Jumat, 29 Oktober 2010

haa iki Masih Cerita Pilu di Mentawai

Dengarlah, Tante Memanggilmu...
Jumat, 29 Oktober 2010 | 03:54 WIB
 
 
"Arem isogai gayekeu kalabai (Dengarlah, tante memanggilmu)."
Kalimat itu diucapkan Resai Siritoitet (36) berulang-ulang di tengah bekas permukiman di Dusun Sabeugunggung, Desa Betumonga, Kecamatan Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Kamis (28/10).
Dusun Sabeugunggung merupakan salah satu daerah paling parah terdampak sapuan tsunami pada Senin lalu. Daerah itu bisa ditempuh dengan kapal sekitar 1,5 jam dari Kecamatan Sikakap.
Kemarin Resai bersama Rena Siritoitet (40) tengah menemani kakak mereka, Elpi Siritoitet (47), mencari Remaja Sakarebau (27) yang hilang disapu tsunami. ”Tampilkanlah dirimu Remaja, dengarlah suara tante,” kata Resai dalam bahasa Indonesia yang patah-patah.
Resai, Elpi, dan Rena sungguh ingin menemukan Remaja apa pun keadaannya, guna diperlakukan sebagaimana layaknya anggota keluarga.
Remaja hilang bersama dua dari empat anaknya, Rostina Sakarebau (3) dan seorang laki-laki berusia dua bulan yang belum sempat diberi nama. Sementara suaminya, Domar Sakarebau, serta dua anak mereka, Reljamita Sakarebau (6) dan Selpri Sakarebau (8), selamat dari gulungan tsunami.
Sudah tiga hari terakhir ini Elpi mencari Remaja. Elpi tinggal di Desa Betumonga. Setiap hari ia berjalan kaki sekitar dua jam menuju permukiman tempat Remaja tinggal selama ini.
”Saya juga belum makan sejak hari Selasa. Cari anak saya. Saya tidak mau makan sebelum anak saya ketemu,” kata Elpi dalam bahasa Indonesia yang tidak lancar. Ia tidak mau menunggu regu penyelamat yang baru bisa menembus lokasi itu kemarin.
Dengan risiko terluka memasuki belukar hutan yang habis disapu tsunami, Elpi terus berjuang. Kemarin dia begitu gembira saat menemukan sebagian yang dicarinya. Selembar kain bermotif batik milik Remaja.
”Iya, ini kain Remaja. Saya tahu karena Remaja sering pakai kain ini dan baunya juga bau Remaja,” ujar Elpi. Kain basah itu diperasnya, lalu digenggamnya erat-erat.
Elpi menolak tawaran istirahat, sekalipun hanya sekadar berhenti untuk minum. Dia terus berjalan dan begitu cepat menghilang di tengah belantara.

Hanya 50 orang
Sejumlah korban selamat dari Dusun Sabeugunggung mengatakan, dari sekitar 260 penduduk dusun itu, warga yang selamat hanya sekitar 50 orang.
”Banyaknya korban tewas karena mereka abai saat terjadinya guncangan gempa pertama yang tidak terlalu terasa kuat,” ujar Ritin Saleleubaja, warga.
Namun, lanjutnya, ketika gempa kedua datang, warga sudah kesulitan menyelamatkan diri. ”Saat itu gelombang tinggi sekali. Saya hanya sempat lari 5 meter dari rumah,” kata Ritin yang selamat setelah berpegangan di pepohonan.
Istrinya, Resna, dan dua anaknya, Esna Saleleubaja dan Isda Saleleubaja, menurut Ritin, tewas digulung ganasnya tsunami.
Kemarin sembilan anggota Badan SAR Nasional Kota Padang yang menyisiri lokasi permukiman di dusun itu hingga 1 kilometer dari bibir pantai menemukan sejumlah jenazah. Bau menyengat yang mengaduk-aduk isi perut begitu terasa di sekitar itu.
Wilayah permukiman yang berada di tengah rerimbunan aneka pohon, seperti durian, sagu, kelapa, dan bambu, koyak tak bersisa. Pakaian, peralatan rumah tangga, dan reruntuhan rumah warga tersebar di seluruh bagian hingga mendekati bibir pantai.
Di sisi lain, sejumlah warga yang tampak sudah sangat letih terus berupaya mengevakuasi beberapa jenazah. Sebagian lainnya tampak pasrah dengan tatapan kosong.

Sosok mungil
Di tengah keadaan yang demikian, sejumlah orang di bawah tenda darurat yang didirikan di sekitar reruntuhan rumah warga dikejutkan oleh sesosok mungil yang bergerak di Sungai Pumonean, yang membelah wilayah permukiman itu. Ternyata sosok mungil tersebut adalah salah seorang warga, Andrifal Samaloisa (4), yang diketahui sudah empat hari hilang.
Andrifal datang dari arah dalam permukiman sembari mengapung di atas selembar styrofoam berukuran 70 cm x 70 cm. Ia terus menyusuri Sungai Pumonean ke arah pantai. Di depannya ada satu buah durian, yang diletakkan di atas lembaran styrofoam tersebut.
Sejumlah orang segera bergegas menjemputnya dengan sampan. ”Andrifal tinggal di dusun ini dengan neneknya,” kata Adol Bastian Samaloisa (28), paman Andrifal.
Saat dibawa ke bawah tenda darurat, terlihat bahwa Andrifal mengalami lecet-lecet di bagian dahi. Bocah itu tidak berkata apa pun. Diam seribu basa.
Segelas air mineral yang diberikan terus digenggamnya. Meski demikian, Andrifal masih mampu memahami perintah yang diberikan, termasuk ketika seorang dokter memeriksa kondisi kesehatannya.
Sehari sebelumnya, seorang bayi laki-laki korban tsunami di Dusun Muntei Baru-baru, Desa Betumonga, Kecamatan Pagai Utara, Kepulauan Mentawai, yang diperkirakan berusia sekitar satu bulan juga ditemukan dalam kondisi hidup.
Bayi itu hanya mengalami luka ringan di bagian dahi, tetapi mengalami demam. Kedua orangtuanya diketahui tewas. Kemarin bayi tersebut masih dalam perawatan Puskesmas Sikakap, Desa Sikakap, Kecamatan Sikakap, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Afi, perawat di puskesmas tersebut, mengatakan, bayi tanpa nama itu ditemukan pertama kali oleh seorang anak kecil di sekitar sungai di Dusun Muntei Baru-baru sekitar 12 jam setelah gempa bumi dan tsunami menghantam. Selain bayi tersebut, ada pula bayi lain usia tiga bulan yang selamat dari bencana tsunami. ”Bayi tersebut selamat bersama ayahnya, sementara ibunya tewas,” kata Afi.
Hingga kemarin masih banyak warga yang berupaya mencari anggota keluarga mereka, mengingat terbatasnya tenaga evakuasi. (INGKI RINALDI)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/29/0354485/dengarlah.tante.memanggilmu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar