Kamis, 21 Oktober 2010

haa iki Yang Nyata Dari Rakyat

Melongok dari Kios Bu Wati
Kamis, 21 Oktober 2010 | 02:39 WIB
 
 
Wati melongok dari jendela kiosnya. Sekitar 25 meter di depannya, puluhan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi berunjuk rasa di tengah Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (20/10).
Sambil sesekali meladeni pembeli yang datang ke kios makanan-minumannya, perempuan yang sejak tahun 1965 berdagang di Jalan Mendut, Menteng, itu melemparkan pandangan ke arah demonstran. Ia terperanjat ketika dorong-mendorong terjadi antara petugas dan mahasiswa, disusul dengan tembakan polisi dan hujan batu dari arah mahasiswa.
”Aduh, kenapa itu? Kenapa harus pakai berantem begitu?” seru Wati panik.
Walau di kawasan itu sering terjadi demonstrasi, Wati sama sekali tak mengerti apa isi tuntutan yang disampaikan anak- anak muda berjas almamater itu. Boro-boro paham urusan demo begitu, Wati bahkan tidak ambil pusing mengenai berapa usianya kini. ”Kira-kira zaman Jepang masuk Indonesia, saya sudah ada,” ucapnya singkat.
Perempuan yang tidak bisa baca-tulis itu tidak bisa membaca spanduk-spanduk bawaan demonstran. Ia juga tidak begitu mengenal urusan politik. Satu- satunya pengetahuan politik diperoleh Wati dari mendengarkan obrolan wartawan, polisi, atau warga yang mampir dan duduk-duduk di muka kiosnya.
Di luar itu, ibu satu anak ini lebih akrab dengan harga-harga barang yang terus naik dan cara berdagang kecil-kecilan untuk menyambung hidup dari waktu ke waktu.
”Sekarang, paling-paling saya bisa dapat uang Rp 200.000 sehari. Itu kotor lho. Uang itu saya pakai untuk belanja barang-barang yang bisa saya jual lagi. Sisa uang dipakai untuk makan saya, suami, dan anak,” tutur perempuan asal Cirebon itu.
Kehidupannya kini kian minim. Jika gaji pegawai bisa naik atau anggaran kunjungan kerja anggota legislatif selalu naik dari tahun ke tahun, nilai uang perolehan Wati kini kian susut tergerus inflasi.
Barang dagangannya, seperti kopi-teh, mi instan, dan rokok, juga menjadi barang dagangan yang jamak dijual para pedagang keliling naik sepeda. Belum lagi kios dan warung yang kian menjamur, lengkaplah persaingan ketat yang dihadapi Wati dalam merebut pasar.
Pemimpin negara yang berganti kiranya tidak membawa perubahan signifikan bagi Wati. Satu-satunya perubahan yang dirasakannya adalah Jalan Diponegoro yang dulu banjir sekarang tidak lagi. Selebihnya, kondisi tetap begini-begitu saja.
Hal serupa dirasakan Pon (30). Pedagang rujak keliling itu memilih hijrah ke Jakarta untuk mengadu nasib ketimbang tetap tinggal di kampungnya, Piyungan, Yogyakarta. ”Di sana susah cari kerja. Mau bertani, tidak punya sawah. Jadi, tiga tahun lalu saya mengadu nasib ke Jakarta saja,” ujar pria lajang itu.
Di Jakarta, Pon mula-mula membantu kakaknya berdagang rujak. Usaha itu semakin surut lantaran perdagangan di suatu pertokoan di Manggarai juga sepi. Sejak itulah Pon mulai mendorong gerobak rujak.
Unjuk rasa seperti yang terjadi di Jakarta kemarin memberikan keuntungan bagi Pon kendati hanya sedikit. Beberapa polisi, pengunjuk rasa, dan wartawan mampir ke gerobaknya. Umumnya mereka membeli potongan buah segar seharga Rp 2.000 per potong.
Rezeki itu membawa peruntungan bagi Pon. Apalagi hujan yang turun menyebabkan dagangan buah sering tidak laku. Padahal, dia dan kakaknya harus patungan membayar sewa kamar seluas 3 meter x 2,5 meter seharga Rp 6 juta per tahun. Belum lagi biaya listrik, air, dan makan sehari-hari.
Kendati membawa rezeki, Pon mengaku belum merasakan perubahan berarti selama tiga tahun berdagang. ”Sebenarnya ingin juga sih mencari pekerjaan lain. Namun, apa yang bisa saya kerjakan? Mencari pekerjaan sangat sulit, apalagi saya hanya lulus SMP,” ucapnya.
Namun, tidak semua orang mendapat tetesan rezeki kala unjuk rasa seperti Pon.
Muhammad Jali (30), pedagang pakaian di Blok M, mengaku kerap repot jika terjadi kerusuhan saat unjuk rasa. ”Toko harus ditutuplah, harus mengamankan barang daganganlah, terus pasti orang di rumah khawatir. Sudahlah, kalau perlu, jangan terlalu sering ada demolah,” kata Jali.
Unjuk rasa dan banyaknya jalan ditutup menyebabkan para pengguna jalan geleng-geleng kepala.
”Macet lama di dekat Bank Indonesia. Banyak orang demo,” kata Libra (28) yang baru saja turun dari bus transjakarta di Halte Blok M. Libra meminta para pengunjuk rasa lebih baik menyalurkan aspirasinya terarah di lokasi tertentu saja tanpa perlu menghalangi orang lain yang harus tetap bekerja.
Kebingungan akan lalu lintas yang ditutup saat unjuk rasa juga menimpa Cathrina (46). Semula ia tidak menyangka perjalanan dari Blok M ke Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata di Jalan Medan Merdeka Barat bakal ribet. Baru di Halte Transjakarta Blok M ia dikabari bahwa sejumlah ruas jalan ditutup sehingga perjalanan bus transjakarta juga berubah jalur.
Terbayanglah ia harus berjalan kaki cukup panjang setelah halte terakhir sebelum bus berputar arah. Ditambah melewati kerumunan pengunjuk rasa. Bagi karyawan kantoran yang terbiasa hidup dengan rutinitas tanpa gejolak ini, hambatan pada Rabu itu sangat mengganggunya.
Unjuk rasa bukan sesuatu yang terlarang karena di situlah salah satu wujud penyampaian aspirasi masyarakat. Namun, barangkali perlu juga dipikirkan alternatif lain untuk berpendapat sekaligus membawa perubahan signifikan bagi banyak orang. (NEL/ART)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/21/02395514/melongok.dari.kios.bu.wati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar