Selasa, 19 Oktober 2010

haa iki Salah Satu Dari Ironi Dari Banyak Ironi Yang Lain

Beratnya Belajar di Tengah Sengketa
Selasa, 19 Oktober 2010 | 02:53 WIB
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Seorang siswa dari Sekolah Kristen Ketapang 2, Kedoya, Jakarta Barat, membawa poster penolakan eksekusi saat pelaksanaan eksekusi tanah di lokasi sekolahnya, Senin (18/10).
 
 Fransisca Romana
Tak pernah terbayang dalam benak Floren (12) akan kehilangan tempat menuntut ilmu. Tepat pukul 15.00, Senin (18/10), juru sita mengeksekusi sekolahnya, Sekolah Kristen Ketapang 2, di kompleks Green Garden, Kedoya, Jakarta Barat.
Bagaikan pelanduk mati di tengah dua gajah yang berkelahi, para siswa dan guru Sekolah Kristen Ketapang (SKK) 2 jadi korban dua pihak yang bersengketa, yaitu PT Taman Kedoya Barat Indah dengan ahli waris tanah, Muhaya binti Musa.
Hingga saat terakhir, mereka terus memperjuangkan hak untuk menuntut ilmu di tempat itu. Sejak pukul 07.00, para siswa dan guru berunjuk rasa di pelataran sekolah. Mereka menolak eksekusi.
”Saya sudah belajar di sini sejak TK. Jelas saya tidak rela kehilangan tempat belajar,” ujar Floren, siswi kelas VII SKK 2.
Tak kuasa menolak perintah pengadilan, para murid akhirnya dipulangkan. Para guru sempat berdebat sengit dengan pihak Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang akan memimpin eksekusi karena mereka merasa eksekusi lahan itu salah alamat.
Sayangnya, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Dengan patuh, mereka keluar dari sekolah yang langsung dipasangi garis polisi. Diiringi air mata, sekaligus pandangan tidak berdaya, mereka melihat sekolah yang telah berdiri sejak 1995 itu akhirnya tidak lagi bisa mereka masuki.
Alirudi, salah satu pengajar, menuturkan, waktu pelaksanaan eksekusi itu sangat disayangkan mengingat siswa tengah menjalani ujian tengah semester. ”Siswa-siswi kelas IX dan kelas XII juga sedang mendapat bimbingan belajar untuk menghadapi ujian nasional,” ujarnya.
Direktur Yayasan Pendidikan Kristen Ketapang (YPKK) Suhandoyo mengatakan, kegiatan belajar-mengajar harus tetap berjalan, tidak peduli di mana tempatnya. ”Kalaupun harus memakai tenda untuk belajar, kami akan jalani. Yang penting, kegiatan belajar-mengajar harus tetap berlangsung,” katanya.
Suhandoyo menambahkan, tidak akan ada karyawan atau guru yang diberhentikan akibat kasus tersebut. ”Kami ini korban, tapi kami tetap bertanggung jawab atas tetap berlangsungnya sekolah ini,” tuturnya.
Sedikitnya, 630 siswa dari kelompok bermain, taman kanak- kanak, SD, SMP, hingga SMA serta 90 guru harus menanggung akibat eksekusi tersebut. Untuk sementara, sekolah akan diliburkan selama dua hari. Setelah itu, para siswa akan menumpang tempat sementara di Sekolah Kalam Kudus yang tidak jauh dari kompleks SKK 2. Tetapi ini sangat bergantung pada jumlah siswa yang bisa ditampung di sekolah itu.

Tidak termasuk
Sengketa tanah itu dimulai tahun 1996, saat para ahli waris Musa bin Djiung, yaitu Muhaya, Sadeli Musa, Mudjaelani, Maimunah, Muhtar, Mulya Amir Husein, dan Sunayah M Ramlie, menggugat PT Taman Kedoya Barat Indah (TKBI).
Berdasarkan girik nomor C530, pihak ahli waris mengklaim bahwa tanah mereka berada di dalam area SKK 2 di Green Garden Blok M1. Pihak SKK 2 tidak termasuk dalam gugatan tersebut.
Pada Mei 1996, keluar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang memenangkan pihak ahli waris. PT TKBI mengajukan banding dan menang di tingkat Pengadilan Tinggi Jakarta tahun 1997. Atas putusan itu, pihak ahli waris mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan pada Februari 2002, keluar putusan MA yang memenangkan ahli waris. PT TKBI mengajukan peninjauan kembali, tetapi tetap kalah.
Menurut kuasa hukum YPKK, Sheila Salomo, eksekusi itu salah alamat. ”Batas-batasnya tidak jelas. Lagi pula, berdasarkan gambar situasi yang kami peroleh, sekolah ini tidak termasuk dalam girik C530,” ujarnya.
Sheila menambahkan, sertifikat lahan SKK 2 seluas 8.195 meter persegi, sementara luas lahan yang dieksekusi 6.490 meter persegi. Terkait penetapan eksekusi tersebut, pihaknya akan terus mengajukan perlawanan ke pengadilan.
John K Azis, kuasa hukum penggugat, mengatakan, penggugat akan memberikan waktu dua bulan bagi sekolah untuk mengosongkan sekolah dan mencari tempat belajar-mengajar yang baru. Jika lewat tenggat dua bulan, gedung sekolah akan dirobohkan.
Direktur PT TKBI Rudi Pratikno mengakui, pihak sekolah memang tidak tahu apa-apa dan hanya jadi korban. Dia menjanjikan tidak akan lepas tangan dalam perkara tersebut.
Apa pun bentuk akhir dari drama ini, yang pasti kegiatan belajar-mengajar jadi terganggu. Adakah para ”gajah” memikirkan masa depan ”pelanduk”?

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/19/02534277/beratnya.belajar.di.tengah.sengketa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar