Rabu, 19 Mei 2010

haa iki Mata Hari 12

AKU MATA HARI
Selasa, 18 Mei 2010 | 14:45 WIB
Remy Sylado
Tiba-tiba aku terpelanting. Mata berkunang-kunang. Ruud telah main tangan. Dia tampar aku. Kuat sekali. Aku terhuyung ke dinding. Jatuh. Terjerembab di lantai. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa. Aku pingsan.
Aduh, biyung, aduh, aduh
siapa pengawal hati menuju pembebasan
pada tarikh yang tertulis namaku
barangkali aku keliru mengabdikan diri
bukan pada kesetiaan tapi kebencian.

5
Kecelakaan tak terencana membawa kesukaan terencana.
Aku menyimpulkan itu dari peristiwa yang aku alami sendiri sekian jam yang lalu.
Setelah siuman dari pingsanku, aku menyadari diriku berada di atas ranjang, merasakan sakit di pipi dan rahang.
Aku ingat, Ruud menamparku dengan benci, tapi aku entah, siapa yang sudah mengangkat aku dengan iba dari lantai ke atas ranjang ini.
Ketika aku membuka mata, aku lihat dua orang di dekatku.
Ruud duduk di atas ranjang, memandangku dengan masygul, dan kakak perempuannya berdiri di belakangnya, memandangku dengan iba.
Menurut perasaanku, dan moga-moga aku tidak keliru menafsir, sikap masygul dan sikap iba, gerangan sama mengandung pengharapan atas hari mendatang.
Aku bilang Ruud masygul, dan kiranya dia berubah, sebab ketika aku membuka mata memandangnya dengan waswas, buru-buru dia jemput tangan kananku lalu menggenggamnya.
Katanya pelan tertelan ludah, ”Darling.”
Dengan kata itu aku yakin, bahwa masygulnya itu memiliki arti lain sayang dari kasad tersendiri penyesalan.
Namun, seingatku dia tidak mengucapkan kata bernas untuk menyatakan penyesalan itu. Padahal, seandainya dia mau, dia bisa memilih kata dalam bahasa ibunya, kata paling takrim dalam mengungkap rasa penyesalan—menyesal karena sudah menampar perempuan dan perempuan itu pingsan—yaitu ”sorry”.
Setahuku kata bahasa Inggris ”sorry” akan lebih sederhana dibandingkan dengan maknanya dalam bahasa Belanda yang menjadi panjang, yaitu ”het spijt me” atau lebih baku lagi ”neem mij niet kwalijk”. Dengan mengucapkan satu kata saja, ”sorry”, dia tidak perlu menyandangkan pronomina ”aku”-nya seperti jika dia menyatakannya dalam bahasa Jerman, ”ich bedauere”. Aku rasa, sebagai kata yang mengandung makna penyesalan, bahasa Inggris ”sorry” lebih pas baginya ketimbang kata bahasa Prancis ”désolé” atau kata bahasa Spanyol ”doliente” atau kata bahasa Italia ”spiacente”.
Tapi dia tidak mengucapkan apa-apa dalam masygulnya.
Ya sudah, aku menerima ini sebagai kenyataan.
Niscaya dengan ini aku belajar tentang perangai orang yang berbeda-beda. Mungkin saja bagi Ruud, lebih penting menghayati makna perbuatan tanpa mengucapkan perkataannya, ketimbang mengucapkan perkataannya tanpa memberi makna dalam perbuatannya.
Entahlah. Aku bukan ahli jiwa. Aku hanya bisa sedikit menduga-duga saja melihat perubahan airmuka seseorang dan membayangkan keadaan sukmanya.
Perubahan sikap Ruud yang aku baca pada airmukanya saat ini, terlihat jelas, sebab aku berbaring di ranjang menengadah ke langit-langit, dan dia memandang ke bawah dengan duduk di ranjang yang sama menatap mukaku.
Bagaimana alasannya dia bisa berubah secepat ini, aku tidak tahu. Boleh jadi karena ketika aku pingsan tadi, dia menguatirkan diriku akan mati. Dan, jika aku mati, dia lelaki setengah tua yang akan kehilangan istri muda belia lagi cantik kinyis-kinyis.
Aku yakin, dia sulit mendapat istri—buktinya ketika mencari istri pun dia terpaksa memasang iklan di suratkabar—sedangkan aku muda: kalaupun nasib membuatku jadi janda, aku akan menjadi janda kempling, seperti kembang ditandang kumbang, gampang mencari pengganti.
Tapi, bersamaan dengan itu, aku setengah percaya, bahwa berubahnya Ruud menjadi sayang begini, karena pangkal masygul yang dibayang-bayangi oleh rasa kuatir kehilangan diriku.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/18/14452725/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar