Kamis, 21 Oktober 2010

haa iki “Tumenggung Joyo Endo”

TB Simatupang dan Semi-Kudeta 17 Oktober 1952
21/10/2010 00:46:18
   






 
            


*      TB Simatupang (Letjen Purn) dalam pengakuannya, dialah petinggi TNI-AD yang dianggap paling terlibat dalam Peristiwa 17 Oktober 1952 yang lebih dikenal dengan “semi-kudeta” militer yang dilakukan oleh sejumlah perwira TNI-AD. Ketika itu tank- tank dan sejumlah meriam diarahkan moncongnya ke istana, kediaman resmi Presiden Sukarno waktu itu. TB Simatupang yang saat itu berpangkat kolonel dan menjabat Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), akhirnya terpaksa dipurnawirakan di usia 39 tahun dari jabatan KSAP, diangkat menjadi Penasihat Menteri Pertahanan tanpa kantor dan tanpa pernah diminta dan dibutuhkan nasihatnya. Pak Sim –begitu panggilan akrabnya— lantas lama memegang kepemimpinan Dewan Gereja Indonesia, sampai suatu saat sukses memegang jabatan Ketua Dewan Gereja- gereja Dunia. Dia adalah satu dari sedikit jenderal intelektual yang pernah mewarnai TNI. Peristiwa yang melibatkan TB Simatupang dan AH Nasution, dua kolonel terpenting TNI saat itu, oleh pemerintah akhirnya dinyatakan secara resmi bukan coup atau percobaan coup. Tentu saja terdapat kompleksitas dan bahkan komplikasi sedemikian rupa mengingat konteks makro peristiwa itu tak kurang menyangkut: posisi dan versi TNI pasca perang kemerdekaan dan di lain pihak posisi dan status Bung Karno sendiri yang dalam era 1950-an cenderung tidak puas hanya menjadi presiden sebagai kepala negara. Maka itu, dalam kerangka nation and character building yang sampai dewasa ini tak kunjung mewujud dan memadai, disamping fakta bahwa TB Simatupang kemudian tidak mendapatkan jabatan pasca Peristiwa 17 Oktober 1952, sosoknya sebagai seorang negarawan dan prajurit intelektual menarik untuk di-kilasbalik-kan. Manusia cendekiawan senantiasa akan berpegang pada prinsip-prinsip dan pantang bersikap oportunis, apalagi pecundang, pengecut, pengintrik atau plintat-plintut. Apabila dibandingkan dengan elite politik dan elite negara masa kini memang nyata benar bedanya. Banyak elite politik dan kenegaraan masa kini tampak luarnya inteligen namun suka berkilah, miskin tanggung jawab namun kaya daya citra. Jika Pak Sim lebih suka dan elegan bersikap “ini dadaku,” banyak kalangan elite negeri ini kini lebih cerdik bersikap nylingker atau bersikap kura-kura dalam perahu, cepat dan sigap berganti nama sebagai “Tumenggung Joyo Endo” manakala tanggung jawab dituntut kepadanya atas jabatan yang dipegang. Profil perwatakan seorang TB Simatupang berbeda benar dari mereka yang terpaut dalam kasus- kasus tersebut, yang berhubung dengan perseteruannya dengan Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi, dia tentunya cenderung tak disukai oleh sang proklamator itu. Sukarno tak pernah sekalipun memilihnya sebagai anggota kabinet meski kecerdasan Simatupang menonjol. Kini, dengan kapasitas minimalis –namun telah dipoles melalui fit and proper test betapapun artifisialnya—seseorang mudah dilantik sebagai menteri atau “staf khusus” kepresidenan. TB Simatupang pun menguasai bahasa- bahasa Eropa. Selepas jabatan KSAP Pak Sim menolak “didubeskan” ke negara adidaya AS, meski Menlu Subandrio sendiri menawarinya. Bandingkan dengan oportunisme murahan yang suka dipertontonkan di panggung politik kontemporer, selain dari snobisme politik yang menggusarkan khalayak maupun yang menelorkan berbagai sinisme dan apatisme politik rakyat. Dan TB Simatupang segera memilih menapaki kariernya sebagai gembala umat, belajar teologi dan menghiasi mediamassa dengan berbagai artikelnya. Sebagai pribadi berintegritas, dia tak malu mengakui— demi nafkah keluarga selepas dicopot dari jabatannya sampai mesti menulis dua tiga tulisan seminggu, di antaranya dengan nama samaran “Senopati.” Itulah nasib seorang Pak Sim, sang pensiunan Kepala Staf Angkatan Perang RI. Demonstrasi para petinggi militer bersama ribuan massa di Istana Merdeka 17 Oktober 1952 tersebut tidaklah terlepas dari konteks rivalitas tajam antara kubu modernis TNI dengan kubu tradisionalis (ex Peta) dalam penataan internal pasca kemerdekaan yang disusul oleh revolusi fisik sampai dengan Perjanjian KMB. AH Nasution dan TB Simatupang adalah pionir dalam gagasan profesionalisasi TNI dengan sekaligus memanfaatkan misi militer Belanda di Indonesia pasca ditandatanganinya Perjanjian KMB. Inilah yang ditentang oleh kubu ex Peta dengan kerisauan bahwa dengan kedatangan misi militer Belanda sebagai narasumber profesionalisasi TNI, mereka (ex Peta) kemungkinan besar akan tereliminasi. Adalah Kolonel Bambang Supeno yang menjumpai Presiden Sukarno dalam rangka rivalitas tersebut; dengan gagasannya menyingkirkan KASAD Kol AH Nasution. Seolah merestui, Bung Karno menyatakan kepada Bambang Supeno “bila memang itu dikehendaki harap dinyatakan.” Itulah yang diterima secara zakelijk oleh Bambang Supeno yang segera menghimpun pernyataan yang akan ditandatangani oleh para panglima guna memuluskan ambisi tersebut. Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, KASAD Kol AH Nasution dan KASAP Kol TB Simatupang pun bersepakat menghadap Bung Karno di istana. Dalam pertemuan mana justru TB Simatupang paling getol meminta klarifikasi kepada presiden—memang betulkah rencana Bambang Supeno itu. Pokok inilah, yakni keberanian yang lugas TB Simatupang meminta klarifikasi langsung kepada Sukarno sungguh merepresentasikan watak keprajuritan inteligen, penuh integritas khas seorang cendekiawan. Kolonel berusia 32 tahun itu sungguh berani mengambil risiko demi suatu kebenaran yang ingin ditegakkannya. Keberanian itu –dalam idiom Banyumasan disebut “blaka suta”—hampir pasti sangat sulit dijumpai pada jenderal- jenderal dengan watak “nJawani,” yang serba ewuh-pakewuh. Dalam pergantian generasi, TNI/Polri memiliki jendral mirip TB Simatupang itu semisal pada diri Soemitro, Ali Sadikin dan Hugeng. Diterima di istana, Menhan Hamengku Buwono IX memulai pembicaraan dengan bertanya kepada presiden dalam bahasa Belanda;”Kami datang untuk bertanya apakah sebetulnya yang dikehendaki oleh Pangti?” T.B.Simatupang, KASAP, menimpali dengan panjang lebar yang intinya tidak setuju apabila cara penggantian KASAD Kol. A.H.Nasution ditempuh dengan menghimpun tanda tangan para panglima daerah. KASAP yang saat itu berusia 32 tahun menyatakan bahwa:”…apabila menjadi kebiasaan bahwa seorang KASAD dapat begitu saja diganti dengan mengumpulkan tanda tangan di antara para panglima, maka hal yang sama dapat terjadi dengan para panglima dengan mengumpulkan tanda tangan di antara para komendan resimen dan seterusnya.” TB Simatupang menegaskan bahwa selama dia menjadi KSAP tak akan membiarkan hal seperti itu terjadi, TB Simatupang pun menekankan adalah bahaya jika suatu tentara yang lahir dalam perang rakyat tidak segera mengalami profesionalisasi dan modernisasi setelah perang selesai. Bisa-bisa tentara akan menjadi sumber instabilitas kontinyu seperti Amerika Latin—demikian ditegaskannya. Dan kepada arsitek terkemuka, Silaban, Bung Karno dengan gemas menyatakan bahwa selama menduduki jabatan presiden Sukarno tidak akan memberikan kesempatan kepada TB Simatupang untuk memegang suatu jabatan dalam negara RI. Selang beberapa waktu, TB Simatupang mendengar dari AK Pringgodigdo betapa presiden sangat merasa terhina oleh KASAP. Dan presiden pun konon berucap: “ Hij poept op mij,” atau “Dia telah memberaki saya.”(Simatupang, 1991;166). q-s-(1840-2010). *) Slamet Sutrisno, Dosen Sejarah Pergerakan Nasional di Fakultas Filsafat UGM.Sumber : http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=227284&actmenu=39




                   

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar