Senin, 24 Mei 2010

haa iki, Sindhunata "Machiavelli Sepak Bola Modern"

CATATAN SEPAK BOLA
"Machiavelli Sepak Bola Modern"
Senin, 24 Mei 2010 | 03:05 WIB

Sindhunata

Gladiolen oder Tod, bunga gladiol atau mati. Begitulah Louis van Gaal melukiskan pertandingan mati-hidup antara Bayern Muenchen dan Inter Milan di Santiago Bernabeu, Madrid, Minggu dini hari kemarin. Ternyata yang mati adalah Bayern Muenchen.
Inter-lah yang memetik bunga gladiol, piala Liga Champions, yang belum pernah dipetiknya sejak 45 tahun lalu. Siapakah sang penanam yang memungkinkan Inter memetik bunga gladiol yang indah itu? Tentu saja dia adalah ”The Special One”, Jose Mourinho.
”Pertahanan kami nyaris 100 persen sempurna,” begitu Mourinho menyombongkan diri menjelang pertandingan tersebut. Mourinho tidak omong kosong. Malam itu pertahanan Inter terorganisasi dengan demikian tertib dan rapi. Javier Zanetti, Lucio, dan Walter Samuel bagaikan raksasa-raksasa penghadang yang sulit dilalui oleh Arjen Robben dan kawan-kawannya.
Pemain Inter juga menjalankan instruksi Mourinho sampai sedetail-detailnya. ”Mourinho meminta saya untuk 100 persen berkonsentrasi menjaga pertahanan. Secara taktis, saya diminta jangan sampai menonjolkan kehebatan individual saya. Saya harus berpikir dan berbuat untuk tim,” kata Lucio, pemain yang berasal dari Brasil.
Inter tak hanya tertib dalam bertahan, tetapi juga cerdik dan efektif dalam memanfaatkan peluang. Itulah yang terjadi ketika Diego Milito menerima passing jitu dari Wesley Sneijder, lalu menceploskan bola ke gawang Joerg Butt. Dan, betapa cerdik Milito, pemain asal Argentina, ketika pada menit ke-70 dia dengan solonya melewati Van Buyten, lalu kembali membobol gawang Butt. 2-0 untuk Inter, Mourinho pun kelihatan lega dan tenang. Rasanya bunga gladiol yang diimpikan Van Gaal, mantan gurunya di Barcelona, malah jatuh ke tangannya.
Mourinho (47) memang telah membuktikan bahwa dirinya lebih besar daripada gurunya, Van Gaal. ”Di Barcelona, tiga tahun saya belajar kepada Van Gaal sebagai asistennya. Selebihnya, 44 tahun saya belajar dari diri sendiri,” kata Mourinho.
Memang banyak hal tentang Mourinho yang tak diketahui lagi oleh Van Gaal. Pelatih asal Belanda itu merasa tahu seluk- beluk permainan ofensif. Namun, Mourinho-lah yang memegang rahasia permainan defensif, yang efektif dan bisa mematahkan permainan ofensif itu.
Tidak mudah membongkar rahasia permainan Mourinho. Rahasia itu sulit ditebak, persis seperti pribadi Mourinho yang sulit ditebak. Yang menjadi ukuran Mourinho bukanlah teori umum atau orang lain, melainkan dirinya sendiri. Dirinyalah yang menentukan, ia mau apa dan bermain bagaimana. Kadang ia berlaku seperti seorang pemarah, tetapi kadang ia bisa begitu charming dan ramah.
Ia bisa membadut, bisa histeris, tetapi toh sangat dingin dan rasional dalam analisis. Ia kelihatan sombong. Namun, seperti kata Van Gaal, kalau orang benar mengenalnya, ia adalah orang yang sederhana. Ia boleh tidak disukai publik, tetapi para pemainnya, baik di Chelsea maupun di Inter, amat menghormati dan mencintainya.
Ia bisa menangis bersama Inter, tetapi pada saat yang sama ia tega meninggalkan mereka begitu saja. Malah ia tidak segan-segan menuduh dunia bola Italia penuh dengan kemunafikan dan tiada respek bagi orang yang berprestasi seperti dia. Betapapun tuduhan itu menyakitkan, ia telah mempersembahkan yang terindah buat dunia bola Italia, khususnya Inter Milan: tiga juara sekaligus dengan mahkota Piala Champions 2010.
Mourinho memang bisa berperan dan bertingkah apa saja seperti ia kehendaki. Baginya, semua peran dan tingkahnya adalah sah asal ia dapat meraih yang tertinggi. Dan, ternyata dengan segala cara ia telah berhasil membuktikannya. Pantaslah jika ia dijuluki ”Machiavelli Sepak Bola Modern”. Maklum, ia tidak hanya ingin kemenangan, tetapi juga ingin ”perang” dan merebut segalanya. Untuk itu, ia meletakkan dalam diri pemainnya sebuah pandangan hidup ”kami melawan semua”. Benar kata Frank Lampard yang pernah diasuhnya, ”Mourinho mempunyai intuisi untuk menggali nafsu, hasrat, dan impian para pemainnya sampai sedalam-dalamnya.”
Namun, Machiavelli bola ini ternyata juga mempunyai ketakutan. ”Saya takut akan kekuasaan Tuhan. Dia memutuskan segalanya dan manusia tidak dapat melawannya. Saya berusaha untuk menjadi manusia yang baik dan menyapa Dia untuk kadang-kadang berada di sisi saya. Karena bola telah menjadi bagian hidup saya, saya pasti senang jika berhasil menang. Namun, lebih penting daripada bola adalah keluarga saya,” kata Mourinho.
Selama ini rekor pelatih yang berhasil meraih dua Piala Champions dengan dua klub yang berbeda baru dipegang oleh Ernst Happel dan Ottmar Hitzfeld. Mourinho telah menyamai rekor mereka: ia meraih Piala Champions dengan FC Porto (2004) dan Inter Milan (2010). Ia pasti ingin melampaui rekor itu dan meraih Piala Champions dengan klub yang lain lagi. Untuk itu, mungkin ia ingin pergi ke Real Madrid.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/24/03050979/machiavelli.sepak.bola.modern

Tidak ada komentar:

Posting Komentar