Kamis, 27 Mei 2010

haa iki, kolom olahraga : "Andi Mallarangeng"

Andi Mallarangeng
Kamis, 27 Mei 2010 | 03:12 WIB

Oleh ANTON SANJOYO

Sekitar tiga bulan setelah pelantikan anggota Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2, saya bertemu langsung dengan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. Terbiasa menjadi juru bicara presiden, Menteri yang punya latar belakang atlet tenis ini sangat santai dalam berbincang, terutama sangat fasih menjelaskan konsep dan pemikirannya dalam pembangunan olahraga nasional yang terpuruk dalam satu dekade terakhir.
Meski resminya wawancara, perbincangan dengan Andi banyak berbentuk diskusi diselingi debat ringan mengenai hal-hal yang tidak terlalu prinsip. Beberapa hal yang saya sepakati dalam diskusi di antaranya soal peran pemerintah yang lebih jelas dalam pembangunan olahraga. Hal yang paling saya ingat adalah tekad Menpora untuk menjadi ”agen” kepentingan olahraga dalam lobi tingkat tinggi di pemerintahan. Misalnya soal pembangunan sarana dan prasarana olahraga di daerah yang kerap terbengkalai karena pemerintah daerah punya prioritas yang berbeda dan biasanya sektor olahraga adalah prioritas buncit.
Dalam kaitan ini, Andi berjanji lebih aktif melobi Menteri Dalam Negeri agar ”menekan” kepanjangan tangannya di daerah. Pemerintah daerah (pemda) tak perlu mengorbankan APBD-nya terlalu banyak. Hal yang bisa dilakukan pemda antara lain mempertegas aturan pembangunan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) oleh pengembang yang membangun sebuah kawasan. Jika aturan ini ditegakkan secara merata di semua daerah, tampaknya infrastruktur olahraga nasional akan sangat maju secara kuantitas dan kualitas.
Tekad Menpora ini tentu sangat indah meski baru janji. Sebab, dalam banyak kasus, pengembang (delevoper) kawasan kerap wanprestasi soal fasum dan fasos. Saat hendak membuka kawasan, pengembang biasanya mengedepankan soal fasum dan fasos—yang kebanyakan digambarkan sebagai sarana olahraga—untuk menarik minat konsumen. Namun, begitu kawasan sudah terisi, fasum dan fasos itu kemudian disulap menjadi areal bisnis atau dijual lagi sebagai kapling dan hunian.
Keculasan pengembang seperti ini tampaknya tidak hanya terjadi di sekitar Jakarta yang pertumbuhan permukimannya sangat pesat, melainkan juga terjadi hampir di semua kota besar di Indonesia. Maka, apabila pemda bisa lebih tegas dan jujur—tidak korupsi menerima ”setoran” dari pengembang—fasum dan fasos berupa sarana olahraga bisa tumbuh pesat di banyak daerah.
Peran Menpora dalam hal ini tentu sangat besar mengingat Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) juga memberi peran yang sangat berat kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam salah satu prinsip dasar pembangunan olahraga: pemassalan dan olahraga rekreasi. Sebab, sejak terbitnya UU SKN pada 2005, peran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga, lebih banyak berkutat pada olahraga prestasi, yang sejatinya jadi lahan garapan KONI- KOI. Sementara dalam pemassalan olahraga yang menjadi salah satu tulang punggung sumber daya atlet, praktis tak ada yang mau bertanggung jawab.
Tanpa pemassalan olahraga, Indonesia kering sumber atlet sejak krisis ekonomi 1998. Tanpa atlet dan ekonomi ambruk, hampir tak ada kompetisi dan kegiatan olahraga yang menghasilkan atlet-atlet bermutu. Maka, anak kecil pun langsung paham, prestasi Indonesia terseok-seok di ajang internasional. Masih boleh dibilang mujur, saat Andi menjabat Menpora, prestasi Indonesia di ajang SEA Games Laos 2009 naik ke posisi ketiga, setelah dalam beberapa SEA Games sebelumnya ambrol ke posisi memalukan, empat, bahkan pernah lima.
Namun, di Laos pula, untuk pertama kalinya dalam sejarah bangsa ini, Indonesia kalah dari Laos di ajang sepak bola. Inilah titik paling nadir prestasi sepak bola Indonesia sejak Nurdin Halid menjadi komandan PSSI tujuh tahun lalu. Setelah itu, Indonesia juga tersingkir untuk pertama kalinya dari putaran final Piala Asia yang selalu diikuti sejak 1996. Di tingkat antarklub internasional, kompetisi Liga Super Indonesia hanya menghasilkan tim-tim ”terbaik” yang jadi lumbung gol lawan.
Pada momen ini, saya dan Menpora berbeda pendapat soal peran pemerintah. Saya berpendapat, pemerintah sudah waktunya ikut campur dalam pengelolaan sepak bola karena pengurus PSSI tidak pernah merasa bertanggung jawab, apalagi punya rasa bersalah terhadap jebloknya prestasi Indonesia di ajang internasional. Indonesia tak perlu takut dengan ancaman yang selalu dilontarkan PSSI soal campur tangan pemerintah yang akan berakibat sanksi dari FIFA. Apa salahnya kena sanksi FIFA jika pada akhirnya pemerintah dan pemangku kepentingan sepak bola bisa merevolusi kepengurusan PSSI yang prestasinya ambrol?
Dengan berdiplomasi, Andi selalu mengelak soal kemungkinan intervensi pemerintah itu. Dalam benak saya, Andi yang fungsionaris Partai Demokrat terkesan kuat tidak ingin membuka konflik dengan PSSI yang pengurusnya banyak datang dari Partai Golkar. Diplomasi Andi soal PSSI juga mencuatkan tanda tanya besar. Tanda tanya itu baru terjawab beberapa bulan kemudian, tepatnya saat Andi mendeklarasikan diri sebagai calon Ketua Umum Partai Demokrat. Tampaknya, Andi memang punya rencana selama pencalonan, tidak berkonflik dulu dengan siapa pun, termasuk PSSI.
Kini, Andi sudah kalah dalam persaingan di Partai Demokrat. Tenaga dan pikirannya yang selama ini terkuras untuk menduduki jabatan tertinggi di partai pemerintah itu bisa dicurahkan lagi bagi pembangunan olahraga. Pekerjaan rumah besar membenahi olahraga—khususnya sepak bola yang selalu bikin malu bangsa di pentas internasional—tampaknya bisa jadi prioritas.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/27/03124345/andi.mallarangeng

1 komentar: