Kamis, 27 Mei 2010

haa iki AKU MATA HARI 21

AKU MATA HARI
Kamis, 27 Mei 2010 | 03:11 WIB
Remy Sylado
Lukisan ini adalah perempuan berbaju merah berpayudara tipis yang sedang dipegang payudaranya itu oleh seorang lelaki berbaju kuning. Aku terkejut seakan tersihir, sebab manakala aku sedang melihat lukisan itu, tahu-tahu si norak sudah memegang payudaraku sambil berkata:
”Oh, payudaramu tipis seperti Rebeka.”
Dalam terkejut seperti itu aku pun pura-pura berlaku biasa-biasa, sambil bertanya:
”Rebeka itu siapa?”
Rupanya dia mengerti betul obyek lukisan sang empu seni­rupa Belanda abad ke-17 ini. Maka jawabnya berandang sambil menunjuk-nunjuk lukisan itu:
”Perempuan berbaju merah ini bernama Rebeka, dan lelaki yang memegang payudara ini bernama Isak.”
”Kamu tahu?” kataku tolol.
Jawabnya menyimpang, ”Baju merahnya sama bagusnya dengan baju merahmu.”
***
Ah, demi ibuku, aku harus melupakan itu.
Barangkali aku pun harus melupakan kebiasaan-kebiasaan Barat. Aku sekarang di Timur. Dan aku lihat banyak perempuan desa di perkampungan yang sengaja melanjutkan leluri-leluri lama: tidak memakai BH. Tampak benar di sini BH—singkatan bahasa Belanda ’buste’) dan ’houder’)—menjadi penjajahan lahiriah terhadap keleluasaan ragawi.
Jadi, kenapa aku tidak meniru perempuan-perempuan desa itu?
Kalau begitu, selama aku di sini, apa salahnya aku pun melupakan cerita tentang baju bagus, lantas menanggalkan BH dan cukup menutupi bagian tubuh yang tidak boleh digigit semut, memakai sarung goyor Pekalongan atau batik Lasem yang mentabir pinggang, pantat, paha, sampai betis. Demi dua jenis sandang tersebut aku tidak perlu repot-repot berkereta api ke Semarang untuk membelinya. Toko-toko Cina di Ambarawa sini banyak yang menjualnya.

10

Aku mulai terbiasa menanggalkan BH-ku. Rasanya dengan begitu aku menjadi manusia merdeka dari kain peradaban Barat.
Malahan, kalau Ruud ditugaskan di luar Ambarawa sampai beberapa hari lamanya, aku mandi di pancuran dekat Kerep, ditemani Nyai Kidhal, bertelanjang bulat sebebasnya di udara terbuka. Dalam rasa bebas begini, aku membayangkan diriku seperti lukisan Cornelis van Haarlem, ”Mandinya Betseba”.)
Di tempat mandi terbuka dan bebas ini, tak sengaja aku mendapatkan ilmu tentang seks Jawa dari Nyai Kidhal. Asalnya aku tertarik melihat buah nanas yang merah merangsang, tumbuh liar di bawah pohon pisang. Aku menyuruh Nyai Kidhal mengambilnya untukku, dan Nyai Kidhal melarang.
Kata dia, ”Perempuan tidak boleh makan nanas, nanti becek.”
Aku terheran, tak mengerti. Kataku, ”Apa itu?”
”Ya, Mevrouw,” sahutnya. ”Kalau perempuan suka makan nanas, nanti pawestren-nya becek.”
”Apa? Apa itu?”
”Pawestren atau pawestrenan ini kata yang halus. Ini ’vrouwelijk schaamdeel’.”)
”Vagina?”
”Ya, Mevrouw,” sahutnya. ”Lelaki di Jawa sini—seperti ilmunya raja-raja di Surakarta dan Yogyakarta—menganggap pawestren yang berbecek itu musibah. Makanya perempuan dilarang makan nanas, supaya pawestren-nya seret, dan bagi lelaki itu mengenakkan. Pawestren yang becek diibaratkan sebagai sawah, dan pawestren yang kering diibaratkan sebagai ladang.”
Aku mengangguk-angguk, senang mendengar Nyai Kidhal menerangkan itu. Terusterang aku belajar banyak darinya tentang Jawa. Dan, karena aku suka bahasa-bahasa, aku belajar bahasa Jawa dari yang kasar sampai yang halus.
Menariknya bahasa Jawa, karena dikenalnya tingkatan-tingkatan, mulai dari ngoko, krama andhap, krama madya, krama hinggil, atau yang rendahan atau kasar, yang tengahan, dan yang tinggi atau halus, misalnya:
vrouwelijk schaamdeel: tempik-pawadonan-pawestren
38) buahdada
39) pemegang
40) Het toilet van Bathseba, sekarang di Rijksmuseum zal 207
41) kemaluan perempuan


Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/27/03111566/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar