Rabu, 12 Mei 2010

haa iki Mata Hari 7

Aku Mata Hari (7)

Rabu, 12 Mei 2010 | 03:12 WIB

Remy Sylado

Aku benci pada gereja yang tidak serius membaca surat injili St Paul yang lain, yang menyebutkan lelaki dan perempuan sama di bawah hadirat Tuhan.) Makanya, kalau tiba saatnya nanti, demi ibuku, aku bersumpah akan menghajar lelaki yang semena-mena itu.
Tapi, wai, sebelum aku memasuki hari-hari matang yang membentuk diriku menjadi tegar melalui peristiwa-peristiwa pahit, luka, dan pilu karena seorang suami bernama John Rudolph MacLeod, ibuku keburu berpulang. Aku sedih, meratap, tapi aku sadar airmata tidak pernah menolong manusia bebas dari benci ataupun cinta. Pengetahuan ini akan menjadi cendramata ketegaran pada hari-hari mendatang yang entah bagaimana wujudnya, namun yang mesti aku hadapi dengan pandai, melebihi cekatannya tupai meloncat di sembarang dahan dan ranting.
Sebelum kawin dengan John Rudolph MacLeod, sebenarnya sudah ada lelaki setengah baya dari kalangan terpelajar yang pernah menyatakan cintanya padaku dengan cara yang amit-amit jabang bayi: norak!
Aku tak mau menyebut namanya.
Muasalnya aku tak suka dia sebab dia tidak berkumis.
Dalam penilaianku, lelaki tanpa kumis di zaman sekarang, akhir abad ke-19 ini, betapapun sosok tubuhnya tegap seperti Hercules, tidaklah memenuhi syarat sebagai johan untuk bersanding dengan cewek secantik aku. Dalam imajinasiku, kalau lelaki tanpa kumis mencium perempuan dengan taruhlah seember pasokan puisi cinta menyertai kemauannya untuk menjalin asmara, karuan saja nilainya mubazir, sebab ketika bibirnya memagut bibir perempuan, tidak terjadi rasa geli-geli mengasyikkan dari kumisnya itu yang bisa membangkitkan rangsangan libido kewanitaan.
Oleh alasan itu, maka katakan saja lelaki yang aku bilang norak dalam menyatakan cintanya padaku tersebut, tergolong lelaki apkiran, tak berguna. Aku takkan memilih lelaki seperti dia, walau untuk sekadar main-main, iseng, atau bahkan ujicoba kepekaan birahi sekalipun.
Itu pernyataan ideal khas perempuan. Bukan janji. Apalagi sumpah.
Sebab, aku tahu, apa yang dipikirkan manusia tentang keinginan dan kemauan, selalu tidak selaras, berhubung kenyataan yang diinginkan belum tentu sesuai dengan apa yang dimaui, dan sebaliknya. Kedua kecenderungan ini ternyata ditentukan oleh garis nasib dengan campurtangan Yang Maha Kuasa atas hak hidup manusia. Dalam bahasa Belanda yang tertib, yang baku, yang disebut Algemeen Beschaafd Nederland tersebut, aku hafal betul amsal tentang ”Manusia merancang jalan hidupnya tapi Tuhan jua yang menentukan pelaksanaannya— In het hart des mans zijn veel gedachten, maar de raad des Heeren die zal bestaan.”
Saking khatamnya, aku bahkan menghafal amsal ini dalam tujuh bahasa yang aku kuasai. Tapi aku tidak bermaksud menghafal-hafalnya seperti murid Zondagschool di Leeuwarden dulu, atau di manapun di dunia di mana guru-guru zending menjalankan tugas inkulturasi. Kalau aku mengingatnya sekarang, atau kapanpun di saat aku mau, tak lain alasannya karena aku merasa itu adalah puisi yang bagus, boleh diterima dengan tulus, tidak ada hubungannya dengan pendirianku yang vrijdenker.
Dengan berpendirian begitu aku harus yakin, setidaknya dari cerita-cerita orang-orang tua, bahwa ada Tuhan di atas kepalaku, selain tak lupa juga: Iblis gentayang di seputar badanku.
Di samping itu, malangnya, lelaki yang norak ini adalah guruku. Wagu rasanya aku membalas cinta seorang guru. Tapi jelimet juga rasanya aku menjadikan diriku sebagai patung Shiva Koning van de Dansers ) seperti yang terpajang di Rijks­museum Amsterdam itu. Sampai kapan aku sanggup mencibiri dia?
Dia—sekali lagi aku tak mau menyebut namanya, tapi percayalah, dia akan membekas terus dalam ingatan burukku—adalah guruku di Bewaarschool.
 7) 1 Korintus 11: 11-12
8) sekarang ditaruh di Zal 1 Rijksmuseum

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/12/03124323/aku.mata.hari.7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar