tanggung jawab soal GHG. ”Ini tidak etis,” kata Huang. (REUTERS/AP/AFP)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/10/03373794/china.dan.brasil.hambat.trik.barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar