Minggu, 16 Mei 2010

haa iki cerbung Mata Hari 10

AKU MATA HARI 10
Remy Sylado - 10
Minggu, 16 Mei 2010 | 03:04 WIB

Dengannya aku akan berkata, bahwa tindakan apapun yang dilakukan manusia dalam rangka mempertahankan diri untuk hidup, semuanya bisa menjadi benar melalui reka pembenaran untuk membuatnya sebagai wujud kebenaran.
Titik masalahku tentang apologia ini berpangkal pada jengkelku atas prasangka-prasangka Ruud terhadap diriku yang sangat keterlaluan, sampai-sampai aku berpikir untuk suatu waktu nanti, apakala aku tak sanggup lagi menyeimbangkan antara kepekaan rasa dengan keinsyafan nurani serta ketahanan nalar dengan keluhuran harkat, maka aku bersumpah demi ibuku untuk harus menghajarnya. Nah, bukankah menghajar lelaki yang kurangajar tidak pantas dibilang tindakan cemar tapi sebaliknya luhur?
Aku mulai tersinggung pada Ruud sejak hari pertama perkawinanku. Selain cerewet, pikirannya jadul.
Mula-mula aku tersiksa pada kali pertama kami bercinta, dan itu akan menjadi gangguan konsentrasi setiap kami bercinta. Aku kewalahan, karena dia berlaku seperti singa lapar.
Dia bermain sendiri tanpa menghiraukan lawan mainnya. Sudah begitu, dia melakukannya dengan cepat pula. Jadi, ketika aku berpikir tentang ’lanjutkan’ dia malah berpikir tentang ’lebih cepat lebih baik’.
Kemudian, yang paling menjengkelkan, dalam relaksasi sehabis bercinta untuk pertama kalinya, dia duduk merengut di atas sofa, tak mau bicara, wajahnya seperti tersiram cuka.
Entah kenapa.
Aku penasaran.
Kalau dipikir-pikir, mestinya lebih pantas aku yang merengut, sebab dalam pengalaman yang baru berlalu, dia tidak bisa bekerjasama dengan tubuh dan jiwa dalam bercinta denganku.
Aku coba bersikap manis kepadanya, merangkul lehernya dari belakang, lantas mencium kupingnya.
Tapi, duhai, dia tak acuh.
Dia melepaskan tanganku, kemudian bersandar di kursi, seakan-akan tidak ada manusia yang baru saja menyajikan kemesraan kepadanya.
Maka aku bertanya, ”Ada apa?”
Dia tidak menjawab, awet merengut. Gelagatnya bukan tidak mau menjawab, tapi tidak berminat bicara.
Loh?
Apa yang harus aku lakukan?
Secepatnya aku mendapat gagasan. Aku bertanya dengan cara gurau, dan dengannya aku berharap mudah-mudahan kalimatku ini bisa membuatnya ceria.
Kataku, ”Kalau kamu merengut, kamu kelihatan gagah, seperti seorang jendral.”
Tak seperti yang aku harapkan, ternyata dia marah, membuatku terkejut, dan aku pun segera menyadari kesalahanku dalam menyimpulkan gagasan.
Katanya ketus, muka merah padam, mata melotot, ”Apa kamu kira itu lucu?”
Eh, alah! Kok keadaannya menjadi tegang? Malahan aku lihat ada api di matanya itu. Tiba-tiba aku ragu untuk bicara. Aku kuatir tak ada tabungan kata yang bisa diambil dari kepalaku untuk mendayukan kemarahannya. Padahal aku merasa menyesal telah memilih gurauan yang keliru.
”!” Sekian. Kalau ini dilafalkan, kira-kira perkataan yang paling kena adalah dalam bahasa bangsanya, Inggris: ”Sorry.”
Masalahnya, apakah dia ngeh bahwa dengan tidak berkata-kata seperti begini, dalamnya aku memang menyadari tidak pantas bergurau dengan kalimat yang tidak lucu.
Dia memandang aku dengan sangat meremehkan sambil menunjuk dengan gerakan kepalanya ke arah kursi yang ada di dekat sofa.
”Duduk,” kata dia singkat, kesannya bukan menyuruh, tapi memerintah, dan sikapnya congkak sekali.
Aku duduk. Dan aku mulai gerah. Bisa-bisa aku terbias marah.
”Apa?” kataku, memangku kaki, berharap dia segera bicara secara jantan.
Dia malah meniru kata yang baru aku ucapkan sembari mengangkat bahu, jemawa, ”Apa!”

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/16/03043178/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar