Senin, 24 Mei 2010

haa iki AKU MATA HARI 18

AKU MATA HARI
Senin, 24 Mei 2010 | 03:02 WIB

Remy Sylado

Dan penarinya sendiri meretetkan irama dengan kastanyet di tangannya. (Aku tidak punya istilah yang tepat dalam bahasa Belanda untuk kegiatan kreatif yang dilakukan oleh ketiga orang gypsy itu, tapi, dalam bahasa Inggris yang aku kenal, kegiatan kreatif yang dilakukan gitaris pertama adalah ’strumming’, kemudian yang kedua adalah ’plucking’, dan yang ketiga adalah ’clapping’.)
Bunyi paduan musik itu memang menggoda aku untuk bergoyang.
Maka aku bergoyang dalam ekstase yang seru.
Dan, semua orang yang menyaksikan aku sama-sama terpukau.
Keadaan menjadi gegap gempita karena mereka bertempik­sorak memuji yang aku lakukan dengan tubuhku. Aku sendiri heran, bahwa gerak tubuhku ini sepenuhnya improvisasi dalam penjiwaan yang demikian bebas tapi tetap di bawah hitungan irama yang benar.
Dalam keadaan begini Ruud muncul.
Dia tidak memuji aku.
Dia menghina aku.
”Wat ’n schandaal,”) katanya sembari menyeret aku dari arena langsung ke bawah.
Padri yang menggendong anakku, menyusul sambil memanggil-manggil, menyerahkan anakku itu.
Aku sangat malu diperlakukan oleh Ruud seperti ini.
Seketika, dalam sadarku terbit dendam yang akan sulit disembuhkan walau dengan sepuluh kata ”sorry”. Kalau sampai turun tangannya di atas pipiku seperti yang pernah dia lakukan tanpa ”sorry” itu, maka demi ibuku aku bersumpah akan membalasnya.
Untung saja, tidak.
Tapi dia memaki-maki aku sepanjang jam—dan dalam keadaan marah begini aku melihat mukanya seperti babi—sampai kapal keluar di ujung terusan di Port Taufiq.
Akhirnya, tiba di Laut Merah—kira-kira di tempat dulu kala Nabi Musa menyeberangkan Yahudi-Yahu di kepalabatu dari Mesir ke Arabia—aku berteriak, menghardik, menyuruhnya berhenti memaki-maki.
Aku capek mendengar mulutnya meleter seperti bebek.
Di samping itu aku pusing karena anakku terus menangis.
Teriakanku yang histeris, sepanjang rentang suara yang berpusat di perut, karuan membuatnya tercengang. Dengan sendirinya dia terdiam.
Pada malam harinya, setelah teduh, dan kapal bahkan terasa tidak bergerak, aku bicara pelan-pelan padanya. Aku yang lebih dulu berinisiatif menyatakan ”sorry”, tapi dengan itu aku memposisikan harkatku secara asasi. Ketika aku menyatakannya, aku merasa telah menjadi perempuan muda yang lebih dewasa dari lelaki tua yang masih kekanak-kanakan.
Aku bilang, arti asasi perkawinan adalah kemauan dan kesungguhan dua hati belajar bertanggungjawab mengelola perbedaan. Begitu lelaki menjadi suami dan perempuan menjadi istri, maka dua pendirian yang berbeda itu harus dicari titik­temunya melalui rembug kesepakatan. Suami harus siap menyangkal diri demi keinginan-keinginan istri, dan istri pun siap menyangkal diri demi keinginan-keinginan suami.
”Kalau aku salah, tegur aku, bukan dengan kekerasan tapi dengan cinta, supaya aku belajar menyangkal diriku,” kataku.
Ajaib, di luar sangkaanku, Ruud merangkul aku dengan tiba- tiba, lalu mengecup pipiku.
”Baik,” katanya. ”Kalau kamu tahu, aku tidak suka kamu seperti gypsy kerasukan.”
Aku menghargai dialog ini, tapi tak ayal aku merasa perlu menangkis—sebagaimana lumrahnya sebuah dialog—sesuai dengan pikiran yang aku anggap benar.
Kataku dalam nada tanya yang jelimet, ”Apakah menjadi gypsy itu suatu dosa?”
Jawabnya pintar tapi urik, ”Kamu toh Belanda beradab, bukan gypsy barbar.”
Ya ampun, dengan siapa aku memanjat langit?
Rasanya aku telah menjadi ratu atas derita orang
Bahaya yang tak bisa aku suruh pergi enyah
Mengikuti fitrahku dalam keletihan
Kapan aku akan menangkap rembulan
Lantas menyimpannya di lemari besi.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/24/03024290/aku.mata.hari

21) Betapa sebuah skandal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar