Kamis, 28 Oktober 2010

haa iki Kisah Mantan Masinis

Supardi Warno
Mantan Masinis di PAUD "Rob"
Kamis, 28 Oktober 2010 | 02:32 WIB
KOMPAS/ANTONY LEE
Supardi Warno
Antony Lee


Kampung tempat tinggal Supardi Warno di Kota Semarang, Jawa Tengah, perlahan berubah menjadi ”rawa” akibat limpasan air laut alias rob. Bosan memusuhi rob, ia memilih berdamai dengan rob. Dengan begitu, ia bisa menyisihkan uang sedikit demi sedikit untuk menginisiasi pendidikan anak usia dini bagi anak-anak tetangganya.
Warno, panggilannya, hari itu sedang melihat-lihat pembangunan Masjid Baitul Hidayah di Kampung Depo Indah, Kelurahan Kemijen, Kecamatan Semarang Timur. Masjid itu berada di depan rumahnya, bersisian dengan bangunan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Al Hidayah.
”Ini celengan akhirat saya,” tutur Warno tersenyum melihat anak-anak berseragam yang asyik bermain di ruangan PAUD Al Hidayah.
Warno mendirikan PAUD pertengahan 2005 walaupun ia tak berlatar belakang kependidikan. Ia bekerja di PT Kereta Api Indonesia (KAI), diawali sebagai masinis, lalu ditugaskan menjadi mekanik sampai pensiun pada 2007.
PAUD Al Hidayah memanfaatkan bangunan permanen berlantai dua berukuran 4 meter x 12 meter. Hanya ada dua ruang utama di PAUD sederhana itu yang digunakan untuk ruang belajar. Sedangkan ruang para guru yang hanya cukup untuk satu meja dan dua kursi itu berada di depan toilet.
Di tengah kesederhanaannya, PAUD Al Hidayah menjadi semacam oase di Kampung Depo Indah, kawasan yang dianggap padat, alih-alih disebut kumuh. Warga Depo Indah harus berbagi wilayah dengan genangan rob yang kian tahun semakin menghebat. Para penghuni kawasan itu tergolong warga berpenghasilan menengah ke bawah dengan pekerjaan sebagai sopir, buruh, atau tukang becak. Sejumlah warga lagi pensiunan pegawai PT KAI.
Ada 45 anak yang tengah menuntut ilmu di PAUD Al Hidayah, masing-masing 20 anak untuk kelas taman bermain A (usia 4-5 tahun) dan taman bermain B (usia 5-6 tahun) serta lima anak di kelas usia 2-4 tahun. Bagi warga Depo Indah, PAUD itu membantu karena tak ada pendidikan untuk anak-anak usia dua tahun sampai taman kanak-kanak yang bisa terjangkau dengan berjalan kaki.
Selain itu, biaya sekolah di PAUD Al Hidayah relatif terjangkau, yakni Rp 30.000 sebulan. Itu jauh lebih murah ketimbang PAUD di perkotaan yang menarik biaya ratusan ribu rupiah.

Pendekatan sentra
Namun, dengan biaya murah pun, anak-anak di PAUD Al Hidayah mendapat materi yang mencukupi. Menurut Titik Sumartiningsih, Kepala PAUD Al Hidayah, dalam pembelajaran, pihaknya menggunakan pendekatan sentra dan lingkaran. Artinya, setiap anak diajak ”bermain” dalam sentra berbeda, yakni balok, persiapan (membaca, menulis, dan berhitung), seni, keimanan dan ketakwaan, serta alam (sains).
”Kami juga menekankan pendidikan iman dan ketakwaan karena sebagian besar orangtua mereka sibuk sehingga kurang menyentuh aspek itu. Ada juga murid yang orangtuanya itu gali (preman), bahkan sampai masuk penjara,” tutur Titik.
Harapan agar anak-anak itu tetap berakhlak baik, sekaligus tersentuh pendidikan dalam masa emas pertumbuhan, membuat Warno bertekad merintis PAUD Al Hidayah. Meski untuk itu ia mesti memeras tenaga, pikiran, dan sumber daya keuangan. Beruntung ia tak perlu menyediakan dana untuk membeli tanah karena bisa mengajukan izin penggunaan lahan milik PT KAI.
Biaya untuk membangun PAUD itu sekitar Rp 70 juta, belum termasuk peralatan. Biaya itu diambil dari tabungan Warno dan para donatur. Pada tahun pertama, ada bantuan dari sebuah organisasi yang bekerja sama dengan PT Pertamina. Mereka membantu penyediaan tenaga pengajar sekaligus menyediakan bangku serta sedikit alat peraga edukatif.
”Tetapi saya sempat gelo (sedih, kecewa) karena saat awal (beroperasi) ada guru yang membawa lari tabungan yang dikumpulkan anak-anak selama sekitar setahun. Jumlahnya belasan juta. Demi kepercayaan (dari warga), saya talangi dari tabungan saya,” cerita Warno.

Musuh jadi kawan
Usaha Warno mendirikan PAUD itu tak dapat dilepaskan dari ”perdamaiannya” dengan lingkungan. Warno, yang tinggal di lahan milik PT KAI sejak 1977, harus berhadapan dengan rob mulai sekitar pertengahan 1980-an.
Kondisi ini disebabkan penurunan muka tanah di Kota Semarang bagian utara yang berbatasan dengan laut. Kampung Depo Indah hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Sejumlah warga yang semula bisa memanfaatkan sebagian lahan untuk bercocok tanam sekadarnya hanya gigit jari ketika genangan itu menjadi permanen dengan ketinggian lebih dari 1 meter.
”Kalau (rob) dijadikan musuh terus, kita bisa ngelokro (putus asa). Saya coba membuat lahan sekitarnya menjadi semacam empang, lalu disewakan untuk pemancingan,” tuturnya.
Usaha itu dilakukannya pada tahun 2000-an. Dalam sehari, ada empat hingga lima pemancing yang menyewa empang itu senilai Rp 10.000 per orang. Kadang, dalam sebulan ia bisa menerima Rp 1,5 juta dari sewa pemancingan berukuran 25 meter x 30 meter itu. Warga lainnya perlahan-lahan turut ”berkawan” dengan lahan tergenang rob.
Warno menyimpan sebagian uang itu dan sebagian gajinya untuk merintis PAUD. Pada dua tahun pertama, ia masih menyubsidi biaya operasional PAUD dari hasil sewa pemancingan. Kini PAUD Al Hidayah sudah mandiri dengan biaya operasional sekitar Rp 2 juta sebulan.
Dia berharap mampu meningkatkan kesejahteraan para guru yang digaji Rp 150.000-Rp 300.000 per bulan. Warno menyadari peranan para guru sebagai ujung tombak pengajaran. Tak jarang, guru harus memutar otak untuk membuat alat peraga dari barang bekas, seperti puzzle dari potongan kardus.
”Warga pasti senang kalau anaknya bisa sekolah. Keterbatasan dana dan tak adanya sarana yang disediakan pemerintah membuat mereka tak bisa menyekolahkan anaknya,” kata Warno yang lewat PAUD Al Hidayah telah ”meluluskan” sedikitnya 200 anak Kampung Depo Indah.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/28/02320598/mantan.masinis.di.paud.rob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar