Senin, 18 Oktober 2010

haa iki Perbedaan Mahasiswa Sebelum Reformasi Dengan Kondisi Saat Ini

Tidak Ada Uang, Demo Tidak Jalan  
Deden Gunawan,M. Rizal - detikNews




Jakarta - Sebuah ruko yang terletak di wilayah Perdatam, Pancoran, Jakarta Selatan, hampir saban hari dikunjungi sejumlah pemuda. Ruko yang dijadikan tempat kumpul tersebut bernama Doekoen Coffee. Selain jadi tempat ajang berkumpul, kafe ini juga sering dijadikan lokasi diskusi sejumlah aktivis. Jangan heran kalau kafe ini berbeda dengan kafe-kafe pada umumnya yang ada di Jakarta.

"Di sini memang buat tempat nongkrong dan berdiskusi para mahasiswa dan aktivis. Jadi kafe ini bukan tempat gaul seperti kafe-kafe yang lain," jelas  Haris Rusli, pengelola Doekoen Coffee kepada detikcom.

Di kafe ini memang beberapa aktivis dan mahasiswa sering berkumpul dan berbagi informasi terkait isu yang sedang aktual. Selain itu kafe ini juga sering dijadikan tempat untuk konsolidasi sejumlah aksi yang akan dilakukan para aktivis. Diakui Haris, tempat konsolidasi para aktivis mahasiswa saat ini memang tidak seperti dulu yang banyak dilakukan di kampus, kos-kosan, atau di warung kopi pinggir jalan.

Tapi karena mengikuti perkembangan zaman, para aktivis pun kemudian memilih lokasi pertemuan dan konsolidasi sesuai kondisi terkini, yakni kafe. Hanya saja, meski bernama kafe tetap saja para aktivis hanya memilih menu standar, seperti kopi hitam, teh manis, atau kopi susu. "Namanya juga aktivis duitnya pas-pasan. Jadi pesanannya tidak jauh dari kopi atau teh manis," terang Haris.

Karena punya selera yang tidak berubah dalam memilih menu makan dan minum, itu sebabnya menu yang ditawarkan di Doekoen Coffee tidak berbeda dengan warung-warung kopi pinggir jalan, misalnya mie instan, roti bakar, serta kopi dan minuman ringan lainnya.

Masih tetapnya menu yang dipilih para aktivis ini seakan sejalan dengan semangat mereka dalam upaya mereka mengkritisi pemerintah dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Sekalipun selama setahun belakangan mereka terlihat jarang melakukan aksi namun menurut mereka konsolidasi antar simpul aktivis terus dilakukan.

"Kita masih sering berkumpul dan konsolidasi. Tapi memang untuk aksi turun ke jalan sudah lama tidak kita lakukan karena ada beberapa persoalan," jelas Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia, Taufikurrahman saat berbincang-bincang dengan detikcom.

Salah satu penyebab mendeknya aksi turun ke jalan yang dilakukan aktivis mahasiswa lantaran mengibarkan bendera masing-masing. Selain itu, agenda yang diperjuangkan juga berbeda-beda. Belum ada isu sentral yang membuat mereka bersatu dalam mengusung sebuah isu untuk dibawa turun ke jalan.

Sementara Stefanus Gusman, Ketua Umum DPP Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI) mengatakan, selain belum adanya kesamaan isu yang diusung, peran senior ikut mempengaruhinya. Banyak para senior yang mantan aktivis menggiring para juniornya sesuai kepentingan senior.

"Jadi kalau seniornya bilang A, maka para aktivis mahasiswa yang jadi juniornya ikut ke A. Kalau sudah begini sangat sulit untuk diajak aksi bersama. Apalagi kalau seniornya sudah dekat dengan kekuasaan, jadi semakin sulit saja," ujarnya.

Parahnya lagi, saat ini mindset mahasiswa terkait kegiatan aksi tidak lepas dari uang. Sehingga ketika mereka diajak turun ke jalan mereka akan bertanya berapa jumlah uang yang bisa mereka terima dalam setiap aksi. Hal inilah yang membuat ajakan untuk turun ke jalan tidak direspons oleh kebanyakan mahasiswa saat ini.

Menurut Haris Rusli, mantan aktivis 1998, perubahan mindset aktivis mahasiswa saat ini akibat ulah para elit politik pasca reformasi. Para elit politik sejak reformasi selalu menggunakan uang untuk menjaring pemilih atau saat melakukan kampanye. Akibatnya prilaku ini menular kepada para aktivis pasca 1998.

"Mereka akan sulit diajak turun ke jalan kalau tidak ada uangnya. Alasan mereka setiap aksi politik itu terkait uang dan jabatan. Ini sulitnya menggerakan para mahasiswa untuk melakukan aksi turun ke jalani," ujar Haris.

Persoalan lain, adanya upaya orang-orang di kekuasaan yang berupaya memecah kekompakan jaringan aktivis. Tudingan tersebut bukan tanpa alasan. Haris mencontohkan, dalam tiga bulan ini para aktivis beberapa kali melakukan konsolidasi untuk melakukan aksi. Namun dalam rapat ada saja kericuhan yang terjadi lantaran perbedaan sasaran isu. Sehingga rapat dibubarkan.

Untuk mengantisipasi penyusupan tersebut, kini para aktivis mulai menyeleksi para aktivis yang akan berkumpul. Langkah ini sengaja dilakukan untuk menyaring aktivis-aktivis yang datang ke dalam rapat untuk konsilidasi.

Persoalan-persoalan inilah yang membuat gerakan aktivis terlihat melempem. Jangan heran kalau kasus Bank Century dan kriminalisasi Bibit-Chandra tidak mendapat reaksi yang besar dari kalangan mahasiswa. Namun saat ini, aku Haris, isu terkait gagalnya pemerintahan SBY-Boediono, menuai kata sepakat dari semua jaringan aktivis. Mereka yakin dengan isu ini maka akan banyak mahasiswa yang mau turun ke jalan sekalipun tidak diberi uang atau janji-janji yang lain.

(zal/diks)

Sumber : http://www.detiknews.com/read/2010/10/18/185003/1468208/159/tidak-ada-uang-demo-tidak-jalan?991102605

Tidak ada komentar:

Posting Komentar