Jumat, 21 Mei 2010

haa iki Mata Hari 15

AKU MATA HARI
Jumat, 21 Mei 2010 | 05:52 WIB

Tapi persisnya, Margaretha, yang dimaksud adalah daerah ’laut yang bertanggul’.)
”Laut yang bertanggul?”
”Ya, Margaretha. John ke situ. Kamu harus percaya, dia biasa di situ.”
”Tidak. Tolong, jangan berkata yang tidak benar.”
”Margaretha, desasdesus memang selalu seperti angin langkisau: tak memberi kabar apa- apa sebelum melanda. Tapi kamu perlu percaya, ini bukan kabar burung. Aku percaya kata orang-orang, John biasa ke Walletje, Rode Lamp, atau Zeedijk.”
”Oh, tidak, aku tidak percaya.”
”Aku sendiri pun memang sulit memercayai, betapa dia tidak berhenti dari kebiasaan buruknya itu. Tadinya aku kira setelah kawin dengan kamu, dia benar-benar sembuh.”
”Sebelum aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak percaya.”
”Ya Tuhan. Kamu seperti Thomas.”)
”Sebab aku harus percaya pada suamiku.”
Iparku ini merangkul aku, terharu, bangga, tapi juga sedih.
Bersamaan dengan itu, aku sedih, menggeriap, memberangsang, bimbang hendak melangkah ke depan.
Diam-diam pada saat tercenung, hening, aku bertanya-tanya dalam hati, dalam ekawicara, mengapa Ruud masih melacur?
Apa ada yang salah dalam diriku?
Apakah muasalnya lantaran aku keberatan bercinta dengan cara yang disenanginya?
Ataukah lantaran nasihat kakaknya yang mengatakan tidak baik bersetubuh di saat aku sudah hamil begini dan akibatnya dia kecewa lantas jajan di luar?
Aku coba berhakim-hakim dalam diriku. Aku ingat pernyataannya yang aku dengar di balik pintu: ”Ah! Bagaimanapun aku kecewa.”
Kecewa?
Apa maksudnya dengan itu?
Lalu, apakah karena kecewa, pada waktu itu dia tidak mau mengucapkan ”sorry”?
Tidak terjawab.
Akhirnya aku memilih bersikap pasrah saja pada keperkasaan sang waktu. Aku pasrah padanya dengan pendirian yang kelihatannya teguh, namun bidalnya klise: Apa yang akan terjadi, biarlah terjadi. Aku bisa bikin puisi tentang ini dalam tujuh bahasa.
Kendati begitu, janji yang melekat di otakku, agaknya sebuah prosa yang keras gaungnya: bahwa jika terjadi sesuatu yang ternyata buruk dan merugikan diriku, aku akan lawan menggunakan takrif ’menyesuaikan diri dengan lentur terhadap segala kemungkinan’.
Oh, barangkali takrif ini terlalu kabur.
Biarlah aku sederhanakan. Dengan perkataan yang singkat aku harus bisa merumuskan ini dengan jelas. Bahwa kalau bawaan lelaki bisa tidak jujur, kenapa perempuan tidak menyesuaikan diri juga dengan mengadaptasi bawaan yang sama?
Lebih sangar mesti aku katakan: Kalau suami boleh serong, kenapa istri tidak boleh membalasnya dengan serong juga?
Dari tulang rusuk Adam
aku membaca: Hawa dicipta
Dari selingkuh suami
aku berkata: istri membalas.

7
Bulan kesembilan, tak kurang tak lebih dari masa mengandung antara dipacu rasa bimbang dan geram serta cemburu dan girang, akhirnya aku melahirkan seorang anak lelaki.
Sumpah demi ibuku, aku tidak dapat dengan mudah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya melihat kenyataan aku telah menjadi ibu.
Seperti linglung, bagai anak kucing yang berhasil memanjat pohon tapi tak tahu caranya turun, demikian aku bingung menerima kenyataan: Mrs MacLeod sudah beranak.
Anak ini diberi dua nama. Yang satu pilihan Ruud dengan sedikit ngotot: Norman, dan yang satunya lagi pilihanku dengan masabodoh: John. Jadi nama anak ini dicatat dalam daftar lahir sebagai Norman John MacLeod.

14) dalam bahasa Belanda, ’laut yang bertanggul’ terjemahannya ’walletje’, sebagai nama dieja Walletje, nama lain dari Zeedijk artinya ’tanggul laut’, atau populernya Rode Lamp artinya ’lampu merah’, daerah mesum yang legal di Amsterdam
15) Thomas, sosok dalam cerita injil yang terkenal karena pernyataannya: ”sebelum melihat sendiri saya tidak percaya”

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/21/05523766/aku.mata.hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar