Minggu, 30 Mei 2010

haa iki Tamu pada Suatu Sore

SPIRITUALISME
Tamu pada Suatu Sore
Minggu, 30 Mei 2010 | 03:31 WIB

Ajaran Buddha menjadi tradisi keluarga Bhante Dhammasubho sejak masih dalam kandungan ibunya. ”Bapak memilih spiritualisme Buddha sejak tahun 1956. Zaman itu Buddha sebagai agama belum tumbuh di masyarakat, apalagi masyarakat desa.”
Menurut cerita sang ayah, Songko, petani dan seniman tatah wayang kulit dari Desa Pendem, Kecamatan Kandat, Kediri, Jawa Timur, suatu sore, datang tamu tak dikenal, seorang simbah (kakek), berpakaian adat Jawa. Wajahnya bersih.
”Simbah itu mengatakan, ia sedang lelaku keliling Pulau Jawa. Tujuannya, ujung timur Pulau Jawa. Dia hanya makan dan minum kalau ada yang memberi. Dia bermalam di rumah penduduk yang ikhlas memberi tumpangan.”
”Setelah ngomong-ngomong, Bapak tertarik karena yang dibahas terkait dengan soal spiritualitas. Bapak juga dekat dengan hal-hal itu. Simbah itu lalu ditawari menginap, tetapi sepanjang malam, mereka berdua berdiskusi, tidak tidur.”
Sebelum pergi, tamu itu meninggalkan sebuah buku, seperti diktat, sampulnya bergambar lampu teplok (lentera) dikerudungi cermin dan menjelaskan artinya.
”Itu yang diajarkan Sang Buddha, kata simbah itu.”
Selesai sarapan pagi, simbah itu pamit. ”Sampai halaman rumah, kata Bapak, simbah itu hilang dalam kedipan mata. Bapak berpikir, siapa sebenarnya tamu itu. Tetapi, karena diskusi malam itu sangat mengesankan, Bapak memutuskan mengikuti pemikiran buddhis. Sejak itu, pemikiran buddhis menjadi pedoman hidup keluarga kami.”


Tujuh tahun

Bhante Dhammasubho yang penuh humor, yang suaranya terasa penuh kehangatan dan kemurahan hati itu, dilahirkan sebagai Kliwon Samir, sulung dari 10 bersaudara—lima di antaranya meninggal di usia balita—dari pasangan Songko dan Katemi.
”Saya ini hasil tirakat orangtua yang sangat ingin punya anak. Jadi, sampai sekarang saya senang puasa karena sudah diajari puasa sejak dari kandungan ha-ha-ha....”
Kliwon kecil belajar di sekolah umum, tidak mendapatkan pelajaran agama Buddha secara formal. ”Belajar ajaran Buddha ada tiga tahapan. Mula-mula hanya tahu, lalu berusaha mengerti, kemudian mencoba diselami, dihayati, dijalani, ternyata cocok.”
Keinginan menjadi biku dipendam lama tanpa keberanian mengungkapkan kepada orangtua. ”Setelah selesai sekolah, saya bermasyarakat dulu tujuh tahun, baru mendapat izin,” lanjut Bhante, yang ketika masih Kliwon Samir, bersama kelompoknya menjadi juara teater lawak tahun 1981.
Latar belakang keluarga dan pengalaman sebelum memasuki dunia biku menyebabkan dia mudah bergaul dengan berbagai kalangan. Ia menguasai filosofi Jawa dan menariknya ke tataran lintas batas.
”Wong urip iku mung mampir ngombe, orang hidup itu cuma numpang minum, enggak sampai makan, apalagi tidur.... Usia kita sangat sebentar dibandingkan usia alam semesta. Selama hidup kita meminjam dari alam semesta dengan baik-baik, hendaknya pinjaman itu digunakan baik-baik, nanti pada waktunya dikembalikan dengan baik-baik. Ini baru nasabah yang baik ha-ha-ha....”
Kuncinya? ”Malu berbuat jahat karena tahu akibatnya....” (MH/XAR) 

Sumber :  http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/30/03310057/tamu.pada.suatu.sore

Tidak ada komentar:

Posting Komentar