Rabu, 27 Oktober 2010

haa iki Antara Harakiri dan Siri

Go Iwata
Harakiri dan Siri' Bugis-Makasar
Rabu, 27 Oktober 2010 | 02:33 WIB
KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP
Go Iwata
ASWIN RIZAL HARAHAP


Ada kemiripan antara harakiri di Jepang dan budaya siri’ di lingkungan suku Bugis-Makassar. Sistem nilai itu setidaknya sama-sama termanifestasikan sebagai dorongan meraih kesuksesan serta menjaga harkat dan reputasi.
Benang merah antara harakiri dan budaya siri’ itulah yang mendorong Go Iwata mencintai Indonesia. Ini bermula saat ia berlibur di Bali tahun 2001, semasa SMA. Dalam liburan sepekan itu, budaya dan keindahan Bali meninggalkan kesan mendalam baginya.
Setahun setelah tamat, Iwata mengambil Jurusan Kajian Indonesia di Fakultas Kajian Asing Tokyo University of Foreign Studies. Di perguruan tinggi ini, Iwata mendalami Indonesia, termasuk mempelajari bahasanya.
Pembawaan yang ramah membuat putra pasangan Makoto Iwata (54) dan Fukiko (52) ini mudah beradaptasi. Keberadaan sejumlah mahasiswa asal Indonesia di kampus itu membantu proses studinya. Ditunjang karakter pekerja keras seperti umumnya orang Jepang, ia meraih gelar sarjana dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,79.
Iwata lantas menempuh program pascasarjana di Graduate School of Asian and African Area Studies Kyoto University. Di sini dia bertemu dengan Profesor Takashi Sugishima yang mengarahkannya mengenali lebih jauh budaya siri’ pada masyarakat Bugis-Makassar.
Arahan dari sang dosen kian membulatkan tekadnya untuk meneliti langsung dinamika budaya siri’ di Sulawesi Selatan. Iwata pun mendaftarkan diri sebagai calon penerima beasiswa dari Kementerian Pendidikan Jepang, awal 2008. Beberapa bulan kemudian ia terpilih sebagai salah seorang dari 72 mahasiswa Jepang yang berkesempatan meneliti ke seluruh dunia.
Oktober 2008, Iwata resmi menjadi peneliti tamu Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Di sini ia dibimbing Ketua Divisi Sosial dan Humaniora, Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Unhas, Prof Dr Nurhayati Rahman.
Ketertarikannya meneliti budaya siri’ awalnya karena tradisi ini mirip budaya harakiri di Jepang. Dalam buku berjudul Latoa; Satu Lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis terbitan 1995, Mattulada menyatakan, siri’ merupakan jati diri dan nilai budaya terpenting dalam masyarakat Bugis-Makassar.
Warga yang tak punya siri’ diibaratkan manusia setengah jadi, bahkan hewan. Boleh dibilang, siri’ sama artinya dengan harga diri sehingga warga Bugis-Makassar wajib memulihkan reputasinya jika tercoreng. Siri’ juga diartikan sebagai pendorong untuk mencapai keberhasilan di tanah rantau.
”Saya merasa tertantang karena tak mudah meneliti siri’ yang berkonsep abstrak dan peka. Selain juga karena belum ada peneliti asing yang memfokuskan penelitiannya pada budaya siri’,” ungkapnya.

Uang naik
Sebelum terjun ke lapangan, Iwata memulai penelitiannya dengan tinjauan pustaka dan wawancara sejumlah narasumber yang memahami budaya siri’.
Setelah tahap awal penelitian selama enam bulan, ia memutuskan terjun ke lapangan. Ia memilih Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, sebagai lokasi penelitian tahap berikutnya.
Galesong, yang terletak sekitar 30 kilometer arah selatan Kota Makassar, dipilih karena memenuhi beberapa persyaratan yang dibutuhkan, seperti bekas pusat Kerajaan Gowa-Tallo, adat istiadat masih dipertahankan, mendapat akses tempat tinggal, dan memiliki komunitas perantau.
Karakteristik masyarakat Bugis-Makassar yang terbuka membuat Iwata diterima baik di Desa Boddia, Galesong. Meski lebih banyak tinggal di rumah tokoh masyarakat, tak jarang dia tinggal di rumah warga. Ini demi mendapatkan gambaran konkret praktik budaya siri’ yang diterapkan warga pada prosesi pernikahan.
Warga Bugis-Makassar mengenal istilah ”uang naik” dalam pernikahan. Uang naik itu syarat yang ditetapkan keluarga mempelai perempuan yang wajib dipenuhi mempelai lelaki. Praktik budaya siri’ sering terjadi saat mempelai lelaki tak mampu memenuhi permintaan itu. Lelaki umumnya menebus rasa malu itu dengan pergi merantau dan kembali setelah punya uang yang disyaratkan.
Ada juga pasangan yang memilih kawin lari karena saling mencintai dan tak ingin terkekang adat. Kondisi ini sempat membuat Iwata tak enak hati karena khawatir penelitiannya menyinggung perasaan warga.

Para perantau
Warga bahkan memberi dia pakaian adat Bugis-Makassar dalam upacara adat Tammu Taunna Gaukanga Karaeng Galesong ke-248 di Desa Galesong Kota, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Ia juga terkesan dengan keikhlasan warga menerimanya. Warga umumnya menolak uang untuk biaya menginap dan pengganti makanan.
Setelah menetap 17 bulan di Galesong, Iwata melanjutkan penelitian ke Pulau Laut, Kalimantan Selatan, meneliti para perantau dari Galesong. Di pulau itu ia menemui sekitar 140 keluarga dan tinggal selama sebulan.
”Saya menjadi saksi mata betapa perantau Bugis-Makassar menyikapi rasa malu secara positif dengan bekerja keras hingga sukses,” tuturnya.
Pengalaman selama dua tahun meneliti dinamika budaya siri’ itu dipresentasikan Iwata di hadapan sejumlah guru besar Unhas dan budayawan Sulsel, akhir September lalu. Presentasi yang dibawakannya dalam bahasa Indonesia, diselingi bahasa Bugis-Makassar, mendapat aplaus hadirin.
”Saya akan membuat buku tentang dinamika budaya siri’ dalam bahasa Indonesia dan Jepang. Suatu saat nanti saya ingin kembali ke Sulsel untuk melihat lebih jauh kebudayaan yang lain,” tutur Iwata.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/27/0233468/harakiri.dan.siri.bugis-makasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar