Minggu, 30 Mei 2010

haa iki Pusaka Hidup Cina Benteng


KOMPAS/BUDI SUWARNA
Lim Tjoan Lie (73) sedang bercukur di depan rumah kebaya kediamannya, Rabu (19/5). Rumah kebaya dengan hiasan aksara China merupakan ciri rumah peranakan Tionghoa di Tangerang yang lebih sering disebut Cina Benteng.
Pusaka Hidup Cina Benteng
Minggu, 30 Mei 2010 | 04:49 WIB

Oleh Budi Suwarna dan Iwan Santosa

Lie Soen Nio (43) mengangkat hio tinggi-tinggi di atas kepalanya tepat di depan meja abu leluhur. Dia tidak mengerti benar makna ritual yang dia lakukan pagi itu, tapi dia menjalaninya secara khusyuk. 
Itulah sejumput tradisi leluhur yang masih dipegang teguh Tionghoa peranakan di Tangerang, Banten, yang sering disebut Cina Benteng. Di luar itu, ada seabrek tradisi lainnya yang juga mereka pelihara. Tidak heran jika komunitas yang leluhurnya datang ke Batavia jauh sebelum Republik Indonesia berdiri ini menjadi semacam pusaka hidup, living heritage, di wilayah Tangerang dan sekitarnya.
Di pintu depan rumah, Soen Nio menempatkan hio lo (tempat dupa), kwee cang (kue ketan), dan kertas beraksara China. Tepat di depan pintu masuk, ada meja abu lengkap dengan guci-guci kecil, hio lo, dan foto para leluhur. Meja abu menjadi perekat persaudaraan antarwarga Cina Benteng.
”Kalau enggak ada meja abu, enggak bakal ada famili yang datang ke rumah pas imlek,” ujar Soen Nio di rumahnya, Kampung Inggung, Rancakelapa, Panongan, Tangerang, Banten, Rabu (19/5).
Di kampung itu, komunitas Cina Benteng juga masih menjalankan upacara perkawinan Chio-Thau—upacara perkawinan tradisional yang di China Daratan sendiri konon sudah jarang ditemukan.
”Kapan pengantin laki-laki keluar rumah, kapan ngelangkah, kapan upacara perkawinan (digelar), semua ada hitungannya. Kadang Chio-Thau jatuh siang, kadang subuh, kadang tengah malam, tergantung hitungan,” kata Soen Nio sambil menunjukkan album foto perkawinan seorang anaknya.
Pengantin perempuan mengenakan baju tradisional hwa kun, semacam blus dan bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah. Pengantin pria memakai semacam baju koko hitam dan celana panjang serta topi caping petani, mirip ”kostum vampir” pada film horor China.
Seusai upacara, acara dilanjutkan dengan pesta yang dimeriahkan gambang kromong dan cokek. ”Kalau orang punya (kaya), pestanya bisa tujuh malem,” kata Soen.
The Pin Nio (48), warga Kampung Cukang Galih, Panongan, menambahkan, mereka juga masih menjalankan upacara kematian sesuai tradisi nenek moyang. Peti matinya masih berbentuk siu pan—peti mati tradisional China. ”Kapan nguburnya harus benar-benar dihitung. Kalau hitungan salah, yang mati bisa narik yang hidup ke akhirat,” ujar Pin Nio.

Dari ”sononya”

Tradisi leluhur itu masih hidup terutama di kantong-kantong Cina Benteng di udik (pedalaman) Banten seperti Panongan, Curug, Kelapadua, Tigaraksa, Legok, dan Balaraja. Tapi jangan tanya apa makna ritual atau simbol yang ada di rumah mereka, sebab jawabannya nyaris seragam, ”Emang dari sononya. Kita mah cuma ngejalanin doang.”
Iwan Meulia Pirous dari Pusat Kajian Antropologi Universitas Indonesia mengatakan, tradisi Cina Benteng diturunkan melalui tindakan. ”Itu jadi bagian praktik sosial sehari-sehari terutama sistem kepercayaan (religi). Tapi bahasa nenek moyang buat mereka tidak lagi aktual sebab sejak lama mereka sudah berakulturasi.”
Sebagian warga Cina Benteng terutama di udik berbicara dalam bahasa Betawi ”iyak” bercampur dialek Sunda pesisir. Partikel mah, ge (dari kata oge) bertaburan di hampir setiap kalimat. Umumnya, mereka tidak bisa bahasa Mandarin atau dialek Hokkian.
Hendra alias Acong (28), Ketua Ikatan Pemuda Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (IPPSMI) Cabang Banten, bercerita, mereka sering terbalik memasang kertas jimat beraksara China di depan pintu.
”Mereka tidak tahu mana yang di atas, mana yang di bawah. Akhirnya, wihara yang mengeluarkan kertas-kertas itu memberi tanda mana atas, mana bawah,” kata Acong yang juga berasal dari komunitas Cina Benteng.

Akulturasi

Komunitas Cina Benteng adalah keturunan China Hokkian yang datang ke Tangerang secara bergelombang pada abad ke-15 (ada juga yang menyebutkan abad ke-18). Pada gelombang awal, yang datang para lelaki yang di Tiongkok berprofesi sebagai petani, buruh, atau pedagang kecil.
Di Tangerang, mereka membuka lahan pertanian dan perkebunan di udik. Sebagian lagi bekerja sebagai buruh serabutan atau berdagang dekat Teluk Naga, kemudian Pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka menetap, berakulturasi secara alamiah, dan kawin campur dengan perempuan setempat. Keturunannya mengikuti bahasa ibu mereka, yakni dialek Melayu pasar. Itulah sebabnya orang Cina Benteng tidak bisa bahasa Mandarin atau dialek Hokkian.
”Kita ini orang Betawi. Leluhur, engkong, encek (paman dari ibu, empek (paman dari bapak) kita juga lahir dan mati di Betawi. Kalau Tiongkok kami kagak kenal,” kata Hendra.
Secara ekonomi, warga Cina Benteng juga jauh dari stereotip etnis Tionghoa yang mapan dengan kelas sosial tinggi. Kebanyakan justru hidup pas-pasan. Kong Tjoan, misalnya, sehari-hari bekerja sebagai petani di sawahnya sendiri. ”Hasilnya cuma cukup buat makan dan beli kecap,” katanya.
Bapak enam anak ini tinggal berdua istrinya di rumah peninggalan leluhur yang umurnya lebih dari seabad. Rumah berukuran dua kali lapangan voli itu berdinding kayu nangka dengan lantai tanah berdebu. Hampir tidak ada barang berharga mahal di dalam rumah itu kecuali televisi.
Istrinya, Pin Nio, masak dengan kayu bakar karena tidak bisa beli minyak tanah atau gas. Dapurnya pun hanya beberapa meter dari kandang hewan yang becek di samping rumah.
”Saya mah udah pasrah. Mau ngubin lantai aja kagak bisa. Saya cuma bisa macul doang,” ujar Kong Tjoan.
Buat warga Cina Benteng di Cukang Galih, kehidupan keluarga Kong Tjoan itu termasuk lumayan. Di kota, banyak warga Cina Benteng yang hidupnya blangsak alias terpuruk.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/04490428/pusaka.hidup.cina.benteng

1 komentar: